Noni Telaumbanua: Dukung Pengrajin di Desa Dengan Membeli Produk Kerajinan Lokal Nias

Noniawati Telaumbanua | Etis Nehe

Noniawati Telaumbanua | Etis Nehe

NIASSATU, JAKARTA  – Usai pameran perkembangan pembangunan, makanan tradisional dan produk kerajinan khas Nias di Gedung Sinar Kasih, Cawang, Jakarta Timur, pada 28 Maret 2015, Nias Satu berkesempatan mewawancarai Noniawati Telaumbanua, sang penggagas dan penyelenggara acara.

Acara pameran tersebut merupakan yang kedua kalinya digelar setelah acara serupa menuai sukses pada tahun lalu di Jakarta. Nama acara itu adalah  “2nd Event of Succulent Tanö Niha” dengan tema “Kepulauan Nias – 10 Tahun Setelah Gempa Terdahsyat Maret 2005 (Nias Islands-10 Years After The Biggest Earthquake 2005, March 28). Acara dihadiri oleh oleh para dosen dan para koleganya alumni Jerman. Juga sejumlah masyarakat Nias di Jabodetabek. 

Pameran kali ini bertepatan dengan peringatan 10 tahun gempa Nias, tepatnya 28 Maret 2015. Para peserta tak cuma menikmati berbagai hal baru tentang Nias, tapi juga bisa mencicipi secara langsung makanan tradisional Nias yang diolah langsung oleh Noni yang bahannya dibawa langsung dari Nias.

Noni mengatakan, aneka produk kerajinan Nias membutuhkan dukungan untuk kelangsungannya. Dan dukungan terbesar dan terutama adalah dari masyarakat Nias sendiri. Warga Nias diharapkan tak cuma memuji-muji produk Nias yang terkenal dengan keunikannya, tapi juga terlibat menjadi pengguna atau pengonsumsinya. Membeli produk lokal masyarakat desa Nias yang kini mulai diproduksi dengan kualitas tinggi adalah wujud nyata dukungan mengangkat kekayaan tradisional Nias ke publik luas.

Lebih lengkap mengenai harapan-harapan Noni, termasuk latarbelakang ide dari kegiatan pameran ini, semua terangkum dalam wawancara oleh Etis Nehe berikut ini dengan Noni.

Apa yang melatarbelakangi hingga sampai pada pilihan terlibat dan menggarap produk kerajinan khas Nias tersebut?

Dunia kerajinan tidak jauh dari keseharian kami di dalam keluarga. Papa saya pada awal 1974 oleh karena perubahan sosial dan desakan ekonomi di Gunungsitoli mulai menekuni pembuatan perhiasan emas khas Nias. Sekembali dari Eropa, saya mulai merintis kembali reproduksi aneka perhiasan kuno khas Nias yang tidak pernah lagi dikenal oleh generasi Nias masa kini. Selanjutnya, repro kerajinan kayu, alat masak kuno dari tanah liat, mempelajari masakan khas Nias, memproduksi ni’unagö/nihunagö (babi dan ikan asap), pembuatan payet dari batu-batuan, hingga repro anyaman kuno. Perhiasan Nias lengkap yang berbahan emas murni dikerjakan terakhir oleh Papa sebelum jatuh sakit dan kami selesaikan bersama-sama tahun 2010-2011.

Anyaman kuno saya kenal dengan baik sejak tinggal di Eropa karena rutin mengunjungi museum-museum yang memiliki koleksi tentang Nias. Saya juga sangat terinspirasi karena masih sempat berkenalan dengan orangtua-orangtua dari Eropa yang dahulu pernah tinggal di Nias pada kurun waktu 1890-1980 dan melihat koleksi mereka dari dekat.

Sebelum para kolektor tersebut wafat, mereka masih sempat menitip banyak pesan tentang keahlian para perempuan di Nias, khususnya anyaman. Nama Desa Bawödobara dan para pengrajin anyamannya disebut-sebut di sana. Beberapa produk anyaman kuno para perempuan dari desa ini tersimpan di museum-museum. Desa ini kelak merupakan desa tempat asal suami.

Kerajinan berupa dompet dan tas dengan motif khas Nias | Etis Nehe

Kerajinan berupa dompet dan tas dengan motif khas Nias | Etis Nehe

Namun, waktu belum mempertemukan saya dengan pengrajin, sekalipun rutin mengunjungi desa tersebut. Pada tahun 2013 seorang Ibu dari desa tadi datang ke rumah, meminta bantuan karena mereka sudah tidak memiliki uang untuk membeli makanan dan tidak punya pekerjaan lagi sejak harga karet tinggal Rp6000/kg. Saya saat itu tidak memiliki ide apa pun untuk menolongnya. Hanya satu pertanyaan saya yaitu apakah yang bisa dia kerjakan langsung, dengan harapan mungkin ibu ini bisa melakukan pekerjaan dapur atau berkebun. Ibu tersebut menyatakan bahwa dia masih bisa menganyam dan dahulu kreasinyalah yang dibawa ke Jerman atas pesanan dari berbagai organisasi. Puji Tuhan, kami menangis berpelukan karena kami akhirnya dipertemukan Tuhan setelah lebih sepuluh tahun pesan dari Jerman saya terima.

Kita tahu, memulai sesuatu yang baru di Nias apalagi di saat semua sudah permisif dan juga pesimis, tidaklah mudah. Bagimana memulainya dengan warga desa pengrajin?

Pengetahuan lokal berupa kerajinan tangan khas Nias umumnya sulit diduplikasi karena rumit, sehingga tidak populer di pasaran. Yang tahu mengerjakannya juga sudah jarang dan yang mau mengerjakan juga bisa dihitung dengan jari.

Semua kerajinan yang saya kerjakan selalu dimulai dengan konsep. Lalu mencari pengrajin yang bersedia dan mampu menerjemahkan desain yang saya maksud. Ada banyak buku-buku yang menjadi referensi visual bagi pengrajinnya. Kalau pengasapan, tidak terlalu sulit resepnya. Namun, menemukan pengrajin yang jujur dan telaten bukan hal termudah. Dalam banyak pengalaman, ketidakkonsistenan kerja para pengrajin adalah tantangan. Metode kerja pun saya ubah.

Warga desa pengrajin yang datang atas inisiatif sendiri saya rekomendasikan sebagai pengrajin yang layak didukung sepenuhnya. Mereka umumnya siap karena sedang menghadapi tantangan ekonomi dan jauh lebih telaten karena bertekad menunjukkan keahlian pengetahuan lokalnya.

Prinsip yang saya tetap pegang dalam bekerjasama adalah menjaga kepercayaan, kualitas produk, menerapkan konsep fair trade (karena pasar kami arahkan ke sana) sehingga nilai karya tangan tersebut dihargai tinggi dan tidak memperalat pengrajin dengan memberikan mereka banyak sosialisasi tentang pasar pekerjaan mereka.

Pengrajin kita telah memiliki banyak pengalaman mengecewakan. Sebagai contoh, produk pengrajin kita dipuja-puji dan disebut-sebut dalam berbagai pertemuan. Selanjutnya pengrajin menerima banyak pesanan. Setelah pesanan selesai dikerjakan, secara sepihak dibatalkan tanpa ada konfirmasi apa pun dari para pemesan.

Peserta pameran yang membeli produk kerajinan Nias Selatan | Etis Nehe

Peserta pameran yang membeli produk kerajinan Nias Selatan | Etis Nehe

Para pengrajin perlu belajar berbisnis yang sehat. Misalnya, pesanan hanya boleh diterima apabila telah diberikan DP dan baru dikirim setelah semuanya lunas dibayar. Sebaliknya, pengrajin harus menjaga kepercayaan, berani memberi garansi akan kualitas pekerjaan, diperkaya wawasannya tentang produk-produk yang sedang trend pada masa kini sehingga produk kerajinan tangannya lebih mudah diterima oleh pasar, sosialisasi bagaimana standar produksi yang diterima di Eropa dan Amerika, sambil juga tetap memproduksi barang keperluan setempat. Warga desa pengrajin yang siap dengan prinsip kerja ini perlahan mulai serius untuk bekerja.

