Amiziduhu Mendröfa, Capim KPK : Dianggap ‘Gila’ Karena Berani Mogok Makan dan Pidanakan Atasan di Kepolisian
NIASSATU, JAKARTA – Seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kali ini, tampak berbeda dengan situasi seleksi tiga paket kepemimpinan sebelumnya. Maklum, seleksi kali ini masih bertaut dengan riuh, runyam dan terancamnya kelangsungan lembaga khusus pemberantasan korupsi itu menyusul berbagai upaya kriminalisasi yang dihadapi usai berseteru dengan Polri.
Semula banyak orang pesimis akan tingginya peminat posisi strategis tersebut karena dikuatirkan banyak yang trauma dengan apa yang dialami KPK sebagai lembaga maupun personil-personilnya, terutama Ketua dan Wakil Ketua KPK yang kini berstatus berhenti sementara pascapemidanaan oleh kasus remeh temeh dan tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan mereka saat ini di KPK. Hal serupa juga dialami oleh penyidik senior Novel Baswedan.
Tapi rupanya animo publik mendaftar menjadi calon pimpinan KPK tetap saja tinggi. Terhitung, sejak penutupan pendaftaran pada 3 Juli 2015, tercatat sebanyak 611 berkas pelamar telah diterima oleh Panitia Seleksi Capim KPK. Berselang sehari, Sabtu (4/7/2015) Pansel yang semuanya terdiri dari para wanita ahli di berbagai bidang tersebut mengumumkan 194 nama yang dinyatakan lolos seleksi awal, seleksi berkas administrasi.
Dari 194 nama tersebut, terdapat tiga nama yang berlatar belakang asal Pulau Nias. Meski baru pada tahap itu, tapi ini adalah sebuah keadaan yang positif yang memberikan gambaran bahwa orang Nias juga kini makin mewarnai dan sanggup berkompetisi di berbagai bidang di level nasional.
Ketiga nama tersebut adalah Amiziduhu Mendröfa, S.H., M.H., Firman Zai, M.Si., dan Nindya Nazara, SH., M.H.
Redaksi Nias Satu mengupayakan mengulas profil singkat ketiganya. Di awali dengan profil Amiziduhu Mendrofa.
Kepada Nias Satu, Amiziduhu mengakui bahwa ini pengalaman pertamanya mendaftar sebagai capim KPK. “Ya, baru pertama sekali,” kata dia singkat.
Pria yang kini berprofesi sebagai pengacara tersebut mengatakan, dorongan untuk mendaftar pada posisi strategis tersebut karena panggilan dan dorongan yang telah menjadi bagian dirinya selama ini yakni untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan, tentu saja, salah satunya melalui pemberantasan korupsi.
Amiziduhu tidak mendadak antikorupsi. Tidak juga seperti banyak orang yang mengaku-ngaku antikorupsi namun sebenarnya riwayat hidupnya bertentangan dengan klaim itu.
Tanpa basa-basi, Amiziduhu mengurai ringkas pengalaman hidupnya yang bagi sebagian orang tidak lazim. Sikap antikorupsinya sendiri berkembang dan dinyatakannya ketika dia justru sedang menjabat sebagai anggota kepolisian.
Pria kelahiran Desa Karefadoro Lalai yang sejak menjadi polisi pada 1983 tersebut mengungkapkan, pernah melakukan mogok makan untuk memrotes lembaganya, menuntut adanya reformasi di internal kepolisian.
“Saya pernah mogok makan pada 1 Juli 2002 saat saya masih sebagai polisi. Saat itu bertepatan dengan hari lahir Polri. Saya melakukan mogok makan sebagai cara bagaimana mereformasi Polri di Sumatera Barat. Saya memakai diri saya sebagai tameng untuk memperbaiki kinerja,” ungkap pria yang lebih separuh karirnya di kepolisian tersebut dihabiskan sebagai anggota intel.
Dia mengatakan, tindakannya tersebut dilakukan saat Kapolda Sumatera Barat dijabat oleh Adam Firman. Saat itu, Amiziduhu mogok makan dengan 10 tuntutan.
Dia mengaku, saat itu kemudian Kapolda menemuinya dan mengatakan bahwa semua tuntutannya itu benar adanya. Dan itu yang harus diperbaiki.
Amiziduhu mengaku tindakannya itu bukan tanpa risiko. Meski begitu, dia tidak mau pusing dengan konsekuensinya karena bagi dia lebih penting mengungkapkan kebenaran dan berupaya mewujudkannya. Dan salah satu caranya adalah melalui mogok makan itu.
Tak cuma itu, ketika menjadi dosen di Sekolah Polisi Negara (SPN) Padang Besi pada 2003-2004, dia mengaku pernah mengadukan atasannya ke penyidik karena diduga menggelapkan honor para pengajar. Akhirnya dana tersebut dikembalikan kepada para pengajar.
Dia mengakui, tindakan beraninya itu tidak semua mendapat dukungan. Terutama dari level pimpinan.
“Kalau anggota bukan level pimpinan, mendukung saya. Yang kurang senang itu justru pimpinan karena kita menyuarakan kebenaran dan keadilan. Setiap kita menyuarakan keadilan dan kebenaran itu harus dibayar mahal. Karena itulah cita-cita saya untuk mereformasi polisi,” jelas dia.
Namun, karena hingga pada 2007 keadaan terlihat tetap sama, akhirnya dia memutuskan keluar dari kepolisian. “Saya keluar karena apa yang saya ajarkan di dunia pendidikan, bertentangan yang terjadi di luar sana, sangat jauh berbeda,” tegas dia.
Usai keluar dari kepolisian, Amiziduhu menjadi wartawan dengan merintis media. Lalu, pada 2010, menjadi advokat dengan mendirikan kantor hukum sendiri serta juga melanjutkan pendidikannya pada program doktoral di Universitas Andalas, Padang.
Dalam hitungan hari, yakni pada 12 Juli 2015 mendatang, Amiziduhu akan mempertahankan disertasinya berjudul, “Kewenangan pencegahan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.”
“Karena saya melihat, saat meneliti di KPK, pencegahan itu diabaikan. Yang mereka suka itu cuma penindakan. Padahal penindakan itu harusnya upaya terakhir. Yang dibutuhkan KPK saat ini adalah orang-orang penyelidik pencegahan tidak pidana korupsi,” terang dia.
Ditanya mengenai persiapan dan targetnya pada seleksi ini, Amiziduhu menjawab santai. Dia mengaku tidak melakukan persiapan khusus. “Mengalir saja,” jawab dia singkat.
Generasi Antikorupsi Nias
Meski tidak tinggal di Pulau Nias, dan sesekali saja pulang ke sana, Amiziduhu tetap mengikuti perkembangan dan memberikan perhatian pada apa yang terjadi di sana, termasuk kasus-kasus korupsi.
Dia mendorong dan menantang anak-anak muda Nias untuk ikut terlibat menyuarakan kebenaran dan keadilan. Tidak hanya bersuara, tetapi juga menjadi contoh bagi orang lain.
Menurut dia, upaya-upaya edukasi atau pencegahan korupsi itu harus dibangun sejak dini. Mulai dari diri sendiri dan keluarga.
“Membangun integritas dan budaya antikorupsi harus dimulai dengan setiap orang menyuarakan untuk mendisiplinkan diri dulu dan keluarga. Itu pokok utama dulu,” kata dia.
Dia pun menuturkan pengalamannya mengadakan kantin kejujuran bekerjasama dengan pengelola SMK di Pulau Nias. Itu dilakukan sebagai media untuk berlatih kejujuran bgi putra-putri Nias yang saat itu sedang sekolah.
“Saya dulu pernah saat pulang kampung pernah kerjasama dengan SMK Hiliserangkai untuk membuat kantin kejujuran dengan modal dari saya. Mereka saya beri modal 15 juta. Supaya anak-anak dididk di SMK itu terbiasa jujur. Hasilnya, cukup bagus sehingga kebiasaan membeli kebutuhan sekolah itu tanpa dikontrol lagi,” papar dia.
Menurut dia, hal itu sangat penting bagi generasi Nias. Sebab, seperti apa nasib generasi mendatang sangat ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh generasi saat ini.
“Siapa lagi yang membuat perubahan kalau bukan kita sekarang dan itu harus dimulai dari sekarang,” tukas dia.
Dia pun mendorong agar setiap orang untuk terlibat aktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahkan menurut dia, meski bukan aparat, siapapun bisa melakukan penangkapan apabila konteksnya tangkap tangan.
“Apabila pejabat melakukannya dan Anda mengetahuinya, tangkap saja. Lalu serahkan kepada pihak yang berwajib. Kalau melihat tindakan korupsi terjadi, harus bersikap. Tentu saja dalam koridor hukum. Kalau melihat dan lalu menangkap, itu namanya tangkap tangan. Itu dibolehkan menurut hukum. Itu sama dengan kasus-kasus tangkap tangan lainnya yang bisa dilakukan oleh masyarakat, lalu diserahkan kepada aparat berwenang,” jelas dia.
Dia juga mengaku prihatin dengan maraknya tindak pidana korupsi di Pulau Nias dan rendahnya keterlibatan kontrol masyarakat termasuk peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Menurut dia ada LSM yang dibentuk tidak dan beroperasi tidak sesuai tujuan awal.
“Saya melihat ada LSM di Nias itu dibentuk untuk mencari keuntungan. Itu tidak benar. Saya sudah tahu. Saya pernah pulang dan di situ saya melihat bahwa mereka ini, melihat reaksi mereka yang akhirnya mencari uang. Tentu tidak semua, tapi ada oknumnya, ada juga yang baik,” ungkap dia.
Mengakhiri wawancara, Amiziduhu menegaskan kembali alasan dibalik semua sikap dan keputusannya yang bahkan oleh banyak orang dianggap sebagai tindakan gila.
“Hanya dua yang saya takuti di dunia ini. Pertama, takut kepada Tuhan dan kedua, takut kepada hukum. Di luar itu saya tidak takut. Orangnya tidak saya takuti, tapi saya segani. Makanya saya pernah dikira orang gila karena berani pidanakan pimpinan dan melakukan mogok makan saat dinas di Polda Sumbar,” tutup dia.
Profil Singkat
Nama lengkap: Amiziduhu Mendröfa, S.H., M.H.
Tempat, tanggal lahir: Karefadoro Lalai, 10 Oktober 1964
Ayah : Alm. D. Mendröfa
Ibu : F. Lase
Status pernikahan : Menikah
Nama istri: Nurbeti Sinulingga, SE., M.Si.
Pekerjaan: Dosen/PNS
Anak:
- Evlin Liliawati Mendröfa (mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran)
- Silvia Ningsih Mendröfa (Sedang kuliah di Fakultas Hukum)
- David Yosphine Mendröfa (kelas 3 SMP di Padang)
Riwayat Pendidikan
- SD – Lasara Idanoi, Gidö
- SMP – Gunungsitoli
- SMA – Padang
- 1983 – SPN Padang Besi
- 1987 – 1992 – Universitas Taman Siswa, Padang (S1)
- 2000 – 2002 – Universitas Eka Sakti (Padang) (S2)
- 2012 – sekarang – Universitas Andalas (S3). Akan ujian disertasi pada 12 Juli 2015.
Karir di kepolisian dan setelahnya
- 1983 – Polda Sumbar di bagian Sabhara Polda Sumber
- 1992 – Intelpam Polda bagian Pengawasan Masyarakat dan Pembangunan
- 2002 – 2007 – Tenaga pengajar ilmu hukum di SPN Padang Besi.
- 2007 – keluar dari kepolisian
- 2007-2010 – menjadi wartawan dengan mendirikan beberapa media
- 2010- sekarang – sebagai advokat dan pendiri Kantor Hukum Mendrofa & Associates. (ns1)
Tuhan Yesus Memberkati
SEMOGA DENGAN SEMANGAT DAN KEJUJURAN BISA TERCAPAI APA YANG KITA CITA-CITAKAN.YA’AHOWU
Saya mendoakan Pak Amiziduhu dan yg lainnya. Nama bapak sangat sesuai dgn semangat nya menjadi pimpinan KPK. Ami Ziduhu = yang Nikmat/enak adalah yang Benar2 milik atau hak kita, jangan pernah korupsi…!!!