Tren Baru, Upacara Pernikahan Jadi Sarana Promosi Budaya Nias di Perantauan

Penari Tari Perang 'mengawal' penganti menuju pelaminan | Kornelius Nehe

Penari Tari Perang ‘mengawal’ penganti menuju pelaminan | Kornelius Nehe

NIASSATU, JAKARTA – Jauh dari Pulau Nias, baik karena merantau maupun karena kelahiran, tak membuat warga Nias kehilangan keterikatan dengan berbagai keunikan kebudayaannya yang lazim ditampilkan di Pulau Nias di berbagai acara.

Warga Nias perantauan selalu memiliki cara kreatif untuk mengekspresikan keterikatan tersebut meski mungkin tidak persis seperti biasa dilakukan di Pulau Nias atau dengan sedikit modifikasi sesuai kondisi.

Salah satu yang akhir-akhir ini mulai jadi tren adalah mengkolaborasikan beberapa kegiatan adat, terutama di acara pernikahan dengan atraksi kebudayaan tertentu dari Pulau Nias, khususnya atraksi Fatele (Tari Perang), Mogaele (Tari penyambutan/pengiring tamu) dan Fahombo (Lompat Batu).

Sejatinya, di Nias, tiga atraksi itu memang tidak dirancang untuk kegiatan pernikahan. Biasanya, para pengantin cuma memakai konstum khas Nias sebagai penanda keterikatan dengan budaya Nias. Tapi itu tidak memutus kemungkinan adanya cara kreatif untuk mengkolaborasikannya untuk menjadi penanda kecintaan dengan tanah leluhur sekaligus memromosikan keunikan kebudayaan Nias.

Salah satunya, seperti ditemukan Nias Satu pada resepsi pernikahan Michael Prihatin Anugerah Harefa dan Noviane Ayuningdyah pada Sabtu, 8 November 2014. Dalam acara yang digelar di Gedung Aneka Bhakti Kementerian Sosial RI tersebut, mereka menampilkan Fatele dan Fogaele.

Melibatkan 6 orang pria penari tari perang (Fotuwusö) dan 4 Sogaele (Penari penyambut tamu). Mereka semua menggunakan kostum khas/tradisional asal Nias Selatan yang didominasi warna hitam, kuning dan merah. 4 penari tari perang itu ‘merintis’ jalan bagi pengantin baru yang didahului oleh Sogaele saat akan menuju ke pelaminan. Lalu, di sebelah kiri dan kanan pengantin, juga ada dua penari tari perang yang menghunus pedang khas Nias, tolögu, sebagai simbol pengawalan dan perlindungan.

Pelestarian Budaya Nias

Lalu, apa sebenarnya alasan menampilkan atraksi budaya Nias yang unik tersebut di acara pernikahan?

Kepada Nias Satu yang kebetulan hadir pada acara itu bersama para Sifatele dan Sogaele yang tergabung dalam Sanggar FETUA tersebut, wakil keluarga pengantin, Soly Mendrofa memberikan penjelasannya.

“Ini bertujuan mengangkat nilai-nilai budaya Nias yang masih orisinil dan juga sebagai upaya melestarikan kebudayaan Nias yang lambat laun memudar seiring perkembangan zaman dan teknologi,” ujar Soly.

Dia menjelaskan, sebelumnya mereka tidak pernah mengundang atraksi budaya Nias dalam acara pernikahan keluarga mereka. Mereka biasanya hanya mengundang penyanyi untuk menyanyikan lagu-lagu khas Nias.

Soly pun mengungkapkan kekagumannya pada kehadiran para penari tersebut. Bahkan, kata dia, akan lebih menghibur lagi bila ada atraksi Lompat Batu. Namun, kata dia, atraksi Lompat Batu tidak ditampilkan karena keterbatasan waktu.

Sogaele 'merintis' jalan bagi pengantin | Kornelius Nehe

Sogaele ‘merintis’ jalan bagi pengantin | Kornelius Nehe

“Penampilan atraksi budaya ini sangat hebat dan sangat menghibur. Terlebih lagi jika ada atraksi Hombo Batu (Lompat Batu) pasti lebih meriah. Tetapi karena waktu yang sangat terbatas kita tidak meminta untuk ditampilkan,” tambahnya.

Salah satu tamu undangan pada acara itu, Amos Amöli Larosa, sangat mengapresiasi tampilnya atraksi budaya Nias pada acara pernikahan tersebut. Bahkan, dia mengungkapkan rencananya mengundang Sanggar FETUA untuk melakukan hal yang sama pada pernikahan putrinya pada tahun depan.

”Saya bangga dan salut sebagai orang Nias dengan penampilan Fatele dan Mogaele ini. Sangat menarik dan semangat sekali. Sebelumnya saya pernah menyaksikan penampilan atraksi budaya dari sanggar lain, tapi tidak menarik. Untuk itu saya akan mengundang Sanggar FETUA untuk memeriahkan pernikahan anak saya nanti pada Mei 2015 mendatang,” kata dia.

Sebelumnya, di beberapa pernikahan keluarga asal Nias lainnya, Nias Satu menyaksikan hal serupa, bahkan lengkap dengan atraksi Lompat Batu.

Sanggar Fetua didirikan dan dipimpin oleh budayawan Nias asal Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Waspada Wau. Pria yang berdomisili di Bekasi ini, berkomitmen pada pelestarian aneka budaya Nias. Salah satunya, melalui kegiatan sanggar yang telah tampil di berbagai kegiatan budaya, baik skala kecil seperti di pernikahan, maupun di ajang nasional. Salah satunya, Sanggar FETUA diundang dan tampil memukau pada Gelar Budaya Rakyat 2014 yang digelar di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada Minggu, 2 November 2014. (Baca: Atraksi Budaya Nias Pukau Pengunjung Gelar Budaya Rakyat di Monas)

Kiprah Sanggar FETUA ini patut diapresiasi di tengah kurangnya perhatian pemerintah daerah di Pulau Nias yang kini sibuk dengan berbagai agenda politiknya. Bersama sanggar-sanggar yang lainnya, Sanggar FETUA telah berkontribusi penting dan signifikan untuk memperkenalkan kebudayaan Nias kepada masyarakat Nias di perantauan dan kepada masyarakat dunia.

Nah, Anda punya cara unik menghidupkan terus dan memperkenalkan kebudayaan Nias? (NS4)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »