DR. Hekinus Manaö: Agar Mandiri, Sudah Saatnya Gereja di Nias Memulai Usaha-Usaha Produktif

DR. Hekinus Manaö

DR. Hekinus Manaö

NIASSATU – Sudah jadi rahasia umum, gereja-gereja di Kepulauan Nias mengalami pergumulan berat untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Umumnya, gereja-gereja di Pulau Nias menghadapi setidaknya tiga serangkai masalah ini, yakni, ketersediaan tenaga pelayan jemaat (Pendeta, dan unsur lainnya), krisis keuangan dan krisis kualitas para pelayan jemaat.

Di sektor ketersediaan tenaga pelayan, memang selama ini banyak jemaat awam yang dengan sukarela dan sukacita melibatkan diri dalam pelayanan gereja. Mereka sangat berperan penting menopang kelangsungan pelayanan gereja sampai saat ini. Namun harus diakui, kemampuan mereka juga umumnya pas-pasan dan perlu terus ditingkatkan.

Sementara di sisi lain, gereja sendiri juga kesulitan melakukan upaya-upaya tersebut. Sebab, tenaga Pendeta atau personil Sinode yang memiliki kemampuan untuk memberikan peningkatan keahlian juga terbatas. Bahkan, banyak dari mereka tidak pernah lagi mengecap pelatihan atau peningkatan level akademik, baik melalui seminar maupun pendidikan formal lanjutan.

Karena kondisi keuangan yang pas-pasan, gaji para pendeta pun juga pas-pasan. Bahkan, rata-rata jauh dari biaya hidup minimum. Tidak cukup untuk membuat mereka hanya fokus memikirkan pelayanan. Tidak heran bila banyak di antara mereka yang melakukan pekerjaan sambilan lainnya guna memenuhi kebutuhan keluarga.

Tak cuma itu, kondisi tersebut juga berdampak pada sulitnya para Pendeta meningkatkan kapasitas kemampuan mereka. Di tengah perkembangan zaman yang terus bergulir dan merangsek kehidupan jemaat, mereka seringkali tidak bisa mengimbanginya. Mereka tidak memiliki kesempatan membaca buku baru yang terkait dengan keahlian mereka karena tidak bisa membelinya. Juga tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak mungkin menempuhnya dengan dana yang serba terbatas tadi.

Di sisi lain, organisasi-organisasi pusat gereja yang ada di Pulau Nias juga tidak bisa berbuat banyak. Lagi-lagi karena keterbatasan anggaran tadi, tidak bisa merancang kegiatan-kegiatan yang secara khusus untuk meningkatkan kemampuan para pendetanya. Termasuk bila dengan biaya minimal, misalnya, mendatangkan pelatih atau pembicara yang ahli di bidangnya untuk memimpin kegiatan-kegiatan pembinaan atau peningkatan pengetahuan rohani jemaat sehingga tidak perlu ramai-ramai ke luar Pulau Nias.

Kemandirian keuangan gereja menjadi salah satu pokok soalnya. Tentu saja ada banyak pokok soal lain di belakangnya, yang saling terkait. Dan hal-hal itu juga perlu menjadi perhatian, agar gereja tidak menyerah pada kondisi yang ada, melainkan memikirkan upaya-upaya kreatif dan produktif memandirikan diri.

Beberapa poin di atas menjadi perhatian redaksi Nias Satu ketika berdiskusi dengan Dr. Hekinus Manaö, seorang putra Nias Selatan yang pernah menjadi Direktur Eksekutif Bank Dunia. Dr. Hekinus didaulat menjadi pembicara pada sesi ceramah hari pertama persidangan sinode gereja Banua Keriso Protestan Nias (BKPN) yang berlangsung selama 14-17 Mei 2015. Dr. Hekinus tampil membawakan tema Instrumen Penunjang Kemandirian Layanan Gereja.

Seperti diketahui, persidangan sinode itu, selain agenda utama memilih pengurus baru untuk masa jabatan lima tahun mendatang, juga menjadi ajang untuk menghimpun pemikiran, wawasan baru dan usulan konstruktif agar pelayanan salah satu organisasi gereja terbesar di Pulau Nias tersebut bisa menjawab tantangan perkembangan zaman, khususnya perkembangan di Pulau Nias sendiri sebagai basis utama jemaat yang dilayani.

Beberapa waktu setelah menyampaikan materinya, wartawan Nias Satu, Kornelius Nehe melakukan wawancara khusus dengan mantan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan tersebut untuk memperdalam materi-materi pokok yang disampaikannya pada acara tersebut. Wawancara tambahan dilakukan kemudian untuk melengkapinya.

Meski wawancara ini berangkat dari konteks situasi gereja BKPN, namun, semua pertanyaan dan penjelasan relatif mewakili dan menjawab kondisi umum gereja-gereja di Nias. Karena itu, berbagai pemikiran penting dari Dr. Hekinus dalam wawancara ini, – mulai dari perubahan perspektif tentang pelayanan hingga bagaimana berurusan dengan bantuan pemerintah daerah –  juga relevan bagi semua gereja di Pulau Nias.

Berikut wawancara lengkapnya:

Apa saja poin-poin utama dari paparan Anda dalam ceramah pada sidang sinode BKPN beberapa waktu lalu?

Poin utamanya, pertama, aktivitas keuangan gereja dan upaya pengembangan usaha produktif setara pentingnya dengan pelayanan gereja umumnya. Kedua, Gereja perlu meningkatkan mutu layanannya, seperti mutu khotbah dan sebagainya agar jemaat semakin menyadari tanggung jawabnya setara dengan manfaat layanan yang diperoleh. Ketiga, kesejahteraan gembala gereja mesti setara dengan rata-rata kesejahteraan jemaat. Dan keempat, BKPN sudah saatnya memulai usaha-usaha produktif.

Mengenai usaha-usaha kreatif/produktif apa saja yang bisa dipertimbangkan BKPN sebagai langkah menuju kemandirian di bidang keuangan?

Beberapa bidang usaha produktif yang saya sarankan adalah pertanian/peternakan, kursus ketrampilan, catering, wisma, toko buku/souvenir, percetakan, warung sembako, penyewaan alat dan tempat pesta, bengkel, bazar dan pasar murah.

Bagaimana BKPN melakukannya. Apakah perlu membentuk sebuah badan usaha?

Sebaiknya begitu, misalnya dalam bentuk koperasi. Tapi kalau masih kecil, bisa saja dalam bentuk usaha swadaya, asalkan organisasi dan administrasinya disiapkan rapi. GBKP malah secara resmi memiliki BPR (Bank Perkreditan Rakyat).

Tapi saat ini dengan keterbatasan dana, bagaimana mereka memulainya?

Ahhhhh, kalau serius bisa urunan atau bermitra dengan beberapa yang punya modal sedikit.

Kemudian, pertanyaan lain, bagaimana gereja menghindari kemungkinan kritik ‘Gereja berbisnis’ yang secara umum seringkali masih dianggap ‘tabu’?

Gereja berbisnis adalah cela? Lha, gereja justru berharap dari persembahan jemaat yang juga berasal dari bisnis mereka. Ya, piyeeee? Satu hal yang saya tegaskan lisan waktu ceramah, bahwa bukan hanya pekerjaan menginjil yang dimaksud dengan kegiatan rohani. Tetapi, makan, berpakaian, berbisnis, bekerja sebagai profeskonal, PNS, atau menolong yang sakit. Semua itu kegiatan rohani kalau dilakukan buat Tuhan (Kol. 3:23).

Saya belum menemukan atau mendengar pesan Alkitab bahwa berbisnis adalah tabu. Yang saya tahu, keluarga Yesus tetap berbisnis tukang kayu dan para murid Yesus tetap berusaha sebagai nelayan. Pesan I Tim. 6:10 bahwa uang adalah pangkal kejahatan, harus dibaca dalam makna perikop menyeluruh. Yaitu, bila manusia hanya sekedar mencari kekayaan. I Tim. 6:8 mengatakan kalau kebutuhan pokok telah terpenuhi maka cukuplah. Demikianlah tiap orang harus berupaya memenuhi kebutuhannya.

Transparansi & Bantuan Pemda

Merujuk pada tema ceramah yang Anda sampaikan, bagaimana penilaian Anda tentang kondisi pelayanan gereja selama ini, khususnya BKPN?

Pelayanan gereja, ini yang saya sampaikan pada saat itu tidak dapat dipisahkan dengan dukungan-dukungan umat. Nah, bagaimana kita mengharapkan para tenaga gereja itu bisa senang bekerja kalau para jemaat juga tidak ikut memikirkan bagaimana mereka bisa, yah, hidup layak gitulah. Dengan bertambahnya jumlah Pendeta, bertambahnya Guru Jemaat, nah itu juga kan dukungan keuangannya mesti lebih kuat. Tapi barangkali agak repot nih membangunnya kalau tidak dibangun dengan sistematis.

Kantor Sinode BKPN | ononiha.org

Kantor Sinode BKPN | ononiha.org

Jadi, itulah yang saya tekankan dalam paparan saya, termasuk kemungkinan membangun aktivitas-aktivitas yang bisa memberi dukungan ekonomi tadi. Itulah yang juga dilakukan beberapa gereja. Kalau kita di BKPN, hanya dua sumbernya. Pertama, persembahan, kedua, proposal.

Menurut Anda seperti apa pengelolaan keuangan dalam gereja selama ini?

Saya tidak tahu persis di BKPN. Tapi saya justru baru dapat informasi kemarin setelah ini selesai ceramah. Bahwa justru relatif itu yang paling banyak dikeluhkan. Mulai dari sistem catatan dan pelaporannya maupun transparansinya.

Jadi ada masalah dengan transparansi juga ya?

Iya. Transparansi itu hanya mungkin kalau sistemnya dibangun dulu, gitu loh. Gak mungkin dibangun transparansi dari sistem yang tidak jelas. Jadi mereka harus bangun sistem. Sebenarnya sistemnya tidak terlalu rumit. Kalau saya bilang, sistem itu sederhana sekali. Yang penting organisasi BKPN menetapkan kebijakan (policy) keuangannya seperti apa. Jadi misalnya, kolekte di satu gereja itu berapa sih digunakan untuk operasional gereja setempat? Berapa digunakan untuk level distrik, resor dan kemudian sinode. Nah, itu mesti ada kebijakan yang jelas terhadap hal itu. Kemudian untuk soal catat mencatat, yah itu perlu untuk lebih tertib dan itu tidak terlalu susah.

Ada satu hal lagi yang sempat ditanyakan. Apakah mereka (BKPN) bisa membuka (rekening) Bank? Lho, itu lucu kalau pertanyaanya begitu pada zaman sekarang. Jadi, memiliki rekening bank itu bukan sesuatu yang sangat duniawi, yang bertentangan dengan surgawi.

Apa yang Anda tawarkan untuk gereja-gereja, khususnya BKPN terkait pengelolaan keuangan yang baik?

Sebetulnya sederhana saja, waktu ceramah juga saya ditanyakan tentang hal itu. Boleh gak kita dibantu sistemnya? Saya bilang, oh boleh, nanti saya cari. Saya memang gak mungkin urusi sampai teknis sekali. Tapi saya cari teman-teman yang bisa banyak membantu. Misalnya, ada beberapa teman yang membantu gereja HKBP sekarang. Juga ada beberapa di gereja GKI. Perangkat lunak (software)nya pun ada. Saya kira itu bisa diinstal sesuai dengan sistem BKPN.

Lalu, orang-orang yang menanganinya harus dilatih. Diberi training kepada yang melaksanakan pekerjaan itu. Trainingnya tidak lama, seminggu saya kira itu cukup.

Menurut Anda, kalau Pemda memberikan bantuan atau fasilitas kepada gereja, misalnya mobil, apakah itu layak diterima?

Semuanya layak. Kemarin juga saya tegaskan hal itu ya, bahwa sumbangan dari berbagai pihak termasuk pemerintah itu wajar-wajar saja diterima. Tapi satu hal yang saya tekankan kemarin, bahwa sumbagan dari pemda itu mesti dipastikan lebih dulu bahwa itu ada di APBD. Karena kalau tidak ada di APBD nanti Anda akan repot sendiri. Kalau ada di APBD pun, pastikan bahwa syarat-syaratnya itu jelas. Juga seperti waktu lalu itu, bantuan untuk para rohaniwan. Lalu kemudian menjadi bermasalah menjadi temuan BPK.

Jadi, tidak masalah bila dierima yang penting harus jelas ya?

Harus jelas dan tepat. Dan itu harus setelah mendapat persetujuan DPRD. Setiap bantuan harus diamanatkan di dalam APBD. Karena kalau tidak diamanatkan di APBD, jadinya itu diada-adakan. Itu kan repot nanti. Kalaupun ada Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota atau apapun yang mengatur pelaksanaannya, kalau tidak ada legalitasnya di APBD, karena di Undang-Undang Keuangan Negara mengatakan bahwa itu sebuah kekeliruan kalau uang negara dikeluarkan tidak pernah ada di dalam APBN atau tidak ada dalam APBD. Dan kalau tidak ada dalam APBD maka itu jelas pelanggaran terhadap pengelolaan keuangan daerah. (ns4/ns1)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »