Ini Kisah Haru 3 Perantau Nias Bertemu di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara

Bendris Tazuno, Bripka Asliman Waruwu dan Pdt. Stevanus Zebua dan istri makan bersama di Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara| Dok. Pribadi

Bendris Tazuno, Bripka Asliman Waruwu dan Pdt. Stevanus Zebua dan istri makan bersama di Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara| Dok. Pribadi

NIASSATU – Merantau sejatinya bukanlah hal baru dalam keseharian orang Nias. Baik karena alasan mencari penghidupan maupun untuk merengkuh pendidikan yang lebih baik, yang tidak bisa dipenuhi di Pulau Nias.

Berpuluh-puluh tahun lalu, arus perantau Nias menjejali wilayah-wilayah terdekat di daratan Sumatera Utara. Yang terdekat adalah di Sibolga dan sekitarnya dan juga Medan. Ada juga di Aceh. Daerah lainnya adalah Padang, yang kemudian bergeser ke Pekanbaru dan Jambi. Dua dekade terakhir, tujuan perantauan orang Nias mulai bergeser ke Jawa.

Namun, akhir-akhir ini, ada lagi pergeseran arah rantauan. Kini ke wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTT dan Papua. Tapi secara umum, mereka tiba di sana karena penugasan dari instansi tempat mereka mengabdi. Tapi biasanya, mereka ada di kota-kota besarnya dan bukan di daerah terpencil wilayah itu.

Nah, tidak heran bila menemukan adanya orang Nias di daerah-daerah terpencil di wilayah Timur menjadi hal yang tidak biasa. Itu juga yang dirasakan warga Nias asal Gunungsitoli yang kini berdomisili di Jakarta, Bendriz Tazuno.

Pria yang juga seorang pengusaha yang aktif di pelayanan gereja tersebut, pekan lalu, mendapatkan pengalaman luar biasa. Dalam sebuah kunjungan bersama rekan-rekan gerejanya ke  Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Bendris kaget dan tak habis pikir bahwa di daerah kepulauan terpencil itu ada orang Nias.

Tahuna adalah ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, yang sebelum pemekaran bergabung dalam Kabupaten Sangihe-Talaud. Akses tercepat menuju  Kepulauan Sangihe dari Manado adalah menggunakan pesawat terbang kecil dan mendarat di Bandara Naha. Kepulauan Sangihe adalah salah satu wilayah terdepan Indonesia yang berbatasan dengan wilayah Mindanao, Filipina (lihat peta).

Kepada Nias Satu, Bendris bertutur, awalnya timnya memperkenalkan diri. Dalam perkenalan itu, Bendris tidak menyebut Jakarta sebagai asalnya, tapi Kepulauan Nias. Mendengar hal itu, warga setempat langsung memberitahukan dia kalau di wilayah itu ada orang Nias.

“Tak tunggu lama-lama, saya minta mereka mencari tahu dimana bisa menemukan mereka. Akhirnya, saya dapat nomor telpon Pdt. Stefanus Zebua. Saya telpon dia dan saya pakai bahasa Nias. Dia kaget luar biasa. Dia tidak menyangka saat itu di daerah itu dia akan bertemu orang Nias,” ujar Bendris menjelaskan awal pertemuannya kepada Nias Satu.

Dari Pdt. Stevanus, Bendris mendapatkan informasi kalau masih ada orang Nias lainnya di daerah itu dan berdinas sebagai polisi di Polres Sangihe, namanya Bripka Asliman Waruwu.

“Saya langsung minta Pdt. Stevanus agar mencari Pak Asliman Waruwu.  Karena Pdt. Stevanus gak punya nomor kontaknya, dia langsung pergi cari ke Polres dan ketemu. Lalu, kami janjian ketemu dan makan bersama termasuk dengan keluarga,” jelas Bendris.

Cuma pada acara makan bersama itu, keluarga Bripka Asliman tidak ikut serta karena berada di tempat yang jauh dari Tahuna.

Bagi mereka bertiga, pertemuan itu sangat mengharukan. Bagi Pdt. Stefanus dan Bripka Asliman hampir mustahil akan ada orang Nias yang mau berkunjung ke sana dan mencari mereka. Selain karena tidak jadi favorit untuk kunjungan wisata, juga lokasinya yang begitu terpencil. Karena itu, mereka tidak yakin akan ada lagi orang Nias yang menjejakkan kaki di sana. 

Kesempatan itu juga menjadi momen luar biasa bagi mereka karena bisa berbicara dengan sesama orang Nias menggunakan bahasa Nias. Hal yang selama ini jarang mereka lakukan. Memang, kata Pdt. Stevanus, sebelumnya ada lima keluarga orang Nias di daerah itu. Namun, sekarang tinggal keluarganya dan keluarga Bripka Asliman Waruwu karena tiga lainnya sudah pindah karena tuntutan pekerjaan.

Bendris pun kemudian menghubungi Nias Satu dan menceritakan keberadaan warga Nias di Kepulauan Sangihe tersebut. Melalui pembicaraan telpon, Nias Satu berbicara langsung dengan  Pdt. Stevanus dan Bripka Asliman dalam bahasa Nias.

Berikut tuturan singkat mereka.

Pdt. Stevanus tiba di Tahuna pada 1997. Di Nias, keluarganya berasal dari Muzoi. Pdt. Stevanus menikah dengan warga setempat dan kini memiliki seorang anak berusia 9 tahun, Presy Eshter Zebua.  Dia juga biasa dipanggil Ama Kene.

Pdt. Stevanus dan istrinya Pdt. Lany Manabung melayani di Gereja Pantekosta Tabernakel (GPT) di Manganitu sekitar 10 kilometer dari Kota Tahuna. Guna kebutuhan sehari-hari dan juga membesarkan jemaat yang dilayani, mereka bercocok tanam sayur di sekitar lokasi gereja.

Pdt. Stevanus sendiri meninggalkan Nias sejak 1991 dan sempat pulang ke kampung halamannya sekitar dua kali saja.

“Biasanya tidak bisa pulang karena terhambat jadwal pelayanan,” jelas dia.

Dia mengatakan, hal itu membuatnya sangat kangen bertemu dengan orang-orang Nias. Namun, di wilayah itu, orang Nias bisa dihitung dengan jari. 

“Di sini sulit sekali ketemu orang Nias, baik yang tinggal di wilayah ini maupun yang mampir ke sini. Kalau pun ada, lokasi mereka jauh-jauh, seperti di Manado,” kata dia.

Peta Kepulauan Sangihe. Wilayah berwarna merah adalah Pulau Sangihe, Sulawesi Utara | IST

Peta Kepulauan Sangihe. Wilayah berwarna merah adalah Pulau Sangihe, Sulawesi Utara | IST

Dia mengatakan kerinduannya untuk membentuk perkumpulan orang Nias dan mengadakan persekutuan doa bersama. Tentu saja juga agar bisa saling berkomunikasi untuk mengobati rindu akan kampung halaman.

Dia juga mengakui di sana tidak ada perkumpulan orang Nias. Mungkin karena lokasi yang berjauhan tersebut, sehingga sulit membentuk perkumpulan. Karena itu, pertemuan dengan Pak Bendris pada hari itu, kata dia, sangat mengejutkan dan benar-benar pengalaman yang berkesan.

“Saya kaget sekali ketika mendengar ada orang Nias di sini yang mencari kami. Kami bukan cuma rindu Nias. Makanya, pas ketemu Pak Bendris, langsung pakai bahasa Nias. Orang-orang di sini pada penasaran karena baru mendengar kami berbahasa Nias,” ujar dia sambil tertawa.

Yang sangat mengharukan, semangat fa’a Ono Niha sa ternyata sangat membantu. Sebab, sebenarnya Pdt. Stefanus tidak pernah kenal dengan Pak Bendris sebelumnya, termasuk sewaktu masih di Nias. Tapi, ketika bertemu di perantauan, seperti sudah kenal dan seperti saudara kandung.

“Saya sangat terharu. Saya tidak pernah bertemu atau kenal Pak Bendris sebelumnya. Inilah keunikan kita. Fa’a-Ono Niha-sa. Meski di Nias kita tidak saling kenal, ketika di perantauan, akan saling cari tahu. Dan ini sangat berkesan bagi kami,” jelas dia.

Pengalaman tak jauh beda juga dituturkan Bripka Asliman Waruwu. Dia juga tiba di wilayah itu pada 1997, usai menyelesaikan pendidikan polisi di Manado.

“Saya mendaftar polisi di Polda Metro Jaya. Lalu diberangkatkan ke Manado bersama empat saudara kita dari Nias juga untuk pendidikan. Usai pendidikan, saya ditempatkan di Polres Sangihe dan empat saudara kita lainnya ditempatkan di Sulawesi Tengah,” jelas Bripka Asliman.

Bripka Asliman juga memiliki istri warga setempat, Riny Lantemona, yang berprofesi sebagai perawat. Mereka dianugerah dua orang anak 12 dan 8 tahun. Bripka Alisman yang biasa dipanggil Ama Natalius menjelaskan, ibunya berasal dari Gido dan ayahnya dari Moi. Namun, tumbuh besar di Gunungsitoli sebelum ke Jakarta dan melamar masuk kepolisian.

Dia juga mengungkapkan, pertemuannya dengan Pak Bendris benar-benar pengalaman tak biasa. 

“Jarang sekali orang Nias di sini. Juga tidak mungkin ada orang Nias yang mau jalan-jalan ke sini karena bukan tempat kunjungan (untuk wisata, red). Jadi kalau kangen ketemu orang Nias, ya susah juga. Makanya ketika diberitahu sedang ada orang Nias di sini, dan bertemu Pak Bendris, saya kaget sekali. Gak percaya awalnya,” tutur dia.

Bripka Asliman juga mengaku belum ada rencana untuk mengajukan pindah dinas, misalnya di Pulau Nias. Maklum, istrinya sendiri adalah warga setempat sehingga merasa betah di sana.

Bagi warga Nias lainnya, yang mungkin karena pekerjaan berkunjung ke wilayah itu, silakan mampir dan menyapa saudara-saudara kita di sana. (ns1)

 

 

 

 

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »