MK: Petani Boleh Garap Tanah Bebas Pemerintah Tanpa Sewa
NIASSATU, JAKARTA – Ini kabar baik bagi para petani. Kini, petani bisa menggarap lahan bebas pemerintah tanpa harus bayar sewa. Para petani juga bisa membentuk lembaga/organisasi sendiri tanpa harus terikat pada organisasi bentukan pemerintah.
Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada Rabu (5/11/2014) dimana MK mengabulkan permohonan 11 LSM yang menggugat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Dalam putusan atas perkara dengan nomor 87/PUU-XI/2013 itu, MK menyatakan melanggar hukum bila pemerintah menyewakan tanah bebas milik pemerintah kepada para petani.
Sejalan dengan permohonan para pemohon, MK menilai sesuai amanat konstitusi tentang pemenuhan hak dan kebutuhan dasar warga negara, negara wajib menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya petani. Hal itu harus dilakukan secara terencana, terarah dan berkelanjutan.
Mahkamah juga berpendapat, Undang-Undang yang diujikan para pemohon juga pada dasarnya bertujuan melindungi dan memberdayakan petani sebagai pelaku pembangunan pertanian untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak dasar setiap orang.
“Tujuan jangka panjangnya, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memiliki tujuan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat sewa-menyewa tanah antara negara dengan petani bertentangan dengan prinsip pemberdayaan petani yang dianut dalam UU Pokok Agraria,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan tersebut.
Hamdan melanjutkan, negara bisa saja memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan kepada petani terhadap tanah negara bebas yang belum didistribusikan kepada petani. Namun, pemerintah tidak boleh menyewakan tanah itu kepada petani.
“Sebab sewa-menyewa tanah antara negara dengan petani bertentangan dengan prinsip pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” jelas dia.
Tak berhenti sampai di situ, MK juga berpendapat, pemberian lahan sebesar dua hektar tanah Negara bebas kepada petani haruslah memprioritaskan petani yang betul-betul belum memiliki lahan pertanian dan bukan diberikan kepada petani yang cukup kuat dan telah memiliki lahan.
Gugatan itu diajukan pada 7 November 2013 oleh Serikat Petani Indonesia, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Mereka merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Mereka menilai, frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Alasannya, hak sewa dapat diartikan petani menjadi petani penggarap yang membayar sewa kepada negara. Hal itu dengan sendirinya melanggar prinsip dari hak menguasai negara. Sebab negara tidak memiliki tanah garapan tersebut namun negara seharusnya hanya merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.
Organisasi Petani
Terkait kelembagaan petani, MK juga setuju dengan dalil para pemohon yang menyatakan Pasal 70 ayat (1) UU a quo menyebabkan ketidakpastian hukum. Dalam penjelasannya, MK menilai, negara bisa saja membentuk organisasi-organisasi petani dalam rangka memberikan perlindungan dan pemberdayaan. Tetapi, negara tidak memaksa petani harus masuk ke dalam organisasi yang dibuat pemerintah tersebut.
Pasal 70 ayat (1) UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sendiri telah memberikan batasan-batasan organisasi terkait petani. Yakni, Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
“Adanya pembentukan kelembagaan petani oleh negara tidak diartikan bahwa petani dilarang untuk membentuk kelembagaan petani lainnya, atau diwajibkannya petani untuk bergabung dalam organisasi atau kelembagaan petani bentukan Pemerintah saja. Petani harus diberikan hak dan kebebasan untuk bergabung atau tidak bergabung dengan kelembagaan petani bentukan Pemerintah dan juga dapat bergabung dengan kelembagaan petani yang dibentuk oleh petani itu sendiri,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Tak cuma itu, bantuan pemerintah juga harus diberikan kepada para petani yang bergabung di lembaga di luar yang dibentuk oleh pemerintah.
Karena itu, MK berpendapat, ketentuan dalam pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo telah menghalangi hak para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 untuk membentuk wadah berserikat dalam bentuk kelembagaan petani. Dengan ketentuan itu, juga telah melanggar hak-hak para pemohon untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani khususnya dalam pembentukan wadah kelembagaan petani yang murni berasal dari petani itu sendiri sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Atas alasan itu, MK menaytakan pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani. (ns2/mahkamahkonstitusi.go.id)