Bagaimana respons awal masyarakat desa dan bagaiman respons mereka setelah sejauh ini menunjukkan hasil?

Respon awal sudah pasti antusias dan biasanya diuji oleh waktu. Pengrajin yang konsisten selalu bertahan. Warga perlu diberikan sosialisasi bahwa pengrajin di dunia ini bukanlah hanya kita seorang. Di belahan dunia lain ada ratusan juta pengrajin yang melakukan pekerjaan yang sama dan kualitasnya jauh lebih baik dengan harga terjangkau.

Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah produk kerajinan tangan itu otentik, tiada duanya dan Kepulauan Nias beruntung memiliki aneka kerajinan unik khas budayanya sendiri. Kendala biaya hidup yang tinggi di wilayah selatan Nias merupakan faktor yang mempengaruhi nilai produk melalui ongkos kerja pengrajin, sehingga SDM lebih cenderung diharapkan dari wilayah utara Nias. Namun, wilayah selatan memiliki lebih banyak pengetahuan lokal terkait kerajinan tangan ini. Sekarang yang diupayakan sebagai solusi adalah menyediakan pasar dan menetapkan standar bagi pengrajin untuk tidak boleh lagi membuat produk asal-asalan.

Mendorong respons positif untuk bekerjasama antardesa juga diterapkan secara perlahan. Pada saat beberapa perempuan dari desa di kecamatan lain melihat giatnya salah satu kelompok kerja di Omo Nufo Sinasa, mereka pun berminat untuk melakukan pekerjaan tersebut namun tidak memiliki bahan. Kelompok baru pun terbentuk dan bahan disuplai. Mereka diberi keleluasaan untuk mulai menganyam karena biasanya anyaman tidak serta merta berhasil. Penganyam telah puluh tahun tidak bekerja, mereka perlu berlatih lagi dan menyesuaikan diri terlebih dahulu hingga anyaman kualitas terbaik dihasilkan. Masing-masing kelompok ada keahliannya dalam menganyam, jadi produk mereka akan dikumpul untuk dikombinasikan. Setiap pengrajin selalu saya wanti-wanti untuk tidak boleh marah bila produknya “reject”, dikoreksi, dikritik atau harus diperbaiki.

Selain kerajinan bola-bola dan ufo, apakah ada jenis kerajinan lain yang digarap bersama warga desa?

Makanan tradisional Nias, Pepes | Etis Nehe

Makanan tradisional Nias, fakhe bulu damo | Etis Nehe

Setiap desa tidak sama potensinya. Selain bola-bola dan nufo/ufo/tufo, warga desa lain diarahkan misalnya dengan produk pengasapan, ukiran kayu. Perhiasan emas masih tetap saya buat namun hanya berdasarkan pesanan. Ada kelompok kerja yang berhasil bekerjasama dengan melibatkan perempuan-perempuan desa utama dan desa-desa tetangganya. Saya pikir, setidaknya ini membantu mendorong masing-masing desa memanfaatkan potensinya sebaik mungkin. Apa yang dilihat baik dari desa lain, tidak ada salahnya juga diambil hal positifnya dan dijalankan sebaik mungkin sesuai potensi.

Mengapa juga memilih ide makanan tradisional? Bagaimana tantangan memulainya dan bagaimana hasilnya sejauh ini?

Pengetahuan akan makanan tradisional khas Nias adalah anugerah dan keahlian. Tidak bisa diduplikasi begitu saja. Hampir seluruhnya makanan kuno Nias bukanlah makanan yang sembarangan disajikan. Beberapa bahannya juga unik. Makanan tersebut disajikan hanya pada acara khusus, ada tata caranya dan dihidangkan hanya kepada keluarga raja/bangsawan dan keturunannya. Sayangnya, tidak banyak yang mampu mengerjakan makanan kuno ini. Hanya segelintir orang-orang kepercayaan keluarga bangsawan yang mampu memasak hidangan tersebut.

Kuliner kita cepat atau lambat akan dilupakan bila tidak dipopulerkan. Ada banyak banyak chef di luar negeri yang latihan hingga menjadi tenaga ahli masakan Indonesia, sampai lidah kita lupa membedakan apakah ini dikerjakan oleh orang aslinya atau bukan. Satu-satunya cara adalah melatih diri untuk menghidangkan makanan khas Nias.

Di rumah, ada “dua orang tim jurinya” yang sudah siap sedia mengkritik habis-habisan. Lalu, kuliner ini dipadupadankan sehingga bisa ketemu variasinya apa saja. Diversifikasi pemanfaatan pangan lokal untuk kuliner lokal saya utamakan disini.

Penyediaan bahan untuk acara yang khusus selalu dipersiapkan setradisional mungkin. Petani didorong untuk memproduksi bahan-bahan yang unik, biasanya saya selalu pesan khusus jauh-jauh hari untuk ditanam secara organik, termasuk daging babi berkualitas tinggi. Hasil laut selalu saya pesan segar dari pemancing dan penombak ikan. Pengrajin gerabah juga dilibatkan untuk membuat alat masak khusus aneka ukuran. Really have fun.

Dalam pameran tersebut, Noni menyajikan beberapa jenis makanan tradisional Nias. Yakni, fakhe nifalögu, fakhe bulu damo, babae, nibiniögö (pepes daging), foi nitunu (pari bakar), mugu nigore (benur/anak udang goreng), toru (terung) dan uro nigore (udang goreng).  Juga ada makanan ringan berupa löfö-löfö/löfö sagu dan kue pia gulo ano yang merupakan penganan peranakan di Pulau Nias.

Apakah kegiatan ini murni inisiatif dan biaya sendiri? Atau, adakah kontribusi pemda? Atau mungkin sponsor? Atau barangkali semacam sistem tanggung bersama dengan para pengrajin?

Maksudnya Event of Succulet Tanö Niha? Event ini saya pertimbangkan karena pada dasarnya saya senang mencoba hal baru, ingin menjembatani semua kelompok interdisipliner dan para alumni almamater perguruan tinggi. Di samping itu ada keprihatinan produk berkualitas dari Nias belum dikenal dan masih sebatas wacana. Secara khusus juga karena kangen dengan suasana pertemuan-pertemuan berkualitas seperti di Eropa dahulu.

Makanan tradisional Nias, Babae | Etis Nehe

Makanan tradisional Nias, Babae | Etis Nehe

Semua biaya sendiri dan kontribusi peserta yang diundang. Pembiayaan (pengrajin, petani, nelayan, katering, lokasi acara, dll) dibayar lunas sebelum hari H secara mandiri. Bahan-bahan lokal dipersiapkan jauh-jauh hari. Jadi modal petani/nelayan/pengrajin harus di-support juga tepat pada hari pemesananan supaya mereka berproduksi.

Pada event pertama (2014, red), Komunitas Azanaya hendak mempresentasikan kuliner Sumatera tetapi yang tidak pernah dikenal sebelumnya, maka Kepulauan Nias terpilih sebagai kandidat. Kita siapkan bersama. Pembiayaan melalui organisasi dan Pemda saat tersebut tidak dapat terwujud karena penganggaran semestinya setahun sebelum acara dan tidak bisa serba mendadak. Sementara pada saat itu “pertanyaan” untuk kuliner Nias sedang tinggi, waiting list undangan sampai ratusan, namun kami hanya membatasi sampai 50 orang saja, itu pun akhirnya boleh untuk 75 orang, dan pada saat acara malah hadir 125 orang.

Maka inisiatif kreatif ditempuh, biaya kita tanggulangi bersama Azanaya. Untuk menutupi biaya, selain mengutip biaya registrasi dari undangan yang resmi konfirmasi, saya juga melakukan presentasi kelas masak di Pantry Magic, Jakarta. Undangan yang hadir pada saat itu sangat representatif dan lengkap karena berasal dari berbagai latarbelakang pendidikan dan sosial budaya, mulai dari pelajar hingga guru besar, alumni perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri, pers dari dalam dan luar negeri serta pakar berbagai bidang.

Pada event kedua (tahun ini, red), saya persiapkan lebih besar karena ada pameran anyaman kuno. Namun kali ini dukungannya datang tidak terduga. Para peserta yang bersedia hadir turut ambil bagian inisiatif kreatif, ada yang mendukung acara dengan menyumbang biaya register untuk panti asuhan, ada yang menyumbang uang tunai untuk membantu meringankan biaya kargo bahan lokal segar, ada yang menyumbang untuk membantu sebagian biaya gedung, ada yang bersedia menjadi penerima tamu, ada yang  bersedia jadi pengurus stand pameran, ada yang bersedia jadi pengawas acara, ada yang menyumbang meja dan taplak meja, ada yang bersedia untuk masak dan atau mengurus keperluan di Jakarta, ada yang bersedia antar jemput selama di Jakarta dengan tarif khusus, ada yang bersedia hadir dan ajak teman-teman dekat, ada juga organisasi dan perusahaan yang bersedia untuk pameran dan melakukan presentasi ilmiah tentang pekerjaan mereka selama di Nias atau yang terkait dengan kebutuhan Nias.

Pada event kedua ini semua yang berpartisipasi dalam panitia kecil dan yang hadir sangat representatif. Beberapa tamu pada tahun lalu turut hadir. Tamu dari berbagai kalangan juga lengkap,  mulai dari batita hingga dewasa, pelajar hingga guru besar, ibu rumah tangga hingga politisi. Bahkan tanpa diduga, beberapa pejabat teras Pemda dari Kepulauan Nias dan berbagai daerah di Indonesia serta stakeholders/chairman organisasi atau perusahaan besar turut hadir dan mendukung acara ini.

Apa tantangan terberat saat merealisasikan ide pengembangan kerajinan dan makanan tradisional itu?

Paling berat adalah pembiayaan dan sikap profesional semua pihak yang terlibat. Melalui pembiayaan mandiri, saya ingin menerapkan sikap profesional kepada pengrajin dan petani lokal sehingga mereka juga bertindak profesional. Gaji saya sebagai PNS/ASN saya pakai untuk memodali masyarakat desa. Keahlian bertani babae dan böra khöda, membuat perhiasan/ornamen, menganyam, menombak ikan, mengasapi, dll, patut dihargai dan dihormati.

Makanan tradisional Nias, nibiniögö (pepes daging) | Etis Nehe

Makanan tradisional Nias, nibiniögö (pepes daging) | Etis Nehe

Mereka didorong melalui dukungan biaya bila bertekad untuk bersikap profesional dan menjaga kualitas produk. Dan, ini yang menimbulkan sikap saling percaya antarsemua pendukung seperti yang terlihat pada event ini. Sikap profesional dari para pendukung yang bersedia berpartisipasi juga salah satu unsur penting dan pengalaman khusus buat saya dalam event ini.

 Setelah menggelar dua kali pameran, bagaimana minat masyarakat, terutama masyarakat Nias sendiri?

Minat masyarakat dalam sekejap tumbuh. Mereka melihat ada perspektif dan pendekatan baru tentang Nias.

Dimana sebenarnya titik kritisnya sehingga banyak kekayaan Nias itu tidak berarti apa-apa meski hampir semua elemen masyarakat hingga pemerintah membanggakannya? Titik ini penting diketahui untuk memicu gerakan serupa yang dilakukan bu Noni.

Terletak pada sikap untuk merealisasikan pernyataan menghargai kekayaan budaya Nias tersebut. Nilai budaya dan nilai seni sebuah kekayaan lokal selalu tidak bisa diukur dengan uang tunai. Suku Nias sudah terlalu jauh direntangkan jaraknya dengan kekayaan budayanya sendiri, sehingga mereka memandangnya sekarang sebagai hal yang tidak perlu atau sebagai barang mahal secara materi uang.

Pada pengalaman saya melalui event ini, banyak orang Nias yang bertanya mengapa ada biaya register, apa (hadiah) yang akan diperoleh dengan biaya segitu dan betapa mahalnya biaya per orang, dll. Namun, pertanyaan ini tidak saya terima dari peserta luar Nias yang memang telah sering menghadiri event serupa. Penjelasan untuk menjawab pertanyaan seperti ini perlu dilakukan secara kontinyu. Tim pemasaran event tidak bosan-bosan menjelaskan bahwa biaya per orang dalam event ini tidak mahal karena yang diperkenalkan adalah kuliner dan kerajinan kuno khas Nias yang pasti tidak semua orang Nias pun pernah melihatnya. Tidak perlu berkecil hati.

Setiap event di Jakarta pasti membutuhkan ruang tempat acara yang harus disewa, produk petani/nelayan/pengrajin yang akan dipamerkan adalah produk untuk kuliner kuno Nias yang  harus dibeli terlebih dahulu, bahan lokal segar (seafood/daging/sayuran buahan lokal) harus dijaga kualitasnya dan dikirim secepat mungkin tepat waktu saat acara dengan pesawat, pekerjaan ini membutuhkan waktu persiapan berbulan-bulan, ada item transportasi dari Nias ke Jakarta, ada item biaya telekomunikasi, katering, soundsystem, panitia lokal, dll. Bila yang dipamerkan perhiasan perunggu, perak atau logam mulia emas, maka jelas biayanya jauh lebih tinggi lagi.

Seberapa besar nilai dan seberapa pesat pemasaran kekayaan budaya Nias bukanlah berasal dan ditentukan oleh para konsumen luar, tetapi dari sikap praktisi pemilik kebudayaan itu sendiri untuk menggunakan, memakai dan mengkonsumsi produk kebudayaannya sehari-hari.

Apa harapannya bagi pemerintah, masyarakat dan elemen-elemen masyarakat yg peduli kemajuan dan pelestarian kebudayaan Nias?

Kue Pia a la Nias | Etis Nehe

Kue Pia a la Nias | Etis Nehe

Ambil hikmah dari sikap praktisnya saja. Elemen terbesar dari harga sebuah produk adalah biaya marketing. Tetapi karena persaingan pasar dengan daerah lain sangat tinggi, maka kreatifitas mengelola biaya marketing supaya tepat sasaran jauh lebih efektif kalau untuk kasus memajukan dan melestarikan kebudayaan Nias. Bagi pengrajin/petani/nelayan yang terpenting adalah produknya dibeli dan usahanya berkesinambungan, bukan hanya sekadar dipuji-puji dan dibahas dalam berbagai rapat, seminar atau diskusi. Wacana hanya akan menciptakan jurang pemisah yang baru antara masyarakat dan pemerhati (banyak perhatian tetapi tidak bersedia menjadi konsumen produk lokal Nias).

Saya selalu rekomendasikan bila pemerintah dengan tidak jemu-jemu menetapkan pos rutin besar atau kecil jumlahnya untuk tujuan memajukan dan melestarikan kebudayaan Nias, itu sebenarnya bisa dilihat masyarakat dalam program dinas-dinas yang tidak melulu hanya di Dinas Pariwisata. Rekomendasi untuk masyarakat Nias adalah konsumsi dan pakailah produk lokal yang dikerjakan oleh masyarakat desa kita.

Kalau ada yang berminat membeli produk-produk kerajinan tersebut, bagaimana menghubungi Anda?

Silakan kontak di WA +6285370978000; e-Mail: ono-niha2000@gmail.com; Pos: Toko Sararaholi, Jl. Sirao No. 20, Gunungsitoli 22813, Kota Gunungsitoli atau Omo Nufo Sinasa, Jl. Saonigeho Km.3, Samping Kantor DPRD/PDAM, Telukdalam 22865, Kab. Nias Selatan. Info event dan produk silakan dikunjungi pada www.ono-niha.com. (Etis Nehe)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »