MK Tolak Gugatan DPRD Nias Atas UU Pembentukan Kabupaten Nias Barat
NIASSATU, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat yang diajukan oleh tiga pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nias.
Putusan MK tersebut dibacakan dalam persidangan pada Kamis, 6 November 2014 pada pukul 16.02 Wib. Pembacaan dihadiri oleh 8 Hakim Konstitusi.
Penolakan MK atas gugatan tersebut karena para penggugat dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk melakukan gugatan.
“Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; pokok permohonan para pemohonan tidak dipertimbangkan,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan.
MK berpendapat, karena gugatan para pemohon terkait batas wilayah daerah yang berkaitan erat dengan kepentingan dareah, maka berdasarkan pasal 25 huruf f Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat.
“Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena dua alasan. Pertama, sejauh menyangkut PAD, para pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Kedua, sejauh hak mewakilik kepentingan daerah, para pemohon bukanlah kepala daerah dan tidak mendapat kuasa hukum yang sah dari kepala daerah yang bersangkutan,” jelasnya.
Terkait masuknya 8 desa dari kecamatan Lölöfitu Moi, Kabupaten Nias ke wilayah Kabupaten Nias Barat, jelas MK berpendapat hal itu merupakan konsekuensi logis dari pemekaran daerah yang terjadi dalam ruang lingkup NKRI.
“Apabila para pemohon membahas atau menyusun APBD untuk wilayahnya sendiri, yaitu Kabupaten Nias, seharusnya tidak lagi mempersoalkan anggaran desa yang sudah menjadi cakupan wilayah lain, dalam hal ini desa yang sudah masuk wilayah Kabupaten Nias Barat. Dan hal ini juga bisa dikonsultasikan kepada Pemerintah Pusat (Kementerian Dalam Negeri) yang tidak akan merugikan pemohon sebagai perangkat pemerintahan daerah,” papar Hamdan.
Seperti diketahui, gugatan itu dilayangkan oleh tiga anggota DPRD Kabupaten Nias yang menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Yakni, Wa’önaso Waruwu (Ketua DPRD Kabupaten Nias), Aluizaro Telaumbanua (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nias), dan Ronal Zai (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nias.
Persidangan pertama atas gugatan itu digelar pada Selasa, 26 Agustus 2014 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Dalam gugatannya dengan nomor perkara nomor 61/PUU-XII/2014 itu, para pemohon beralasan gugatan itu agar lima desa yang asal Lolofitu Moi tersebut mendapat pelayanan optimal dari Pemda setempat apabila memiliki kepastian hukum mengenai status wilayah desa itu yang ingin tetap bergabung dengan Kabupaten Nias.
Seperti diketahui, pada saat pemekaran Nias Barat, dari 13 desa di Kecamatan Lölöfitu Moi, hanya 8 desa yang diserahkan. Yakni, Desa Sisobawino II, Desa Duria, Desa Ambukha, Desa Hilimbowo Ma’ru, Desa Hilimbuasi, Desa Hili’usö, Desa Lölöfitu, dan Desa Wango. Sisanya, 5 (lima) desa yang meliputi Desa Ehosakhozi, Desa Orahili Idanoi, Desa Awela, Desa Onombonai, dan Desa Lölöfaoso tidak diserahkan dan tetap ingin bergabung dengan Kabupaten Nias.
Hasil lengkap putusan MK tersebut bisa diakses di sini. (NS1)
Pingback: Nias Satu » KPUD Sumut Desak Pemkab Nias dan Nias Barat Segera Perjelas Status 5 Desa yang Diperebutkan