Ayah, Sedikit tentang Riwayatmu

Oleh Noverius Laoli*

Noverius Laoli  dalam kenangan bersama sang Ayah dan Ibu pada tahun lalu | Dok. Pribadi

Noverius Laoli dalam kenangan bersama sang Ayah dan Ibu pada tahun lalu | Dok. Pribadi

Ayah,  aku masih ingat ketika aku masih kecil. Waktu itu adik-adikku masih belum pada lahir. Waktu itu usiaku masih lima tahun dan kita pulang dari kebun karet menuju rumah, saat itu hujan lebat, kau mengendongku di atas bahumu. Aku memegang kepalamu dan engkau pun menceritakan dongeng-dongeng indah padaku. Setiap kali menjelang malam, saat yang kutunggu-tunggu, karena engkau biasanya menceritakan dongeng-dongengmu yang membuat imajinasiku liar terbang ke negeri antah berantah. Negeri para dewa dan dewi, dimana ada manusia ajaib dan peristiwa-peristiwa ajaib.

Ayah, aku juga masih ingat, ketika waktu kecil engkau begitu gagah perkasa. Berbeda dengan pria seusiamu waktu itu yang lebih banyak menghabiskan waktu di kedai tuak dan bersenang-senang. Engkau pergi bekerja sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Kadang, waktu itu, aku khawatir, ada apa-apa denganmu di hutan sana. Tapi ketika bayanganmu muncul di keheningan petang, aku pun gembira. Kau pulang dengan topi di kepala, dalam posisi terbalik.

Aku masih ingat pertama sekali kau antar aku sekolah di SD Negeri 157015 Kebun Pisang pada tahun 1992. Tidak jauh dari desa kita Sitonggi-tonggi. Engkau naik sepeda besar dan mendaftarkanku di sekolah. Waktu itu aku malu memakai baju sekolah dan ketika bertemu dengan banyak anak-anak seusiaku. Aku seorang pemalu. Tapi waktu akau melihat padamu, engkau tersenyum memberikanku semangat.

Ayah, aku masih ingat cerita-ceritamu. Izinkan aku mencoba menuliskannya, maafkan bila ada yang terlupakan. Ayah, engkau sendiri tidak tahu tanggal lahirmu. Cuma engkau ingat engkau lahir tahun 1960. Namamu Faojatulö Laoli. Kemudian ketika dibaptis namamu ditambah menjadi Nestor Faojatulo Laoli.  Engkau tidak tahu persis bulan berapa engkau lahir, karena kakek tidak biasa mencatat tanggal lahir anak-anaknya pada zaman itu. Akhirnya engkau tentukan sendiri, engkau lahir 17 Agustus 1960 di KTP mu.  Itu tepat pada hari kemerdekaan.

Waktu kecil, berumur kira-kira 5 tahun, nenek telah meninggalkanmu bersama adik dan kakak-kakakmu. Kalian ada 4 bersaudara. Kemudian pada usia 12 tahun, kau memberanikan diri merantau dari Pulau Nias ke Sibolga. Jadilah engkau seorang pengelana di negeri yang tak ada seorang pun engkau kenal. Engkau hanya bermodalkan tekad akan sukses. Engkau berani, meskipun saat itu, engkau tidak tahu membaca. Sekolahmu harus terhenti ketika baru dua minggu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas II di kampungmu. Engkau tak punya uang membeli pakaian seragam karena kakek dalam keadaan susah.

Kemiskinan telah membuatmu harus pergi meninggalkan Pulau Nias, rumah kakek dan nenek. Engkau akhirnya menjadi pekerja kuli di Sibolga, Pulau Sumatera. Engkau mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan. Dengan modal tekad dan rajin, engkau dengan mudah bisa bertahan hidup. Kemudian engkau masuk hutan bekerja kepada orang yang waktu tahun 1980-an sebagai penebang kayu. Waktu itu hutan di sekitar Sibolga masih rimbun dan lebat. Dari sana, engkau belajar membaca dari rekan-rekan satu profesi sebagai penebang dan penarik kayu sampai ke kota. Pikiranmu pun mulai terbuka, dan dari situ engkau mendapatkan banyak cerita dongeng yang kelak kau selalu tuturkan kepada ku dan adik-adikku menjelang tidur.

Engkau bekerja dan banyak orang mencintaimu. Engkau tetap tekun dan setiap kali ada waktu, engkau datang ke Pulau Nias untuk bertemu dengan Kakek dan saudara-saudara. Engkau masih mencintai mereka. Engkau bawa adikmu, bapak Kecil ke Sibolga, bersamamu. Akhirnya kalianpun merantau berdua. Engkau bertemu Ibu di Sibolga, dan kalian menikah di Pulau Nias, meskipun dengan kekurangan dan sedikit menimbulkan gejolak. Engkau akhirnya sukses membangun rumah tangga.

Sifatmu yang pekerja keras membuatmu semakin berhasil. Selama tiga tahun bersama ibu, aku belum juga lahir. Lalu pada tahun ketiga, aku pun lahir sebagai anak pertama. Aku bisa membayangkan begitu gembira dirimu mendapatkanku. Hingga besar pun engkau selalu mencium dan memelukku. Kau sangat mencintai aku dan adik-adikku. Lelah dan capek tak sudah menyatu dengan jiwamu. Kau tak peduli, asalkan anak-anakmu bisa sekolah. Hutan yang dijual dengan harga murah sejauh sekitar 5 kilometer dari rumah engkau beli. Engkau mengubah hutan itu menjadi kebun karet. Kini kebun itu begitu luas dan menghidupi kami.

Ketika melihat paman kecil, adik kandung ibu memakai seragam SMA, matamu pun berbinar-binar. Kenapa? Karena engkau mulai menaruh harapan, anakmu yang pertama, dan semua anakmu akan engkau perjuangkan setidaknya bisa duduk di bangku sekolah SMA, meskipun hanya beberapa hari. Engkau menyadari sebagai orang kecil, tak berpendidikan, miskin dan kerap tidak dianggap oleh orang-orang sekitar, tidak akan menjadi siapa-siapa bila anakmu tidak bisa sekolah.  Engkau tidak mau anak-anakmu seperti dirimu yang tidak sekolah.

Perjuanganmu tidak sia-sia ayah. Kau punya tekad kami sekolah dan itu pun jadi kenyataan. Anakmu tidak hanya duduk di kursi SMA, tapi juga sampai lulus kuliah. Sesuatu yang engkau pun tak pernah sempat memikirkannya. Tuhan maha baik padamu, Ayah. Ia memberimu lebih dari yang engkau cita-citakan.

Ajaranmu kepada kami memang sejak dari kecil sederhana,  yakni sekolah dan sekolah. Itu tak bisa dikompromikan. Kau membuat kami harus sekolah meskipun kadang kami malas. “Nak nanti kalau kamu tidak sekolah, aku bisa ditangkap polisi,” ujarmu suatu ketika saat aku ketahuan bolos sekolah. Seketika, aku pun takut waktu itu. Aku takut kalau engkau ditahan polisi hanya karena aku tidak sekolah. Tapi ayah, kini aku sudah sekolah, terima kasih caramu mendidikku.

Semua tetangga tahu, kau seorang ayah yang gagah dan keras. Tidak segan-segan tanganmu mencubit paha dan perut kami bila kami bandel dan malas. Engkau memukul dan memarahi kami sambil memberikan nasihat. Sunggu saat-saat seperti itu dulu sangat menakutkan kami. Tapi saat ini, kami berterima kasih, karena tanpa ketegasan itu, kami mungkin tak pernah jadi siapa-siapa.

Ketika aku lahir, engkau  tanam pohon karet seluas sekitar 2 hektare (ha) untukku. Kemudian ketika adikku Andrianus sudah mulai ada dalam kandungan, engkau pun menanamkan pohon karet padanya, dan demikian ketika adikku Megawati ada dalam kandungan, engkau pun menanam pohon karet untuknya. Selanjutkan ketika adikku Nolizaro ada dalam kandungan ibu, kau melakukan hal serupa, sampai Yustinus dan Martin Star. “Aku menanam pohon karet ini supaya kalian tidak menjadi budak orang lain ketika bekerja di kebun mereka dan kalian dimarahi dan dipecat kapan saja. Kalau kalian menjadi pemilik kebun, kalian menjadi tuan atas diri sendiri,” begitu katamu kepadaku ketika aku berumur 15 tahun.

Ketika aku masuk SMA, aku tahu engkau begitu bahagia. Aku sekolah dan kemudian aku mengatakan aku harus keluar Pulau Sumatera, yaitu Bandung. Engkau waktu itu takut. Tapi karena aku punya tekad akhirnya engkau merstui juga. Engkau mendoakanmu agar aku selamat. Kini sepuluh tahun lebih merantau di Pulau Jawa, engkau terus mendukungku.

Begitu juga dengan adik-adikku. Yang nomor dua sudah lulus sarjana. Putrimu satu-satunya juga sudah lulus sarjana, dan putramu nomor 4 sudah semester enam di Jakarta, dan putramu nomor 5 sudah semester dua di Sibolga. Demikian juga dengan putra bungsumu yang sangat kau sayangi sudah kelas 1 SMP di Sibolga. Ketika aku mengungkit semua itu kepadamu, engkau hanya menangis. Aku yakin itu tangis bahagiamu.

Ayah, aku tahu akhir-akhir ini kau kerap menangis bila aku menelpon, demikian juga bila adik-adikku menelpon. Kau memang sudah ingin sekali kami berada di sampingmu di masa-masa sulit ketika engkau mulai sakit sejak tahun 2011 lalu.

Maafkan kami ayah, kami tak bisa mewujudkan keinginanmu itu.  Dulu pun engkau selalu bilang kami harus ada di sampingmu ketika ajal menjemputmu. Namum lagi-lagi kami gagal, kau pergi hanya disaksikan adik Yustinus, Martin dan Ibu. Maafkan kami ayah, kami gagal mewujudkan niatmu.

Meskipun engkau telah pergi Ayah, dan aku beserta Nolizaro, masih di Jakarta, esok (redaksi menerima email artikel pada Selasa (14/4/2015) malam, red). Kami akan bertemu denganmu, meskipun sudah tak saling menyapa lagi. Adikku Andrianus, cucumu dan menantumu yang baru dua hari lalu mengunjungimu di Sibolga, tengah dalam perjalanan menuju Sibolga dari Medan. Mereka bersama Putri tunggalmu Megawati. Doakan kami.

Kau selalu hidup dalam jiwa dan raga kami Ayah. Love u so much.

Semoga engkau bangga bercerita dengan para leluhur kami yang telah mendahului engkau di alam sana. Engkau telah menginspirasi kami. (ns1)

*Penulis adalah wartawan pada surat kabar harian Kontan di Jakarta.

 

About the Author
  1. LumerDaeli Reply

    sangat terharu dengan cerita anda,:) terimakasih…
    saya jg sedang kuliah di jawa, smg cepat lulus dan dapat memberi sebuah senyuman di wajah orangtua luarbiasa yang saya punya.

Leave a Reply

*

Translate »