Relokasi Warga Bawömataluo, Tumbal Pengembangan Pariwisata Nias?
Oleh Samuel Novelman Wau*
Masa Depan Pariwisata Nias
Pertemuan para kepala daerah dari Kepulauan Nias dengan Duta Besar Republik Seychelles di Jakarta yang diliput Nias Satu cukup menarik perhatian. Acara tersebut menarik bukan saja karena dihadiri oleh para kepala daerah se-kepulauan Nias, kecuali bupati Nias Selatan, yang hanya diwakili oleh Kepala Dinas Pariwisata Nias Selatan. Bukan juga karena didukung oleh duta besar Republik Seychelles, Menkumham, Yasona H. Laoly yang berdarah Nias dan sejumlah pejabat terkait. Namun hal pokok yang membuat pertemuan pada tanggal 27 November 2014 yang lalu menjadi penting untuk diikuti adalah temanya yakni Nias International Development Strategic Partnership.
Secara singkat pertemuan ini membahas strategi jitu untuk mengembangkan industri pariwisata di Nias yang bertaraf internasional sebagimana yang sudah dicapai oleh Seychelles. Dalam pertemuan itu Nico Barito, Duta Besar Republik Seychelles mengemukakan sejumlah ide briliannya untuk memajukan Nias melalui sektor pariwisata.
Berikut adalah beberapa idenya: keinginan menggabungkan kepulauan Nias dalam aliansi Vanilla Islands Resort; membangun infrastruktur, salah satunya hotel berbintang; mengembangkan dan membangun pembangun dengan energi baru terbarukan; dan yang mengejutkan idenya merelokasi warga Bawömataluo.
Pertemuan dan ide-ide yang dicetuskan di sana sepertinya menjadi satu oase di tengah kekeringan dunia pariwisata Nias. Ada harapan bagi pariwisata Nias untuk bangkit dari mati surinya, lalu menjelma menjadi destinasi yang berkelas dunia.
Nasib Bawömataluo di Tengah Roda Pembangunan Pariwisata
Dari sekian banyak ide brilian yang dipresentasikan oleh Nico Barito, satu hal yang bagi saya perlu direnungkan adalah bagian terakhir – perelokasian warga Bawömataluo. Mungkinkah itu patut dilakukan? Haruskah ada tumbal yang dikorbankan atas nama pengembangan pariwisata Nias?
Tanpa mengurangi respek saya terhadap niat baik Barito dalam memajukan Nias, saya mau katakan bahwa ide terakhirnya yang hendak merelokasi warga lokal dari tanah leluhurnya adalah tidak tepat. Semua ide lainnya tidak ada yang salah dan itu patut didukung penuh, kecuali bagian yang terakhir tadi. Perelokasian ribuan warga Bawömataluo memang tidak dimaksud untuk semena-mena mencabut mereka dari tanah leluhurnya. Mulanya ide itu dicetuskan semata-mata bagian dari pengembangan industri pariswisata Nias dan Bawömataluo khususnya.
Barito melihat Bawomataluo seperti Town Square kuno yang memiliki nilai jual tinggi dan wajib dilestarikan. Ia mengharapkan Bawömataluo akan seperti Fullerton Hotel di Singapura, diubah dari fungsi awalnya menjadi tourist resort. Dengan demikian rumah-rumah di sana akan dikosongkan dan disulap menjadi tourist resort tanpa harus mengubah bentuk fisiknya. Sepertinya menarik. Para wisatawan akan dimanjakan dengan merasakan secara langsung kehidupan sosial suku Nias selama mereka meningap di sana.
Sekalipun dari segi daya tarik wisata ide Barito ini masuk akal namun pemda di pulau Nias dan warga Bawömataluo sendiri harus hati-hati menyikapinya. Jangan sampai demi sejumlah rupiah Bawomataluo dijual kepada orang asing. Dan jangan sampai Bawömataluo yang mulanya bernama Hilifanayama (Bukit Wisata) berubah menjadi Hilirufia (Bukit Rupiah).
Ada yang harus dijaga di sana yang nilainya melebihi dari setumpuk rupiah. Warga Bawömataluo adalah roh dari Bawömataluo itu sendiri. Semua yang sekarang disaksikan oleh para wisatawan di sana mulai dari masterplannya pemukimannya, artistektur unik rumah tradisionalnya (omo hada), kemegahan rumah rajanya (omo nifolasara), lompat batunya, batu-batu megalitikumnya, atraksi budayanya dan segudang kekayaan kuno lainnya yang tersimpan di sana adalah hasil kreasi dari warga setempatnya. Itulah kebudayaan yang telah mereka hasilkan sejak generasi nenek moyang mereka.
Jadi upaya relokasi bukan hanya mencabut mereka dari tanahnya tetapi lebih jauh lagi itu, sama saja menceraikan mereka dan kebudayaannya sendiri. Dan bila itu terjadi maka Bawömataluo akan kehilangan rohnya. Lalu apalagi yang mau dijual kepada para wisatawan yang berkunjung ke sana selain lahan dan bangunan yang mati.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dari rencana ini adalah identitas warga lokal. Bila rencana Barito benar-benar dilaksanakan maka bukan hanya fisik Bawömataluo yang kehilangan rohnya, tetapi warganya sendiri akan kehilangan identitas, jati dirinya sebagai orang Bawömataluo. Betul, mereka akan digeser di lahan yang tidak jauh dari pemukiman awal mereka demi menjaga hubungan emosional mereka dengan fisik Bawömataluo. Namun itu tidak akan banyak membantu. Bisa dipastikan dalam waktu singkat mereka akan memulai pola hidup yang benar-benar baru – tidak sama seperti yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dan kalaupun ada diantara mereka yang masih setia berkiblat ke Bawomataluo maka status mereka di sana hanya tamu, bukan lagi pemilik. Pada akhirnya orang Bawömataluo akan segan menyebut dirinya sebagai warga Bawömataluo.
Di masa lalu masyarakat Bawömataluo memang pernah punya pengalaman relokasi yaitu saat pemukiman awal mereka di Orahili Fau dibakar oleh penjajah Belanda pada tahun 1863. Namun kejadian itu tidak membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai satu komunitas. Sebaliknya, mereka justru tertantang dan berhasil membangun sesuatu yang baru melebihi apa yang mereka miliki sebelumnya dan itulah yang sekarang kita sebut sebagai Bawömataluo dengan segudang kekayaannya.
Pengalaman masa lalu itu mustahil terulang kembali. Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan generasi Bawömataluo sekarang ini, mereka tidak akan mungkin lagi mengulangi prestasi yang ditorehkan oleh leluhur mereka terlebih dewasa ini masing-masing mempunyai orientasi hidup yang cukup beragam dan tidak melulu fokus pada apa yang disebut fabanuasa. Dengan demikian relokasi a la Barito hanya akan menghancurkan identitas warga lokal. Satu kerusakan besar yang tidak mungkin bisa diperbaiki di masa depan.
Sehubungan dengan munculnya ide Barito ini, saya teringat berita di media online beberapa waktu yang lalu tentang 10 keunikan di negeri Cina, salah satunya adalah kerajaan para manusia kurcaci. Sebenarnya kerajaan kurcaci hanya ada di dalam dongeng. Namun pemerintah Cina membuat dongeng itu menjadi nyata. Di provinsi Yunan mereka mengumpulkan orang-orang yang berbadan mini, membuat pemukiman khas mereka mirip kerajaan kurcaci, dan itu menjadi destinasi wisata yang mahal. Kehidupan sosial di kerajaan kurcaci ini menjadi jualan negara Cina kepada para wisatawan.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah komunis bertolak belakang dengan apa yang diusulkan oleh Barito. Pemerintah Cina membuat proyek mustahil yaitu membuat yang tidak ada menjadi ada. Sedangkan impian Barito justru mau menghilangkan apa yang sudah ada. Ini kemunduran. Karena itu biarkanlah Bawömataluo dan warganya menyatu. Biarlah budaya khas Nias yang menjadi barang jualan kepada para wisatawan yang datang ke sana dihasilkan, dilestarikan dan dikembangkan sendiri oleh warga lokal melalui kehidupan sehari-hari mereka di Bawömataluo. Ketika tangan asing mencoba mencampurinya apalagi berusaha mengambil alih dan meminggirkan pemilik budaya maka bisa ditebak apa yang akan dihasilkan? Budaya imitasi.
Ide Barito dan Mimpi Roejoe di Masa Lalu
Memang ide relokasi dari Barito cenderung merugikan, namun kita tidak boleh menuduhnya sebagai perusak. Itu tidak adil, karena sebenarnya dia punya hati yang mulia untuk memajukan industri pariwisata di kepulauan Nias termasuk yang di Bawömataluo hanya saja caranya mungkin tidak pas. Barito punya tujuan yang baik terhadap Bawömataluo. Dan supaya tujuan baiknya itu tidak justru berakhir merugikan Bawömataluo sendiri maka ia perlu diberikan masukan.
Masukan pertama yang coba saya usulkan adalah tradisi suku Nias yang haram menjual pusaka leluhur. Semua orang (Nias) tahu bahwa pusaka leluhur seperti rumah dan lokasinya (naha nomo) serta batu-batu megalitikum di depan rumah (daro-daro zatua) tidak boleh berpindah tangan kepada pihak lain. Bila ada yang berani melakukannya apalagi ditukar dengan sejumlah materi (uang) maka besar kemungkinan kutukan akan menimpanya. Ini hukum tak tertulis tetapi berlaku disetiap banua di kepulauan Nias. Lebih baik pusaka tersebut ditinggalkan begitu saja daripada dijual kepada pihak lain. Saya menyinggung tradisi ini untuk membandingkan dengan rencana merelokasi warga Bawömataluo dari tanah leluhurnya. Tindakan yang menjual naha nomo dan daro-daro saja sudah sedemikian berat konsekuensinya, apalagi kalau banua Bawömataluo sampai dijual kepada pemerintah atau pihak swasta yang akan mengubahnya menjadi tourist resort. Apa kata pendiri Bawömataluo (samakhoi banua)?
Dan masukan kedua adalah belajar dari apa yang pernah diimpikan oleh Roejoe (baca: Ruyu). Roejoe adalah cucu dari Laowö pendiri Bawömataluo, dan anak dari Saönigeho, pejuang pada masa perang kemerdekaan. Roejoe yang bergaul secara luas dengan orang asing, sempat mengecap pendidikan Barat dan sering bepergian jauh ke kota-kota lain, pernah merancang membangun kota modern di lokasi yang sekarang dikenal sebagai Simpang Löhö (bagian dari teritori Bawömataluo).
Namun sayang impian itu tidak sempat terealisasi karena beliau meninggal terlebih dahulu. Sekalipun impian Roejoe itu tidak sempat terealisasi namun satu hal yang patut kita dan Barito pelajari adalah semangat pembangunanya yang tidak mengorbankan kekayaan budaya Bawömataluo. Ia tidak merombak Bawömataluo yang diwarisi oleh kakek dan ayahnya atas nama pembangunan modern, sekalipun ia punya otoritas untuk melakukan itu. Ia memastikan ‘kesucian’ lokasi pemukiman tradisional Nias tidak tersentuh. Pemukiman tradisional harus dilestarikan sekalipun roda pembangunan yang diperkenalkan orang Barat sedang bergulir.
Kembali kepada ide Barito. Barito dan pihak-pihak yang terkait yang ingin mengembangkan industri pariwisata di kepulauan Nias dan Bawömataluo harus belajar dari apa yang pernah Roejoe lakukan. Pembangunan boleh berjalan tetapi kehidupan sosial masyarakat tradisonal tidak boleh diganggu. Kalau memang Barito tetap menginginkan perpaduan antara tourist resort dan Bawömataluo maka ia bisa mengajukan proposal kepada pemerintah untuk melakukan langkah berani yaitu membangun ‘Bawömataluo’ mini di lokasi tertentu. Masterplannya boleh saja sama dengan Bawömataluo asli namun fungsinya diperuntukan untuk tourist resort. Dan Bawömataluo pun tidak akan pernah dikenang sebagai tumbal parisiwisata Nias. Ini pasti menarik. Semoga bisa.
*) Penulis adalah pemerhati budaya Nias, tinggal di Jakarta
menarik sekali ulasan yang bapak Samuel Novelman Wau utarakan di sini, kebetulan saya dan tim mendapatkan pekerjaan terkait Nias, khususnya Teluk Dalam dan sekitarnya, apakah saya bisa menghubungi / menemui bapak di Jakarta? Kebetulan juga tim kami dari Jakarta semua, mohon infonya dari bapak Samuel Novelman Wau, terima kasih.
Yoko, 085230021565, yokoyogiswara@yahoo.com
Mantap, uraian yg hebat……..!
Luar Biasa,,Saya sebagai kelahiran dari Desa ini ( Bawomataluo ) cukup kagum atas informasi ini semua ,BAWOMATALUO AKAN TETAP BAWOMATALUO ITU HARGA MATI ,YAAHOWU.
Tulisan Pak Wau sangat menarik bagi saya, karena memang kadang saya lihat kecenderungan orang membuang yang lama demi yang yang namanya kemajuan. Kadang saya baca ulasan para arsitek terkenal pembangun banyak gedung terkenal di London. Dan salah satu prinsipnya adalah mengintegrasikan arsitektur baru ke dalam arsitektur lama serta menempatkan komunitas di pusat perencanaan. Hal itu bertentangan dengan ide memindahkan masyarakat Bawömataluo. Sebaiknya ide pembangunan hotel resort diintegrasikan dalam lingkungan seputar desa-desa di Nias Selatan. Masyarakat yang hidup di sana harus merupakan bagian dari setiap pembangunan.