Ide Nico Barito Relokasi Warga Desa Bawömataluo Dinilai Ngawur

Acara Nias International Developmetn Strategic Partnership yang dipimpin Nico Barito | Etis Nehe

Acara Nias International Developmetn Strategic Partnership yang dipimpin Nico Barito | Etis Nehe

NIASSATU, JAKARTA – Ide Utusan Khusus Presiden Seychelles untuk Asean Nico Barito yang ingin mengosongkan Desa Bawömataluo dari penduduknya mendapat reaksi keras dari warga Desa Bawömataluo.

Meski menghargai rencana untuk mengembangkan pariwisata di Nias, termasuk memasarkan Desa Bawömataluo, namun ide mengosongkan desa itu dengan memindahkan penduduknya dinilai tidak berdasar.

“Membangun pariwisata Nias itu ide yang baik, termasuk memasarkan Desa Bawömataluo. Tapi, kalau mau mengosongkan desa dan mencabut warganya dari sana demi industri pariwisata, itu bukan hanya ngawur. Itu sudah kebablasan,” ujar warga Desa Bawömataluo Marselino Fau kepada Nias Satu, Jum’at (5/12/2014).

Dia memertanyakan ide bahwa satu-satunya cara memajukan pariwisata di sana adalah dengan merelokasi penduduk Desa Bawömataluo. Menurut dia, Nico hanya melihat Bawömataluo itu dari sisi bisnis dan mengabaikan aspek budaya dan sosialnya.

Dia bahkan mengingatkan agar warga desa mulai berhati-hati dengan pemikiran yang menjadikan desa itu sebagai objek. Dia juga merujuk pada ungkapan seniman Bawömataluo almarhum Hikayat Manaö agar berhati-hati dengan para pemburu rente yang memanfaatkan desa itu.

“Sangat perlu diwaspadai trend yang terjadi dalam lagu Hikayat Manaö “maöfamawa, maöfabua, maökuyu, möiha ndraugö ba dödöu ho amagu” menjadi modus para pemburu rente,” tegas dia.

Dia menambahkan, dengan mengutip Khalil Gibran yang mengatakan dalam bukunya Sand and Foam yakni, “Betapa buta seseorang yang memberimu sesuatu yang dikeluarkan dari sakunya dengan tujuan merebut sesuatu dari hatimu.”

Warga Desa Bawömataluo lainnya, Anton Zagötö mengatakan sangat menghargai niat baik untuk mengembangkan pariwisata Nias. Namun, menurut dia, logika untuk memindahkan warga desa itu tidak relevan.

“Kalau direlokasi, pertanyaannya, apakah ada jaminan budaya Bawömataluo itu bisa terlestarikan atau justru akan lenyap? Siapa lagi yang bisa melestarikan budaya Bawömataluo yang sudah turun temurun selama ratusan tahun kalau bukan warga Bawömataluo itu sendiri. Sebab, kebudayaan itu tidak akan muncul dengan sendirinya jika tidak ada penduduk sebagai pelaku budaya itu sendiri. Atau nama Bawömataluo hanya tinggal cerita masa lalu seperti yang pernah di utarakan oleh Pak Yoyok? Apakah tidak ada alternatif lain untuk menambah nilai jual pariwisata Bawömataluo selain relokasi?” tanya dia.

Cuplikan Video Indonesia Bagus edisi Pulau Nias | Youtube.com

Cuplikan Video Indonesia Bagus edisi Pulau Nias | Youtube.com

Memajukan Tanpa Mencabut ‘Nyawa’

Sementara itu, tokoh masyarakat yang juga budayawan Nias dari Desa Bawömataluo, Waspada Wau menilai wacana relokasi itu dipastikan tidak cocok karena budaya maupun kebudayaan itu ditentukan keberadaannya oleh manusia pelakunya.

“Karena itu relokasi itu jangan pernah dicoba,” ujar dia memperingatkan.

Waspada juga membandingkan desa itu dengan Yerusalem bagi Israel dimana bagi warga yang tinggal di sana maupun di perantauan  selalu ada panggilan untuk memelihara dan menjaganya. Di antaranya, terbukti dengan gagalnya ide untuk memekarkan desa itu yang digerakkan oleh motivasi untuk mendapatkan dana pembangunan yang lebih besar beberapa waktu lalu. Masyarakat pun selama ini memanfaatkan kolong rumah, bukan sekedar untuk memanfaatkan ruang kosong, tetapi upaya agar sedapat mungkin tetap berada di desa itu.

Dia setuju Desa Bawömataluo menjadi lebih maju. Namun, dengan syarat masyarakat tetap di rumahnya masing-masing.  Lalu, libatkan seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh rangkaian, mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan,”

“Kalau seluruh yang terpasang sekarang di Desa Bawömataluo diakui sebagai karya besar leluhur, maka memajukannya tidak boleh dengan mencabut ‘nyawa’nya. Ayo, mari kita bahas dari berbagai aspek mendahului langkah yg salah,” tegas dia.

Seperti diketahui, dalam acara Nias International Development Strategic Partnership di Sekretariat APKASI pada Kamis (27/11/2014), Nico mengidekan bahkan meminta Direktur BUMN Nias Selatan untuk mencarikan lahan untuk dibangunkan rumah baru untuk ditempati warga Desa Bawömataluo. Lalu, desa budaya dengan segala keunikannya itu akan dikosongkan dan dijadikan semacam resort khusus untuk pariwisata. (Baca: Mimpi Nico Barito untuk Nias: dari Bangun Hotel Hingga Pindahkan Warga Desa Bawömataluo)

Acara itu dihadiri oleh para kepala daerah di Pulau Nias, kecuali Nias Selatan yang diwakili Kadis Budpar Faböwösa Laia dan Direktur Utama BUMD Bumi Nisel Cerlang. (ns1)

About the Author
  1. lumerdaeli Reply

    Menurut saya, relokasi bukanlah hal yg terlalu buruk selama pemda mau menyediakan tempat ataupun membeli secara adil tanah, bangunan, tanaman dll yg ada d tanah tersebut. Atau dlm arti lain, pemda akan bertanggung jawab utk warga yg direlokasi.
    Namun, semuanya harus tetap dibangun atas dasar musyawarah dgn warga setempat.
    Sebenarnya, relokasi sering terjadi di Indonesia. Contoh yg baru2 ini ialah suatu kota di Indonesia yang mau mendirikan bandara internasional di kawasan penduduk dengan beberapa alasan. Usul itu diterima oleh warga setempat sehingga mereka direlokasi ke tempat lain. Atau contoh yg paling sering ialah pendirian mall, bangunan tinggi, resort, hotel, rumah susun, dll.
    Relokasi bukanlah hal yg buruk selama tidak mengurangi nilai2 budaya, dll di kawasan bawotaluo dan yang harus dipastikan ialah masyarakat yg direlokasikan mendapat tempat yg lebih layak

Leave a Reply

*

Translate »