MK: Penetapan Status Tersangka Harus Didukung Minimal Dua Alat Bukti
NIASSATU, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi tak cuma mengoreksi ketentuan hukum tentang obyek gugatan praperadilan yang kini diperluas, Mahkamah Konstitusi (MK) juga memberikan koreksi yang menjadi ketentuan hukum baru mengenai syarat pengenaan status tersangka kepada seseorang.
Dengan ini, penyelidik maupun penyidik tidak bisa sewenang-wenang menetapkan status tersangka. Dan masyarakat pun bisa melakukan perlawanan dengan melakukan praperadilan. (Baca: MK: Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan Bisa Di-Praperadilan-kan).
Bila selama ini KUHAP tidak mengatur detil mengenai jumlah bukti yang harus dimiliki sebagai acuan untuk “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”, kini MK membuatnya menjadi jelas.
Koreksi tersebut, seperti dinyatakan dalam putusan atas judicial review atas frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” seperti diatur dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa frasa tersebut harus dimaknai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
MK menilai, satu-satunya pasal yang mengatur soal jumlah minimal alat bukti terdapat dalam pasal 183 KUHAP yang menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti… dst”.
Dengan makna “minimal dua alat bukti” MK berpendapat sebagai perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Dengan makna ini, maka warga yang berurusan hukum terlindungi dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.
“Dengan demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams pada sidang pembacan putusan pada Selasa (28/4/2015).
Adapun pemohon adalah terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah. Dia menguji pasal Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. (ns1)