Promosi ‘All in One’ Nias a la Noni Telaumbanua

Noniawati Telaumbanua | Etis Nehe

Noniawati Telaumbanua | Etis Nehe

NIASSATU, JAKARTA – 28 Maret. Tanggal itu, sejak 2005 lalu menjadi monumental bagi masyarakat Nias. Ya, pada tanggal itu, gempa dahsyat berkekuatan 8,7 SR meluluhlantakkan Pulau Nias dan merenggut sekitar 1.000 nyawa, di luar korban luka-luka maupun yang masih menanggung trauma sampai saat ini.

Setiap tahun, pada tanggal itu, berbagai kegiatan dilakukan untuk memeringati peristiwa itu. Bahkan, tahun ini, ada pencanangan pembangunan tugu gempa di Gunungsitoli, oleh dua Menteri Kabinet Kerja, yakni Menteri Pariwisata Arief Yahya dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.

Tanggal itu tak cuma menjadi pengingat situasi runyam dan mematikan 10 tahun lalu itu. Tapi, juga menjadi garis pembeda antara masa lalu Nias yang serba tertinggal dengan upaya untuk bangkit setelah berbagai keterbatasan itu diperburuk oleh dampak gempa kala itu.

Dalam banyak hal, terjadi banyak perubahan di Pulau Nias. Namun, perubahan itu sejatinya masih normal seiring melimpahnya dana pembangunan pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi untuk mengembalikan Nias pada kondisi semula. Pembangunan yang lebih cepat juga diharapkan pasca pertambahan wilayah otonomi. Dari dulu hanya dua kabupaten, kini menjadi empat kabupaten dan satu kota. Namun sayang, pembangunan ternyata tidak secepat yang diharapkan banyak orang Nias, seperti dibayangkan ketika pemekaran wilayah diperjuangkan.

Berbagai harapan untuk memperbarui kondisi Nias muncul dari putra-putri Nias sendiri. Baik di Pulau Nias maupun di perantauan. Berbagai gagasan ditelurkan dan ditularkan melalui diskusi, artikel opini hingga upaya kecil-kecilan dengan melibatkan diri pada satu kegiatan di Pulau Nias, baik secara mandiri maupun secara bersama-sama.

Ada yang berhasil, ada juga yang gagal. Ada yang putus asa dan berhenti berbuat. Atau kalau pun tetap memikirkan Nias, memilih berada pada jarak yang relatif jauh. Tapi, juga tidak sedikit yang terus maju, berkobar semangatnya untuk berbuat sesuatu yang meski signifikansinya kecil.

Orang-orang ini, melalui keahlian dan bidang yang mereka bisa garap, terus berkontribusi. Mereka yakin satu hal, tidak mungkin Nias dibiarkan begitu saja. Nias harus dibawa maju meski dalam segala keterbatasan. Potensi alam, budaya dan sosial Nias mulai digarap satu per satu. Mulai dari tahap yang paling praktis untuk dilakukan. Ada beberapa nama yang berhasil menorehkan capaian, meski mungkin baru permulaan. Mereka layak diberi apresiasi. Kehadiran mereka, memberikan setitik kelegaan bahwa anak-anak Nias ternyata tak lelah berupaya melakukan apa saja yang mereka bisa untuk membangun dan merawat daerah leluhurnya.

Salah satu dari sejumlah nama tersebut adalah Noniawati Telaumbanua. Jauh sebelum saat ini eksis di Pulau Nias, dan kini di Nias Selatan, telah melakukan berbagai upaya. Mulai dari pengayaan konsep pembangunan hingga usaha kecil-kecilan sebagai wujud kontribusi nyatanya. Kini, setelah memutuskan menetap di Pulau Nias usai sekitar 10 tahun berdomisili dan studi di Eropa, Ina Sara, demikian dia akrab dipanggil, perlahan tapi pasti mulai menorehkan lagi catatan impiannya bagi Nias yang menjadi kenyataan.

