Pembangunan Monumen Saõnigeho, Inspirasi Atau Konspirasi?

Marselino Fau | Dokumen Pribadi

Marselino Fau | Dokumen Pribadi

Oleh Marselino Fau*

Pengantar

Krisis utama dalam diri manusia adalah pengenalan diri. Begitu pentingnya pengenalan diri bahkan telah menjadi tren topik bagi para filsuf sejak awal, sebut saja Plato dengan somboyannya “kenalilah dirimu sendiri” (gnôthi seauton). Tidaklah mengherankan di kalangan para filsuf topik ini menjadi diskusi yang menarik sehingga di bidang filsafat manusia, pengenalan diri menjadi tujuan pengkajian filosofisnya.

Krisis pengenalan diri tidak hanya melanda para filsuf tetapi juga manusia masa kini. Begitu pentingnya pengenalan diri ini maka Ernst Cassirer mengibaratkannya bagaikan “titik Archimedes” yang tak tergoyahkan. Dan menurut penulis sama pentingnya dalam alam pemikiran orang Nias, ibarat menemukan orang Nias pertama di “Teteholi ana’a”.

Menurut Comte “mengenal diri” adalah “mengenal sejarah”. Mengenal sejarah adalah menelusuri peristiwa masa lalu lewat dialog dengan sosok, berkontemplasi bersama simbol dan menjangkau perisitiwa masa lalu lewat media yang disebut monumen. Lewat simbol manusia dijelaskan oleh kemanusiaan.

Tulisan ini adalah ajakan dialog yang hendak menawarkan cara untuk semakin mengenal diri, lewat sebuah fakta sejarah, dalam sosok Saõnigeho “Si lebah kecil di pohon beringin”, dimana kisah perjuangannya nyaris terbenam. Kini muncul setitik harapan Pemda Kabupaten Nias Selatan “menjanjikan” akan “memperbesar” kisah ini dalam sebuah monumen sebagai simbol perjuangan masyarakat Nias agar mampu dibaca oleh kita dan generasi berikutnya.

Mengenal diri lewat sejarah berarti mengetahui siapa kita, sejauhmana kita ikut ambil bagian. Apakah sebagai penonton atau sebagai pelaku, apakah kita sebagai pejuang atau sebaliknya. Mengenal sejarah perjuangan menghindarkan kita dari manipulasi sejarah. Dengan mengenal sejarah kita terhindar dari pembodohan. Dengan mengenal sejarah kita mengenal diri kita sebagai bagian dalam satu perjuangan, bukan dicangkokkan seperti disitir Waspada Wau.

Kita patut bangga kita telah ambil bagian di dalamnya, kalau di Ambon ada Kapitan Pattimura, di Minang ada Tuanku Imam Bonjol, di Tanah Batak ada Sisingamangaraja dan di Nias ada Si’ulu Saõnigeho dan Saõnigeho-Saõnigeho lain.  Mereka semua punya tekad yang sama yaitu mengusir penjajah. Perbedaannya mereka hanya berada dalam “ruang dan waktu” yang berbeda.

Saõnigeho, Siapa Dia?

Saõnigeho adalah Si’ulu generasi kedua yang  memerintah di Bawõmataluo setelah Si’ulu Laowõ. Oleh orang tuanya dia diberi nama Saõnigeho yang berarti si “lebah kecil di pohon beringin”. Saõni artinya lebah kecil dan eho artinya pohon beringin. Karakter seekor lebah bila menyengat, sengatnya tidak bisa dicabut. Bila dicabut paksa maka sengatnya akan tertinggal dalam tubuh si korban dan bisa menyebabkan kematian. Biasanya orang jaman dulu menggunakan cara yang khusus, yakni dengan terapi tusuk jarum dimana jarumnya dibakar terlebih dahulu, kemudian ditusukkan di bagian tubuh yang terkena sengat agar sengatnya bisa dikeluarkan, tapi si korban tetap merasa sakit setengah mati.  Dari arti nama tersebut tersirat karakter dasar si pemilik nama, bagai lebah kecil di pohon beringin, sekali menyengat rasa sakitnya setengah mati bahkan bisa mematikan.

Sebagai seorang pemimpin besar dan berpengaruh, beliau dijuluki “Siliwugere” yang berarti beliau sebagai seorang ‘ere’ (imam) sebanding  dengan 10.000 orang ere lainnya. Nama ini tentu bukanlah hiperbola semata. Berdasarkan jejak rekam perjalanan hidupnya, banyak yang mengalami keampuhan “foere” beliau. Senjata laras panjangnyapun (fana) dinamakan fana ni oerei.  Dua nama yang melekat dalam dirinya  “Saonigeho dan Siliwugere”, entah karena intuisi sang ayah memberikan nama itu atau karena alasan “profetis” ataupun hiperbola semata, hanya dapat dinilai dalam bingkai “ruang dan waktu” menurut Herakleitos yang dijuluki ho skoteinos (si gelap).

Pada masa pemerintahannya, banua Hili Fanayama berubah nama menjadi Bawõmataluo. Sebagai seorang penguasa saat itu, Saõnigeho memiliki otoritas penuh atas daerahnya (banua) dan warganya. Layaknya sebuah kerajaan (jangan membandingkan wilayahnya dengan Majapahit atau Sriwijaya) beliau memiliki wewenang untuk menyatakan perang  kepada siapapun termasuk berperang melawan Belanda pada saat itu. Salah satunya adalah perang Hiligeho pada tahun 1908.

Kesejarahan Saõnigeho tidak dapat dilepaskan dari banua Orahili dimana pada masa kecil dan mudanya dilewatkan di sana. Di desa itu beliau menjadi salah seorang pemuda tangguh yang melakukan pengusiran kepada Belanda. Tiga kali Belanda mencoba menaklukan Orahili, selalu mengalami kegagalan. Orahili berhasil mengusir Belanda, kemudian baru pada tahun 1863 Belanda dengan sekutunya berhasil membumihanguskan Orahili. Peristiwa ini yang mendorong Laowõ, saudara-saudaranya dan anaknya Saõnigeho serta kerabat mereka dan warga yang setia kepadanya mencari tempat pemukiman baru yang sekarang dikenal Bawõmataluo. Jadi, Bawõmataluo bukanlah sekedar sebuah tempat pemukiman yang disebut “banua” tetapi sebuah monumen perjuangan rakyat Orahili Fau melawan penjajahan Belanda.

Usaha Belanda menaklukan Orahili Fau tidak berhenti hanya pada pembakaran banua Orahili tetapi terus berlanjut sampai di pemukiman baru di Bawomataluo. Berbagai aturan dibuat Belanda untuk membonsai kekuasaan para penguasa setempat termasuk Si’ulu Saõnigeho. Pada tanggal 10 April 1907 Schroder bertemu dengan Si’ulu Saõnigeho dalam rangka membujuk Saõnigeho agar bersikap lunak kepada Belanda. Namun, Si’ulu Saõnigeho tetap menolak mengakui kekuasaan Belanda. Pendaratan tentara Belanda di beberapa tempat dan aksi Belanda melakukan pembakaran wilayah pemukiman di sekitar wilayah Maenamõlõ membangkitkan kemarahan Si’ulu Saõnigeho sebagai penguasa di Bawõmataluo dan beliau bersumpah untuk membalas dendam kepada Belanda.

Melihat kondisi tersebut, Si’ulu Saõnigeho menggagas penyatuan para penguasa di sekitar wilayahnya dalam sebuah rapat umum yang disebut “Famagolõ”. Beliau mengundang 9 orang Si’ulu dari Maenamõlõ dan Onolalu serta 4 orang Balugu dari õri sekitarnya menghadiri rapat umum di Lahusa Fau.

Pengalamannya selama 4 kali perang Orahili melawan Belanda, beliau berkesimpulan bahwa sekalipun Orahili mampu mengusir Belanda tapi cara perjuangan sendiri-sendiri tidaklah menguntungkan, maka beliau merancang sebuah pertempuran besar-besaran yang dilakukan secara bersama. Rapat umum ini dipimpin langsung oleh Si’ulu Saõnigeho dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut:

  1. Mereka akan melakukan serangan saat tentara Belanda hendak memasuki wilayahnya.
  2. Serangan akan dilokalisir di wilayah banua Bawõmataluo dan dilancarkan pada malam hari.
  3. Keputusan no. 2 di atas kemudian dikaji ulang dengan pertimbangan, apabila Belanda diserang di sekitar wilayah Bawõmataluo maka Bawõmataluo dengan Omo Nifolasaranya sangat besar peluangnya dibakar kembali oleh Belanda. Peserta rapat menyadari Bawõmataluo dengan Omo Nifolasara merupakan sebuah monumen sejarah perlawanan kepada Belanda, maka merekapun sepakat untuk memindahkan lokasi peperangan di sekitar wilayah banua Hiligeho.

Catatan: Ini adalah sebuah upaya yang harus diingat dan patut dicontoh oleh generasi muda sekarang ini, bagaimana para pemimipin jaman dulu berhasil membuat keputusan yang sifatnya pelestarian Bawõmataluo dari usaha pemusnahan yang dalam konteks ini saya sebut “Save Bawõmataluo”. Mereka mampu membuang ego sektoralnya demi menyelamatakan sebuah pusaka yang sangat penting, pada hal kondisi saat itu antar satu penguasa dengan penguasa lainnya saling berebut pengaruh.

  1. Perang Hiligeho langsung di bawah kendali Si’ulu Saõnigeho, dan beberapa keputusan teknis lainnya diputuskan dalam rapat ini.
Makam Saõnigeho di Desa Bawõmataluo | Marselino Fau

Makam Saõnigeho di Desa Bawõmataluo | Marselino Fau

Ketika perang Hiligeho 1908 mulai dilancarkan, saat para pejuang telah menempati pos-pos yang telah direncanakan, seorang pengkhianat memberikan informasi kepada Belanda bahwa pasukan Nias telah mengepung mereka. Akibatnya terjadi pertempuran yang  memakan banyak korban bagi para pejuang, dan memaksa Belanda lari kembali ke kapal-kapal mereka, karena takut melewati malam di darat. Di pihak Belanda seorang komandan pasukan menjadi korbannya. Tidak terima dengan keadaan itu, beberapa hari kemudian Belanda kembali ke darat dengan kekuatan penuh untuk menangkap pimipinan perang Hiligeho, yakni  Si’ulu Saõnigeho. Belanda pun mulai melancarkan aksi penangkapan Saõnigeho di Bawõmataluo dan mereka berhasil masuk ke Bawõmataluo dan Omo Nifolasara.

Mendengar bahwa Belanda telah memasuki Bawõmataluo, Si’ulu Saõnigeho memilih tetap bertahan, tidak seperti lazimnya ketika Belanda memasuki satu banua, warganya menyingkir dan dengan leluasan Belanda membakarnya. Tetapi sebaliknya Si’ulu Saõnigeho tetap Bertahan dalam istananya Omo Nifolasara. Bagi Saõnigeho melarikan diri adalah tindakan pengecut dan memberi kesempatan bagi Belanda untuk membakar Bawõmataluo. Tidaklah mengherankan ketika komandan pasukan Belanda masuk  ke Omo Nifolasara kediaman Si’ulu Saõnigeho dan memberikan perintah kepada seluruh pasukannya : “Begitu mendengar suara letusan dari dalam rumah, bumihanguskan!”. Ini artinya Belanda mengalami ketakutan yang luar biasa, perintah ini cukup mendeskripsikan kondisi psikologis tentara Belanda saat itu.

Mereka takut “sengatan” Saõnigeho. Mereka sadar mereka sedang menghadapi seorang pemimpin yang tidak mudah ditundukkan.  Setelah berembuk dengan para penasehat dan panglimanya, akhirnya Saõnigeho memutuskan menyerahkan diri untuk melindungi warga dan pusaka Nias yang tak ternilai yang sekarang kita nikmati. Dan sejak saat itu Saõnigeho menjadi tawanan Belanda, namun beliau  tetap menolak tunduk kepada Belanda.

Perlawanan Saõnigeho tidak terhenti sampai disitu, ketika Belanda membawa beliau menuju Gunung Sitoli dengan kapal perang Belanda, di atas kapal beliau melakukan aksi mogok makan, tidak mengkonsumsi makanan yang disediakan tentara Belanda. Setiba di Gunung Sitoli pun beliau tetap melakukan aksi mogok makan.

Kondisi ini membuat Belanda takut jika terjadi sesuatu kepada Saõnigeho yang dicintai oleh rakyatnya. Maka Belanda pun memenuhi permintaan Saõnigeho, permintaan beliau hanya mau mengkonsumsi makanan yang diantar setiap hari dari Bawõmataluo. Makanan beliau hanya ketupat dan sebutir telor setiap harinya. Tapi, sesungguhnya, beliau menggunakan strategi ini untuk meyakinkan dan membangkitkan semangat para pengikutnya bahwa dia masih hidup dan perjuang tetap dijalankan.

Di sisi lain Belanda berusaha untuk melemahkan semangat para pengikut Saõnigeho dengan mengajukan tuntutan denda sebesar 3.000 uang perak sebagai tebusan untuk membebaskan pemimpin mereka, Saõnigeho.  Belanda berpikir mana mungkin di tempat yang primitif ini ada uang perak sebanyak itu, Nias tidak memiliki bank. Setelah persyaratan ini dipenuhi, Belanda menambah hukuman tambahan yakni warga Bawõmataluo harus membangun jalan dari Lõhõ ke Lagundri. Hukuman inipun dilakukan demi membebaskan pemimpin besar mereka, Saõnigeho.

Setelah selesai pembuatan jalan maka tiba saatnya Saõnigeho dibebaskan. Sepanjang perjalanan dari Gunung Sitoli menuju Bawõmataluo, beliau disambut gembira karena bagi mereka beliau ikon perlawanan kepada Belanda. Ketika beliau sampai di jembatan gantung (soroso gantung), beliau  memotong hõgõ gõndõrania ana’a (pakaian kebesarannya berlapis emas) dan sejumlah uang perak kemudian dibuang ke dalam sungai sebagai hõli-hõlinia dan Ono Niha (buang sial).

Pengorbanan Saõnigeho tidaklah sia-sia, Bawõmataluo dengan segala pusaka budaya  (hombo batu dan Omo Nifolasara serta ratusan omo hada) bisa diselamatkan. Hingga sekarang Bawõmataluo dan lompat batu menjadi ikon pulau Nias dan juga merupakan sebuah fakta sejarah perjuangan melawan penjajahan. Selain sebagai fakta sejarah dan ikon pulau Nias di dalam Omo Nifolasara tersimpan sebuah catatan keperkasaan mereka melawan penjajahan Belanda. (Catatan ini belum dipubliksikan, tulisan ini adalah yang pertama untuk menginformasikan catatan ini, saya namakan “tulisan” Laowõ dan Saõnigeho di Omo Nifolasara). Tujuan Si’ulu Laowõ dan Saõnigeho menyimpan catatan ini di dalam Omo Nifolasara tidak lain adalah agar generasi muda Nias mampu “membacanya” dan menghargai perjuangan para leluhurnya. Pertanyaannya, apakah kita (sebagai orang Nias) mampu membacanya?

Demikian Saõnigeho membuktikan nama yang melekat dalam dirinya, sebagai sosok yang mampu mempersatukan, tidak mementingkan diri dan kekuasaannya, rela ditawan demi menyelamatkan rakyat dan mempertahankan monumen dan ikon Pulau Nias, dan tetap teguh tidak mengakui kekuasaan Belanda meskipun nyawa taruhannya. Sudah seabad beliau tak bersuara, tapi suaranya masih terekam dalam sebuah warisan yang hidup.

Bangsa dan negara ini telah menikmati devisa dari karya dan pengorbanannya, tapi ia tetap diabaikan. Ia tidak menuntut pamrih atas karya dan jasa serta pengorbanannya. Sekalipun negara mengabaikannya, ia patut menjadi pahlawan, setidaknya pahlawan di hati anak-anaknya dan cucu-cucunya. Inilah ironi seorang pejuang yang jauh dari spektrum kekuasaan.

Makna Sebuah Monumen

Sebagaimana Ernst Cassirer manulis dalam bukunya ”an essay on man” bahwa manusia adalah makhluk simbolik. Artinya manusia menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Demikian halnya kita memaknai sebuah monumen sebagai “makhluk berjiwa” yang mampu berdialog dengan orang yang mencarinya, dengan mereka yang tergerak untuk berkontemplatif dengannya.

Monumen adalah simbol yang hendak menyampaikan pesan dan makna tertentu dengan maksud untuk memperingati seseorang atau sebuah peristiwa masa lalu dalam sebuah kelompok, agar mereka selalu ingat akan nilai dibalik monumen tersebut. Sebuah monumen bisa dibuat dalam bentuk patung ataupun bangunan. Agar pesan dan makna yang terkandung dalam sebuah monumen mudah diterima dan dimengerti oleh setiap yang berolah batin dengannya, sejak awal nilai dan semangatnya direkonstruksi dalam bentuk legalitas formal. Selain itu lokasi penempatan monumen sangat mendukung terjadinya transformasi makna dan pesan. Pemilihan lokasi yang tepat menjadi penguat nilai di balik sebuah monumen.

Sebuah apresiasi yang harus dihargai atas keinginan Pemda Nias Selatan untuk mendirikan monumen Si’ulu Saõnigeho dalam bentuk patung yang sudah dua kali disampaikan secara terbuka oleh Bupati Nias Selatan. Bila hal ini bisa diwujudkan tentu kita berharap semangat dibalik monumen ini mampu menginspirasi kita semua. Manakala kehendak baik ini menjadi nyata, maka kita telah mencatatkan diri sebagai agen revolusi mental dimana kita telah memulai dari diri kita sendiri menghargai pejuang kita yang selama ini di abaikan oleh pemerintah daerah dan pusat. Kita menggenapkan tesis Sukarno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, bukan hanya sekedar tampil beda. Jika demikian adanya, kita patut menjadi inspirasi bagi generasi muda kita.

Mendirikan monumen Saõnigeho bukan sekedar mendirikan tanda, tetapi juga merekonstruksi kehidupan sang tokoh dalam monumen dengan simbol-simbol yang mampu ditangkap dan pahami oleh siapa saja yang berkeinginan berdialog lewat kontemplasi batin dan rasio atau bersamanya menapaki masa silam agar lebih mengenal dirinya. Rekonstruksi nilai yang tepat dalam sebuah monumen menjadi daya pengerak bagi setiap dari kita yang mencoba merekatkan diri dengannya.  Sehingga monumen bukan hanya sekedar tanda tetapi simbol yang mampu menggerakan seseorang untuk mengobarkan semangat perjuangan Saõnigeho sehingga nilai perjuangan terinternalisasikan dalam diri kita dan generasi muda.

Ide pembuatan monumen patung Si’ulu Saõnigeho adalah sebuah ide yang mulia dengan harapan menjadi inspirasi bagi generasi muda. Tetapi akan menjadi konspirasi manakala ide ini dilakukan tanpa tujuan yang jelas tanpa disusul pengakuan legalitas, serta tanpa pemilihan lokasi yang tepat.

Lokasi pendirian monument di Tambu Dõla Hulu bukanlah lokasi yang tepat untuk membangun monumen Saõnigeho. Lokasi itu hanya mereduksi nilai historis di balik perjuangan Saõnigeho. Pemaksaan lokasi penempatan monumen Saõnigeho harus di Tambu Dõla Hulu menimbulkan pertanyaan “Ada apa dengan Tambu Dõla Hulu?” Pemaksaan penetapan lokasi monumen di Tambu Dõla Hulu adalah bentuk pelecehan sosok Saõnigeho sama artinya melecehkan diri sendiri, terlebih jika diselingi agenda tersembunyi (hidden agenda).

Keinginan membuat monumen patung Si’ulu Saõnigeho akan menjadi konspirasi manakala di dalamnya terselubung niatan politik machiavelli (menghalalkan segala cara), ada niatan transaksi meraup keuntungan ekonomi oleh segilitir pemburu rente dan ada niatan memaksa memberikan lokasi yang tidak layak untuk pembangunan monumen tersebut. Kolaborasi kepentingan politik machiavelli dan ekonomi akan memperlihatkan tapaknya manakala para pihak yang terlibat di dalamnya mengabaikan catatan-catatan historis di atas, terlebih lagi jika ada niatan mendistorsi hak-hak ahli waris Si’ulu Saõnigeho. Manakala ini yang menjadi motivasi para penggagas mendirikan monumen Saõnigeho, maka krisis pengenalan diri kita semakin suram.

Oleh karenanya hendaklah kita memaknai pembangunan monumen Si’ulu Saõnigeho sebagai proyek ke’kita’an agar kita semakin mengenal diri sebagai orang Nias, bukan sebagai proyek ke’aku’an ataupun ke’kami’an.

Kritik dan Harapan

Selama ini Bawõmataluo yang diwariskan oleh Si’ulu Laowõ dan Saõnigeho hanya dilihat semata-mata sebagi sebuah peninggalan budaya, kita tidak pernah membacanya sebagai sebuah monumen sejarah perjuang para pejuang Nias sehingga kita tidak akan pernah tahu siapa kita.  Semua orang hanya terpesona melihat lompat batunya. Semua peneliti hanya terkagum-kagum bagaimana rumah tradisionalnya tidak rubuh ketika goncangan gempa menerpanya. Tidak mengherankan sejak pasca gempa yang melanda  Nias dan Aceh tahun 2005 membuat banyak orang terkagum-kagum melihat Omo Nifolasara yang sudah dimakan usia mampu bertahan dari goncangan gempa dan tetap berdiri kokoh. Mata duniapun terarah kesana, para penelitipun baik dari dalam maupun luar berdatangan untuk mengali keunggulannya. Bahkan tahun 2009 Bawõmataluo pernah dinominasikan sebagai warisan dunia. Sungguhkah Bawõmataluo menjadi warisan dunia atau hanyalah sekedar bungkusan penelitian yang dibingkai dalam kata,  mari kita uji dalam bingkai “ruang dan waktu”.

Sebagai warisan budaya dan “museum perjuangan” Omo Nifolasara di Bawõmataluo kita tidak memperlakukannya sebagai budaya yang harus dilestarikan, kita hanya tahu dan bangga bila jenazahku dan jenazahmu disemayamkan di dalam Omo Nifolasara, seolah kemanusiaan kita melebihi kemanusiaan orang lain.  Kita tidak tahu bahwa Si’ulu Laowõ dan Saõnigeho telah meninggalkan kepada kita sebuah monumen perjuangan. Mereka jauh lebih dulu mengajarkan kepada kita bagaimana menghormati para pejuang. Mereka sudah membangun sebuah monumen perjuagan dan mencatat di dalam Omo Nifolasara.

Kita hanya mampu membaca Omo Nifolasara sebatas tempat tinggal, terlalu buram membaca catatan sejarah perjuangan leluhur yang ditulis di dalamnya, karena bagi kita simbol hanya sebatas hiasan. Bagi kita permainan kata lebih esensi dari pada makna. Kita hanya bangga bahwa saya lahir di sana tapi miskin berbuat memeliharanya. Kita lebih terpukau pada biusan kata-kata tapi terlalu lugu menginterpretasikan simbol.

Bertolak dari fakta di atas, muncul harapan di balik keinginan Pemda Kabupaten Nias Selatan mendirikan monumuen Saõnigeho, semoga ini menjadi jalan menguak kisah-kisah yang nyaris terbenam. Semoga monumen ini tidak dibangun di atas kata-kata. Semoga kehendak baik ini menjadi inspirasi bagi kita untuk mengangkat kembali kisah-kisah heroik seperti perang di persimpangan (fanuvõ ba vabaliwa).

Semoga inspirasi ini tidak berbuah konspirasi. Semoga monumen ini mampu  “memperbesar’’ sejarah perjuangan pejuang Nias yang selama ini terlalu kecil untuk dibaca, sehingga dari sini, kita mulai mengenal diri kita sendiri.

Dan satu lagi harapan yang hendak disampaikan, bukan karena besarnya monumen seperti patung Liberty, bukan karena berlapis emas seperti Monas nilai sebuah monumen Saõnigeho baru akan dikenang. Tapi seperti namanya Saõnigeho, si lebah kecil di pohon beringin. Monumen sekecil apapun untuknya bila ditempatkan dalam ‘wadah’ yang tepat maka akan berkilau bagai emas dan dari kejauhan akan terlihat bagai lampu mercusuar.

Membangun monumen Si’ulu Saõnigeho, apakah sebuah inspirasi atau konspirasi, furai ndraugõ tõdõgu…. Untuk kita renungkan. Selamat berkontemplasi.

Referesi

  1. Catatan Schrõder, (Controleur voor de aanrakingen) pada pemerintahan Belanda di pulau Nias
  2. Hasil Penelitian Ilmiah tetang sejarah perjuagan masyarakat Nias, Gunung Sitoli, 1988
  3. “Mengenal Tokoh, Pejuang dan Pahlawan SumatraUtara” diselenggarakan oleh Pussis Unimed pada 10 November 2007.
  4. Artikel, Nias Bukanlah Dicangkokkan di Bumi NKRI Ini, Waspada Wau, 2013.
  5. An essay on man, Ernst Cassirer
  6. Informan :
  7. Famohouni Fau (anak dari Nitou’õ / cucu Sihola).
  8. Bazanalui Fau (anak dari Alawa /cucu Saonigeho)
  9. Taosara’õ Fau (anak dari Alawa/ cucu Saonigeho). (ns1)

 

*) Penulis adalah Pemerhati budaya Nias Selatan, tinggal di Jakarta.

 

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »