Sepenggal Kenangan tentang Pak Hikayat
Oleh Jodhi Yudono, Musisi dan Pencinta Budaya Nusantara
NIASSATU – Hikayat Manaö mempersembahkan hidupnya untuk seni dan budaya . Dia tak cuma sebagai seniman, tapi juga menghidupi dunia seni itu sendiri. Sampai-sampai, dirinya identik dengan seni dan kehidupan di Bawömataluo itu sendiri.
Bawömataluo jelas kehilangan Hikayat yang sekarang telah menjadi hikayat dalam arti sebenarnya. Kini dan kelak, kita akan selalu mengenangnya, akan selalu bercerita, tentang lelaki bersahaja, tentang lelaki yang diangkat menjadi panglima oleh sukunya, yang tak pernah henti-henti membawa kebanggaan sekaligus keindahan tanah kelahirannya ke seantero negeri.
Pernah saya mimpi bersama beliau. Ingin mengawinkan apa yang bisa dalam bidang sastra dan musik, dengan pengetahuan beliau yang mendalam tentang seni dan hidup masyarakat Bawömataluo. Tapi kesibukan mengasapi periuk dapur rupanya juga butuh perhatian lebih, sehingga kami tak sempat mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Beliau telah pergi bersama mimpi-mimpi kami.
Tuhan selalu memberi yang terbaik buat makhluknya. Kebaikan itu pula yang kini diberikan kepada Pak Hikayat. Bagi saya dan juga masyarakat Bawömataluo, Pak Hikayat sudah memberikan lebih buat tanah kelahirannya, buat kesenian dan kebudayaan. Semoga kepergiannya akan menjadi api spirit bagi generasi Bawömataluo selanjutnya.
Saya kira, tak akan ada yang bisa menggantikan kedudukan Pak Hikayat dalam konstelasi kebudayaan di Nias. Beliau adalah pemberian terindah dari Tuhan untuk masyarakat Nias dan Indonesia. Yang bisa diperbuat generasi berikutnya adalah mencecap semangatnya, energinya, yang dicontohkan beliau melalui kegiatan berkeseniannya.
Bagi saya, Pak Hikayat adalah jenis manusia yang tidak pernah capek. Mengapa demikian? Karena hati, badan, dan otaknya adalah kesenian itu sendiri. Beliau mengerjakan semuanya dengan suka-cita, dengan segenap tarikan nafas kehidupannya.
Generasi selanjutnya harus ada yang dengan tulus mempersembahkan hidupnya bagi dunia seni, budaya, dan bagi masyarakat Bawömataluo. Dengan demikian, dia tidak hanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan Pak Hikayat, tapi juga tetap menjaga Bukit Matahari itu tidak kelewat terik, melainkan senatiasa ada embun yang dipancarkan oleh dunia kesenian, seperti halnya yang dilakukan oleh Pak Hikayat selama ini.
Saya tak bisa membayangkan jika Bawömataluo tak memiliki Hikayat Manaö. Tentulah “Bukit Matahari” itu semakin panas dan menyengat. Untunglah Tuhan mengirim Pak Hikayat buat “Bukit Matahari”. Maka jadilah bukit itu bagai magnet yang mengundang ribuan orang untuk datang ke sana, untuk menikmati Hombo Batu, Tari Perang dan seni lainnya, di mana Pak Hikayat ada di dalamnya sebagai dinamo yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo.
Kini Pak Hikayat telah pergi, membawa sekalian kenangan manis pada sore indah yang pernah kami lewati bersama.
Saya masih tetap berharap, bisa mewujudkan mimpi kami entah kapan. Saya ingin bernyanyi dan menari bersama kawan-kawan muda dari Bawömataluo. Saya ingin mengadakan konser dengan lagu-lagu berbahasa Nias di halaman Rumah Pusaka Bawömataluo, di atas batu-batu besar dan tua.
Kami ingin bercerita tentang Pak Hikayat, tentang Bukit Matahari, dan juga tentang hidup yang bermanfaat, seperti yang telah diajarkan oleh Pak Hikayat kepada kita semua.
Selamat jalan Pak Hikayat. Tuhan bersama anda menuju tanah seni sesungguhnya: Surga! (ns1)
Catatan Redaksi:
Jodhi Yudono, selain sebagai seniman, juga seorang wartawan senior media online nasional di Kompas.com. Pertemuannya dengan Hikayat Manao terjadi pada 13-15 Mei 2011. Kala itu, dalam perhelatan Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011 di Desa Bawömataluo.