Bertepatan dengan peringatan 10 tahun gempa Nias, bertempat di lantai 6 gedung Sinar Kasih, Cawang, Jakarta Timur, Noni demikian dia biasa juga dipanggil, menggelar sebuah acara peringatan juga. Berbeda dengan yang lain, Noni menggelar sebuah diskusi pembangunan Nias dan pameran kerajinan dan makanan tradisional Nias yang selama ini digarapnya bersama warga desa di Nias Selatan. Acara didahului dengan paparan perkembangan kondisi Nias pascagempa. 

Nama acara itu, “2nd Event of Succulent Tanö Niha.” Ya, ini tahun kedua Noni menggelar acara serupa di Jakarta. Tahun ini mengusung tema “Kepulauan Nias – 10 Tahun Setelah Gempa Terdahsyat Maret 2005 (Nias Islands-10 Years After The Biggest Earthquake 2005, March 28). Acara dihadiri oleh oleh para dosen dan para koleganya alumni Jerman. Juga sejumlah masyarakat Nias di Jabodetabek. 

Dalam pameran tersebut, Noni menyajikan beberapa jenis makanan tradisional Nias. Yakni, fakhe nifalögu, fakhe bulu damo, babae, nibiniögö (pepes daging), foi nitunu (pari bakar), mugu nigore (benur/anak udang goreng), toru (terung) dan uro nigore (udang goreng).  Juga ada makanan ringan berupa löfö-löfö/löfö sagu dan kue pia gulo ano yang merupakan penganan peranakan di Pulau Nias.

Noni menjelaskan, acara yang merupakan kedua kali ini tersebut dilakukan karena dinilai efektif untuk memromosikan Pulau Nias. Sebab, dalam acara dengan konsep ‘all in one’ ini, semua pihak bisa mengetahui banyak informasi dalam sebuah kegiatan dalam sehari. Hal itu terinspirasi kegiatan serupa yang pernah disaksikannya di Jerman.

“Ketika pulang ke Indonesia, saya ingin bikin acara satu hari seperti itu dimana semuanya ada. Ada event budaya tapi juga mengenai pembangunan. Itu sangat membantu menjembatani semua kalangan, organisasi, pemerintah dan nonpemerintah dalam satu acara. Itu merupakan langkah yang sangat praktis untuk melakukan promosi sebuah daerah. Yang saya alami dalam dua tahun terakhir dengan event seperti ini banyak pengalaman baru dan bisa saya jamin bahwa ini salah satu langkah efektif untuk memromosikan sebuah daerah,” jelas dia saat menyampaikan paparan mengenai kegiatan tersebut pada Sabtu, 28 Maret 2015.

Foto bersama sebagian peserta pameran dan diskusi | Etis Nehe

Foto bersama sebagian peserta pameran dan diskusi | Etis Nehe

Noni berpendapat, berdasarkan pengalaman selama menetap di Nias, rencana pembangunan daerah harus disertai dengan kreatifitas. Kalau daerah tidak memiliki kreatifitas mengembangkan daerahnya, maka akan sulit melakukan inovasi. Dia yakin, meski acara yang digelarnya itu ‘kecil-kecilan’ namun bisa memicu semangat dan keterlibatan yang sama dari masyarakat Nias lainnya.

“Harus ada inisiatif untuk berinovasi. Sejauh yang kami tahu, saat ini inisiatif itu masih kecil. Tapi, pengalaman kami selama di Nias, kebiasaan sosial orang Nias itu, kalau dipicu sebuah kegiatan menarik maka biasanya kemudian akan ramai-ramai akan melakukannya juga. Saya yakin, meski acara ini kecil, tapi saya yakin bisa memicu yang lain untuk semua melakukan hal serupa,” harap dia.

Di acara itu, para peserta menikmati aneka makanan tradisional Nias yang diolah langsung oleh Noni dan timnya di Jakarta. Juga dijejerkan begitu banyak produk berkualitas tinggi hasil kerajinan warga Desa Bawödobara, Nias Selatan berupa bola-bola (tas dan dompet) dengan aneka motif yang dikerjakan dengan sangat rapi dan motif unik.

Nah, bagaimana latarbelakang Noni sampai pada titik upaya promosi Nias tak henti ini dan tantangan apa yang dihadapi, ikuti penjelasannya dalam wawancara khusus dengan Nias Satu pada artikel terpisah. (Etis Nehe)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »