Refleksi 10 Tahun Gempa Nias: Masalah sosial dan Kesehatan Masih Terabaikan

Oleh Berkati Ndraha*

Berkati Ndraha | Dok. Pribadi

Berkati Ndraha | Dok. Pribadi

Sudah 10 tahun peristiwa gempa bumi yang berkekuatan 8,7 skala richter telah memorak-porandakan Pulau Nias. Duka itu ternyata membawa ‘berkah’ tersendiri bagi masyarakat dan kemajuan Pulau Nias. Peristiwa 28 Maret 2005 itu, telah membawa perubahan bagi Pulau Nias, Nias yang dulu tidak dikenal sekarang banyak dikenal di kalangan nasional dan internasional.

Bencana yang merenggut ratusan nyawa itu mengetuk hati para dermawan, bantuan-bantuan kemanusiaan pun berdatangan dari lembaga-lembaga dalam maupun luar negeri.

Di usia sepuluh tahun pascabencana alam itu, ada banyak perubahan dan kemajuan, seperti infrastruktur: jalan, gedung, rumah dan peningkatan ekonomi.

Berkat kerjasama BRR dengan MERCY Malaysia, salah satu sarana kesehatan juga dibangun, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunungsitoli. RSUD ini diperuntukan sebagai pusat rujukan di Pulau Nias. Selain itu, juga ratusan posyandu dan Puskesmas dibangun oleh BRR dan NGO di berbagai tempat di Kepulauan Nias.

Bangunan rumah sakit umum yang bertaraf internasional seyogyanya dapat menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat. Akan tetapi terkendala dengan sumber daya manusia serta fasilitas medis yang belum memadai sehingga RSUD belum juga dapat menangani penyakit-penyakit parah dan mesti di rujuk keluar daerah Nias.

Beberapa posyandu dan Puskesmas di desa-desa sepi tanpa petugas dan terlantarkan. Berbagai alasan petugas medis pun untuk tidak tinggal di desa-desa. Di antaranya, akses komunikasi, jalan dan keamanan.

Seharusnya jika mereka memiliki hati melayani alasan tersebut tak perlu di ada. Masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan tidak dapat terlayani dengan baik di tingkat fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah di daerah-daerah. Kemampuan daya tampung di RSUD Gunungsitoli juga terbatas, sehingga lorong rumah sakitpun dimanfaatkan untuk tempat pasien rawat inap.

Tidak sedikit masyarakat mengalami keterlambatan penanganan akibat ketidakseriusan pemerintah akan layanan kesehatan. Misalnya saja, Medieti Lahagu warga desa Tarahõsõ Kecamatan Mandrehe Utara Kabupaten Nias Barat yang selama lima tahun menderita sakit benjolan pada lehernya dan tidak dapat berobat karena tak punya biaya. Meskipun akhirnya Bupati Nias Barat merespons dan memerintahkan dinas terkait untuk menjemput dan merujuk pasien ke RSUD Gunungsitoli, Medieti Lahagu tidak dapat tertolong dan meninggal di RSUD Gunungsitoli pada hari Kamis, (26/03/2015).

Pada Desember 2014, Ezra Hamonangan Halawa (3 bulan) anak dari Ya’aro Halawa dari Desa Olindrawa Sisarahili, Kecamatan Gidö, Kabupeten Nias, dari lahir menderita sakit kulit. Meskipun sempat dirawat di RSUD Gunungsitoli selama dua minggu atas bantuan salah seorang dermawan tapi terkendala dengan tidak adanya dokter ahli kulit dan akhirnya Ezra meninggal dunia.

27 Januari 2015, di kasir RSUD Gunungsitoli penulis bertemu seorang nenek berusia sekitar 60 tahun, warga desa Tuhegafoa II Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias. Dia sedang menyodorkan selembar KTP suaminya sebagai jaminan biaya rumah sakit cucunya bernama Santo Ndraha, karena mereka tak punya uang. Perdebatan pun terjadi antara si nenek dan petugas. Saat ditawarkan jalan keluar untuk mengurus surat keterangan keluarga tidak mampu agar biaya rumah sakit di bebaskan si nenek mengaku “tidak tahu”. Dan hari itu juga, dia dan cucunya harus kembali ke kampung lantaran mereka sudah hampir dua hari tidak makan karena persiapan uang untuk beli makan sudah tidak ada lagi.

Kasus lain di hadapi oleh Atisa Zega (69) penduduk desa Umbubalödanö, Kecamatan Sitölu öri, Kabupaten Nias Utara. Sudah 25 tahun menderita penyakit yang menggorogoti bola matanya. Janda yang tinggal bersama anak bungsunya ini mengaku pada 2009 dan 2015 ini pernah berobat di RSUD Gunungsitoli. Namun, saat itu pihak rumah sakit angkat tangan dan merujuk pasien untuk berobat ke Medan. Karena tidak mampu membiayainya, akhirnya tidak jadi berangkat ke Medan.

Dengan menggunakan Jamkesmas orang lain, kadang-kadang ibu Atisa Zega berobat ke puskesmas terdekat. Akan tetapi penyakitnya makin parah hingga bola mata sebelah kanan sudah tidak utuh lagi dan merembet hingga sekeliling bola matanya. Penyakit ini telah diketahui oleh Puskesmas setempat namun tak ada tindakan untuk membantu dari pemerintah sampai sekarang.

Selain permasalahan kesehatan, penanganan sosial bagi masyarakat di Pulau Nias juga banyak terkendala. Pemerintah seakan lepas tangan dan tak mau tahu. Ketika diperhadapkan dengan masalah sosial pemerintah selalu berdalih “tak ada anggaran”.

Pengidap penyakit gangguan jiwa dari tahun ke tahun juga semakin bertambah karena berbagai faktor yang melatarbelanginya. Salah satu kasus, seorang ibu berinisial SN (30) penduduk asal Kecamatan Gidö, Kabupaten Nias pada tahun 2014 yang mengalami gangguan jiwa. Ibarat pepatah yang mengatakan “sudah jatuh tertimpa tangga”, begitulah yang dialaminya.

Dalam keadaan seperti itu, masih saja ada orang yang memanfaatkan kesempatan hingga SN hamil di luar nikah dan memiliki seorang anak NN (3) dan satupun tak ada yang tau siapa ayah dari NN tersebut. Kondisi kejiwaan SN yang semakin parah dan suka mengembara hidup bersama anaknya beberapa tahun di Kota Gunungsitoli dengan membangun gubuk dari tenda bekas sebagai tempat mereka berteduh dan mengais sampah untuk mereka bisa makan.

Berkat informasi dari masyarakat bahwa NN menjadi korban kekerasan oleh ibu sendiri, salah satu lembaga pemerhati anak turun tangan dan menanganinya. Namun begitu, sayangnya ketika dikonfirmasi kepada dinas terkait untuk penanganan permasalahan sosial ini, mereka mengatakan pemerintah tak sanggup dengan alasan anggaran terbatas. Kata mereka, untuk penanganan penyakit gangguan jiwa untuk tahun 2014 hanya di anggarkan untuk tiga orang saja.

Meskipun akhirnya permasalahan sosial itu dapat terselesaikan oleh bantuan dari dermawan, akan tetapi bagaimana dengan mereka yang masih berkeliaran disana yang seharusnya butuh rehabilitasi dan penanganan khusus oleh pemerintah?

Masih terkait dengan penanganan sosial. Ketika seorang pimpinan sebuah Yayasan dari Pemantang Siatar telah bersepakat dengan salah seorang pimpinan daerah di Pulau Nias akan membangun pusat rehabilitasi kejiwaan dan narkoba di Kota Gunungsitoli. Pada peletakan batu pertama si pemimpin menjanjikan akan membantu 2000 sak semen dan uang tunai Rp 20 juta.

Namun pada kenyataannya si pemimpin berkilah “salah ngomong” atas 2000 sak semen jadi yang dipenuhi hanya uang tunai yang 20 Juta. Kekesalan itu disampaikan langsung oleh pimpinan yayasan itu kepada si penulis. Meskipun merasa di bohongi yayasan tersebut tetap komit untuk membagun pusat rehabilitasi itu dengan harapan orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan dapat ditangani dan diberi perhatian khusus.

Belum lama ini, seorang anak berinisial SB (6) dari Kecamatan Bawolato Kabupaten Nias mengalami perlakuan kekerasan oleh kakeknya sendiri AB, dimana kedua paha SB dibakar. SB dan si nenek tidak mampu berbuat apa-apa lantaran ibu dari anak ini sudah meninggal dan ayahnya telah lama pergi merantau.

Salah satu fasilitas Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang diterlantarkan/tak difungsikan | Berkati Ndraha

Salah satu fasilitas Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang diterlantarkan/tak difungsikan | Berkati Ndraha

Tentu dalam penanganan kasus ini mestinya pemerintahlah yang berada di garda terdepan. Namun amat sangat disayangkan hal itu tidak di laksanakan. Pemerintah lebih mengandalkan lembaga non pemerintah untuk menangani kasus ini. Bahkan saat SB butuh penanganan medis dan dirawat di rumah sakit, pihak terkait menyuruh si nenek yang tidak tahu apa-apa itu untuk mengurus BPJS. Sebuah tanggapan yang sangat disayangkan karena SB sama sekali tidak memiliki dokumen identitas. Dan sudah pasti, jaminan kesehatan yang dimaksud tidak akan pernah dapat dikeluarkan.

Perlu Sosialisasi BPJS

Undang-undang Nomor 24 tahun 2011, pasal 3 mengatakan BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.

Terkhusus untuk fakir miskin dan orang tidak mampu, iurannya dibayar oleh pemeritah seperti diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 32 tahun 2014 melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Celakanya, khususnya di Pulau Nias terdapat banyak kasus fakir miskin dan keluarga tidak mampu yang tidak memiliki kartu Jamkesmas atau sejenisnya. Program JKN dan pengurusan BPJS pun banyak masyarakat tidak tahu, sehingga saat mereka sakit barulah mereka mengurusnya agar dapat keringanan biaya.

Namun akhir-akhir ini peraturan BPJS yang sering berubah-ubah tanpa sosialisasi dari pihak peyelenggara membuat masyarakat kebingunan. Tidak sedikit masyarakat yang mau mendaftar akhirnya menyerah ketika disuruh melengkapi ini dan itu.

Kartu Indonesia Sehat yang dijanjikan presiden terpilih Ir. Joko Widodo saat kampanye sampai sekarang juga belum ada realisasinya.

10 tahun peristiwa gempa dan 10 tahun masanya Nias bangkit dari keterpurukan. Saatnya pemerintah lebih serius dalam penanganan masalah kesehatan dan sosial di Pulau Nias. Harapannya pemerintah turun ke kecamatan melalui desa-desa untuk memberi sosialisasi tentang jaminan kesehatan agar program mulia ini menyentuh masyarakat kecil yang sangat membutuhkan.

Keberadaan RSUD Gunungsitoli tentunya tidak cukup. Melalui pemerintahan pusat harusnya memperhatikan kondisi pelayanan kesehatan di Pulau Nias dengan menambah fasilitas dan tenaga medis. Supaya jangan hanya bangunannya saja yang bertaraf internasional akan tetapi pelayanannya juga.

Sudah seharusnya tak ada lagi Medieti Lahagu yang meninggal karena menderita selama lima tahun, cukup sudah anak-anak meninggal karena gizi buruk, Atisa Zega yang berjuang selama 25 tahun hingga bola matanya hancur dan sampai sekarang belum juga di tangani, dan jangan ada lagi masyarakat tidak dapat dilayani karena tak punya biaya hingga menggadaikan KTP.

Penulis yakin, selain yang telah dipaparkan di atas, di luar sana masih banyak masyarakat mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pemerintah diharapkan kehadirannya untuk itu.

Semoga dengan peringatan 10 tahun gempa ini memberi semangat kepada kita semua terlebih kepada pemerintah untuk siap melayani mereka yang membutuhkan, dan tangguh menghadapi bencana. “Salam Siap Siaga…!!”

*Penulis adalah aktivis sosial, tinggal di Pulau Nias.

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »