MK: Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan Bisa Di-Praperadilan-kan
NIASSATU, JAKARTA – Informasi ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya bila berurusan dengan penegak hukum. Mahkamah Konstitusi (MK) membuat terobosan baru yang memutuskan bahwa penetapan status tersangka oleh penegak hukum kini bisa dipraperadilankan. Tak cuma itu, MK juga menyatakan, tindakan hukum lainnya berupa penggeledahan dan penyitaan bisa diajukan ke praperadilan.
Keputusan MK ini mengoreksi aturan yang membatasi cakupan praperadilan yang selama ini diatur dalam KUHAP Pasal 77 huruf a dimana penetapan tersangka tidak termasuk dalam yurisdiksi praperadilan.
“Ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat mengucapkan amar putusan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (28/4/2015). Dengan putusan itu, MK mengabulkan gugatan pemohon, terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah.
Pasal 77 huruf a KUHAP secara lengkap berbunyi: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim MK Anwar Usman, MK menilai, aturan dalam KUHAP itu tidak bisa dipertahankan karena tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik. Sebab, tidak mengatur mengenai mekanisme pengujian keabsahan perolehan alat bukti oleh penyidik.
“Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya,” jelas Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Dia menjelaskan, hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan atas proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Namun, hal itu tidak bisa dipenuhi oleh praperadilan seperti diatur oleh KUHAP tersebut.
MK menilai, KUHAP membatasi pengajuan praperadilan padahal penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
“Mahkamah berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum,” tegas Hakim Anwar.
Putusan ini sendiri tidak bulat. Terdapat tiga hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Ketiganya adalah Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Muhammad Alim. (ns1)