Lee Kuan Yew dan Inspirasi Membangun Nias
Oleh Etis Nehe*
NIASSATU, JAKARTA – Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew yang wafat pada hari ini, Senin (23/3/2015) pukul 3.18 waktu Singapura, tak cuma dikenal karena sejarahnya sebagai pendiri Singapura. Hal yang paling membuat Lee dikenal dunia adalah kegigihan dan kreatifitasnya mengelola pulau kecil di ujung semenanjung Malaysia yang berbatasan laut dengan Indonesia di Selat Malaka itu menjadi perhatian dunia.
Dengan berbagai kebijakannya yang sering dinilai otoriter, Singapura berhasil disulap menjadi negara berkelas dunia, jauh meninggalkan saudara-saudara tuanya di wilayah Asia Tenggara.
Di bidang ekonomi, Singapura menjadi salah satu pemain global yang ikut menentukan perekonomian dunia. Sejumlah negara besar, termasuk Indonesia bahkan bergantung pada perekonomian Singapura. Sampai saat ini, investasi asing di Indonesia tercatat sebagian besar berasal dari negara tersebut.
Singapura dan pengelolaannya oleh Lee menjadi salah satu bukti bahwa negara yang besar dengan sumber daya melimpah bukanlah jaminan akan menjadi sejahtera apalagi menjadi pemain global. Sebaliknya, Lee juga membuktikan, bahwa negara dengan sumber daya terbatas, namun dipimpin orang dengan visi besar yang realistis, dan ditopang oleh integritas yang kokoh, bisa menjadi sejahtera bahkan penentu kehidupan global.
Singapura menjadi cermin terdekat bagi Indonesia, yang masih tertatih-tatih menuju sejahtera di tengah berbagai kelimpahan alamiah yang dimilikinya, yakni wilayah dan penduduk yang besar serta sumber daya alam yang melimpah ruah.
Singapura juga terkenal sebagai negara terbersih di dunia, pusat wisata dan belanja. Dan yang lebih mencengangkan lagi, juga menjadi salah satu negara paling bersih dari korupsi.
Semasa hidupnya, Lee pernah memberikan pernyataan ‘bertuah’ yang menunjukkan semangat dan komitmennya pada pembangunan Singapura, bahkan meski dia sudah tiada.
“Bahkan ketika saya sakit terbaring di tempat tidur, atau bahkan jika saya diturunkan ke liang kubur, jika saya merasakan ada yang salah dengan Singapura, saya akan ‘bangun kembali’.”
Tak heran bila Presiden Amerika Serikat Barrak Obama dalam ungkapan dukanya atas meninggalnya Lee, menyebutnya sebagai “a true giant of history” (raksasa sejarah sejati) dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyebutnya “a legendary figure in Asia” (Seorang figur legendaris di Asia). Kepemimpinannya tidak hanya menjadi inspirasi bagi penerusnya memimpin Singapura, tapi juga bagi berbagai pemimpin dan warga sipil dunia lainnya.
Kini rakyat Singapura, seperti selama berdekade terakhir dan juga berdekade ke depan, akan terus menikmati kesejahteraan yang diwariskan kepemimpinan Lee. Tak cuma itu, secara tidak langsung, kemajuan Singapura juga telah menjadi berkah bagi banyak negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Rakyat Singapura pantas kehilangan Lee, sebagaimana juga warga dunia merasa kehilangannya. Lee pantas dikenang karena bukti kesetiaan, komitmen dan kesungguhannya membangun kehidupan rakyat Singapura. Dari tidak ada apa-apanya, menjadi salah satu penguasa global.
Meski begitu, Lee juga sering dikecam selama kepemimpinannya, bahkan sampai saat ini Singapura dipimpin oleh anak tertuanya. Lee dinilai menerapkan prinsip tangan besi memimpin negeri itu. Para lawan politik tidak sedikit yang berakhir di penjara karena menentangnya. Kebebasan pers juga sangat dibatasi. Bahkan, Singapura tercatat sebagai salah satu negara dengan kebebasan pers yang buruk pada 2014 menurut Reports Without Borders World Press Freedom Index.
Pada 1980, Lee pernah mengatakan pembenaran atas pola otoriternya memerintah Singapura. “Siapa pun yang mengatur Singapura harus bertangan besi, atau menyerah,” kata dia.
Inspirasi Bagi Nias
Singapura menjadi referensi bagi negara maupun daerah-daerah yang memiliki banyak keterbatasan untuk keluar dari kesulitan. Beberapa kepala negara dan juga kepala daerah di Indonesia sering menjadikan Singapura sebagai referensi. Bahwa kondisi serba tak punya, terbelakang dan miskin bukanlah halangan untuk hidup lebih baik.
Dalam berbagai percakapan dengan sesama orang Nias, Singapura juga sering dijadikan rujukan. Perujukan itu sangatlah wajar.
Secara geografis, Singapura dan Nias adalah sama-sama pulau. Sedangkan dari sisi luas wilayah, luas Singapura hanya sekitar 710 km2. Jauh lebih kecil dibanding Pulau Nias yang luasnya mencapai 4.771 km² (Kedua data luas wilayah diambil dari wikipedia.org, red). Dari sisi potensi sumber daya alam, juga Nias di atas Singapura.
Lee menyadari betapa terbatasnya wilayah negaranya itu. Sangat kecil dan juga tidak memiliki sumber daya alam. Tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia dan Malaysia, jiran terdekatnya. Sadar akan hal itu, Lee merancang sebuah pola baru membangun negaranya. Lee memilih cara berbeda agar negara itu bisa bertahan hidup.
Dalam sebuah wawancara kepada New York Times pada 2007, Lee menyatakan bahwa bila Singapura dikelola seperti negara-negara tetangganya, negara itu akan mati.
“Kami tahu bahwa jika kami seperti tetangga, kami akan mati karena kami tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan. Karena itu, kami harus menghasilkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik dari apa yang dimiliki negara tetangga kami,” kata Lee.
Lee pun mulai menata ulang Singapura. Di bidang pendidikan, melakukan investasi besar-besaran guna menghasilkan tenaga kerja berkualitas tinggi dan fasih berbahasa Inggris.
Di bidang investasi, Lee tanpa sungkan menawarkan Singapura kepada para pemodal asing untuk berinvestasi. Guna memuluskan agenda itu, Lee memberikan insentif kepada korporasi-korporasi yang mau berinvestasi.
Hasilnya, Singapura berubah menjadi pusat industri manufaktur. Tidak punya sumber daya minyak, namun Singapura justru berubah menjadi pusat industri penyulingan minyak mentah. Bahkan, harga minyak di Singapura menjadi salah satu patokan harga minyak dunia, termasuk bagi Indonesia. Di sektor finansial, Singapura juga berubah menjadi pusat keuangan internasional. Itulah Singapura kini. Negara kota dengan segala hal yang mencengangkan.
Lalu, apakah Nias juga bisa meniru cara Lee membangun Singapura? Secara teoritis, nilai-nilai fundamental dan semangat universal yang ditancapkan Lee di Singapura, bisa diterapkan di Nias. Meski secara praktis, beberapa hal harus disesuaikan dengan situasi unik di Pulau Nias.
Dalam sebuah lomba menulis yang digelar oleh situs Nias Bangkit pada 2013, saya mengirimkan sebuah artikel yang kemudian memenangkan lomba itu. Judulnya: Mau Maju? Bangun Nias Seperti Sebuah Negara! Artikel itu, dengan sejumlah penyesuian, telah ditayangkan di situs tersebut dengan judul Membangun Nias Seperti Sebuah Negara.
Secara teknis, bagaimana membangun Nias seperti membangun sebuah negara, telah dibahas tuntas di artikel itu. Beberapa bagian yang dikutip dalam artikel ini, hanya bersifat mengingatkan saja, untuk penyegaran kembali.
Ya, membangun Nias, sama seperti Lee memulainya, harus dimulai dengan perubahan paradigma. Perubahan paradigma ini, terutama pada mereka yang menjadi kepala daerah dan berada dalam posisi pengambil keputusan pembangunan, dalam hal ini termasuk DPRD. Mereka haruslah orang-orang yang memiliki pemahaman, visi dan target kerja yang jelas, tidak sekadar hadir sebagai pejabat.
Tanpa itu, kita hanya akan menemukan Nias seperti sekarang ini kita saksikan. Pembangunan, kalau pun ada, juga biasa saja. Sangat regular. Lajunya lambat, sulit mengejar ketertinggalan yang telah berdekade.
Siapa pun yang memimpin Nias, harus melihat Nias secara berbeda. Merancang pembangunan dalam cara yang berbeda mengingat berbagai keterbatasan yang ada. Baik secara alamiah karena sifat geografis sebagai pulau terpisah dan jauh dari jangkauan dan perhatian cepat/strategis pemerintah pusat dan provinsi, maupun karena keterbatasan sebagai efek laten ketertinggalan pembangunan yang sangat lama.
Salah satu masalah mendasar di Pulau Nias saat ini, selain ketidakgigihan dan kurang kreatifnya para pemimpinnya adalah korupsi yang merajalela meski itu jadi tema utama kampanye. Korupsi berlangsung sedemikian rupa, bahkan sampai membentuk kesan bahwa korupsi itu wajar, biasa dan tak perlu malu melakukannya. Tak sedikit orang yang bangga menjadi ‘orang kaya’ baru, tampil parlente dan dianggap sebagai tokoh dan juga menokohkan diri memanfaatkan hasil korupsinya.
Singapura bisa mencapai seperti yang saat ini kita saksikan, termasuk negara terbersih dari korupsi di dunia, salah satunya karena integritas seorang Lee Kuan Yew. Lee membangun sistem, selain juga memberikan teladan nyata. Paradigma antikorupsi, tidak dimulai ketika penggunaan anggaran. Tapi, mulai dari integritas, niat, komitmen pribadi ketika berada dalam jabatan pemimpin dan melakukan perencanaan penggunaan anggaran.
Tak cuma dalam hal penggunaan anggaran, dalam kehidupan sehari-hari juga hal itu berlangsung. Maka tak heran, soal kebersihan Singapura adalah teladan sejagad. Setiap orang yang hidup sembarangan: membuang sampah, meludah sembarang tempat atau hal lain yan mengganggu kehidupan orang lain, siap-siap saja mendapatkan sanksi, mulai dari denda hingga hukuman penjara. Jadi, mengharapkan Nias maju, tidak bisa terpisahkan dari komitmen menghentikan praktik korupsi oleh para pemimpinnya. Tanpa itu, semuanya cuma omong kosong belaka.
Momentum memperbaiki Nias kini di depan mata (lagi). Akhir tahun ini, tepatnya Desember 2015, lima daerah di Kepulauan Nias kembali akan menggelar pemilihan kepala daerah.
Seperti apa Nias ke depan? Lebih baik dari saat ini? Itu sangat tergantung siapa dan mentalitas Kepala Daerah yang terpilih. Apakah orang yang memiliki integritas dan komitmen untuk mengabdikan hidupnya untuk rakyat Nias membawa Nias keluar dari berbagai keterbelakangan seperti halnya dilakukan Lee bagi Singapura, atau orang yang hanya datang untuk merampok melalui jabatan dan dengan cara-cara licik memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya.
*Pemimpin Redaksi situs berita www.NiasSatu.com
Apakah Niassatu.com menerima opini publik untuk dipublikasan di Niassatu.com?Kalau bisa apa saja persyaratannya dan format penulisan yang sesuai dengan ketentuan dari Niassatu.com
Terimakasih.Saohagolo,
Salam…