Firman Zai, Capim KPK: Saya Sangat Paham Karakteristik Modus Penyimpangan Keuangan Negara
NIASSATU, JAKARTA – Firman Zai, demikian namanya. Sosoknya mengejutkan, khususnya publik Nias, ketika namanya muncul pada seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2010. Seleksi capim KPK 2010 tersebut dalam rangka mencari pengganti mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Tak tanggung-tanggung, meski untuk pertama kalinya mengikuti seleksi, Firman bisa menembus tahapan seleksi hingga 10 besar dari ratusan pendaftar dari seluruh Indonesia. Akhirnya, setelah melalui tahapan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), DPR menyetujui Busyro Muqoddas sebagai salah satu pimpinan KPK yang baru kala itu.
Tak berhenti sampai di situ, pada 2014, ketika pemerintah membuka seleksi melalui panitia seleksi guna memilih pengganti Busyro Muqoddas, lagi-lagi, Firman ikut mendaftar. Dan dia pun lolos lagi pada seleksi awal. Namun tidak bisa lebih jauh setelah sampai seleksi tahap dua.
Nah, tahun ini, bertepatan dengan akan berakhirnya masa jabatan lima pimpinan KPK, Panitia Seleksi kembali membuka seleksi calon pimpinan KPK. Nama Firman pun muncul lagi. Dan langsung lolos seleksi tahap pertama. Dua hari lalu, bersama tiga putra Nias lainnya, Amiziduhu Mendrofa, Elmanysah Telaumbanua dan Nindya Nazara ikut seleksi objektif dan pembuatan makalah. Hasilnya, apakah mereka akan lolos pada seleksi tahap berikutnya, akan diketahui pada Rabu (15/7/2015).
Lalu, siapa sebenarnya Firman yang begitu ingin sekali memimpin KPK tersebut?
Dari penelusuran di berbagai media dan juga wawancara langsung dengannya pada Kamis (9/7/2015), diketahui bahwa Firman adalah seorang PNS yang hampir seluruh masa karirnya dihabiskan di bidang pemeriksan keuangan. Ya, dia sejatinya adalah pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak sejak 1978.
Selama berkarir, dia pernah bertugas di beberapa tempat, khususnya di wilayah Indonesia. Di antaranya, di BPK perwakilan Makassar, Ambon, Jayapura dan Kalimantan Tengah. Sedangkan di Jakarta, sering ditugaskan audit di beberapa kementerian dan lembaga, di antaranya, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kesehatan dan DPR. Saat ini, sedang ditempatkan oleh kantor pusatnya di Kementerian Kehutanan.
Lalu, kenapa ayah tiga anak dan tiga cucu ini begitu berkukuh untuk menjadi salah satu pimpinan KPK? Firman mulai dengan penjelasan yang juga alasan standar/klise.
“Sama dengan yang lain, standar/klise. Ingin memberantas korupsi. Ingin ambil bagian di saat masih kurang efektifnya penegak hukum lain dalam memberantas korupsi. Itu semua alasan umum semua peserta seleksi,” kata dia.
Namun, Firman mengatakan dia juga memiliki alasan pembeda dari peserta lainnya. Dia memiliki pemahaman dan juga alasan pribadi kenapa orang seperti dia perlu menjadi pimpinan KPK.
Menurut dia, siapapun yang menjadi pimpinan KPK dalam melaksanakan visi misinya harus memahami platform mengenai pemberantasan korupsi, baik pencegahan maupun penindakan. Firman menyebutkan setidaknya dua alasannya.
“Pertama, yang memiliki ini adalah orang yang pernah mengalami dan melaksanakan seperti sebagai seorang saksi (dalam KUHAP). Saya sudah 33 tahun berkecimpung di bidang ini dan mengetahui karakteristik modus-modus penyimpangan keuangan negara, fraud, money laundry,” ucap dia.
Dia mengungkapkan, modus-modus penyimpangan keuangan negara itu ada yang sifatnya fatal dalam arti benar terjadi, tapi tidak diangkat oleh lembaga (lembaga-lembaga audit) karena kepentingan lalu mendeponirnya, kemudian tidak digunakan dalam tugas koordinasi oleh KPK.
“Jadi ada kemungkinan-kemungkinan lembaga masih menyimpan temuan-temuan yang tidak dipublikasikan karena faktor kepentingan. Dan yang paham dan punya insting mengenai hal seperti ini adalah orang yang biasanya berkecimpung dalam proses ini. Ini yang tidak diantisipasi oleh KPK dalam fungsinya untuk koordinasi. Yang diketahui selama ini adalah yang keluar, terpublikasi. Jadi, dalam wewenang koordinasi KPK seharusnya bisa mempertanyakan sehingga menjadi trigger agar lembaga dimaksud tidak membiasakan mendeponir temuan. Itu pengalaman saya,” tambah dia.
Kedua, kata dia, hal paling pokok adalah bahwa pimpinan KPK itu harus punya kompetensi, memiliki segalanya, pengetahuan dan ketrampilan termasuk skill manajerial dan teknis proses hukum maupun sindikasi perbankan/keuangan, multi transaksional. Tetapi menurut dia, kepemimpinan KPK jilid III hampir semuanya adalah figur publik, orang yang terkenal dan juga mengenal banyak orang.
“Dengan figur publik itu, maka tentu relasi-relasi kekerabatan dan pergaulan di luar itu kan tinggi, kental dan resisten. Sehingga akan membuka peluang komunikasi-komunikasi. Ini memungkinkan terjadinya negosiasi. Nah, sosok ini juga harus jadi pertimbangan,” papar dia.
Dia mengatakan, keadaannya akan berbeda kalau sosoknya seperti dirinya yang berasal dari pedalaman hutan kepulauan Nias, tidak dikenal dan tidak mengenal, tentu komunikasi menjadi sulit, atau akan berpikir seribu kali kalau berani hubungi.
“Jangan keterkenalan figur itu menjadi pertimbangan utama. Masalah KPK itu selama ini selalu terkait relasi. Tentu track record juga harus dilihat jangan sampai terjadi lagi seperti yang terjadi kepada setiap periode beberapa kepemimpinan KPK yang dipersepsikan sementara sebagian elemen masyarakat adalah pembunuhan karakter dan upaya kriminalisasi KPK,” tukas dia.
Firman pun optimistis bisa melaju lagi pada seleksi kali ini. Menurut dia, selain bergantung jawaban pada tahapan seleksi, juga karena tim Pansel saat ini tidak berlatar politik dan dari berbagai keahlian ilmu sehingga mereka bisa menjaring peserta dengan lebih murni dan objektif. “Saya optimis lolos tahap berikutnya,” ujar dia.
‘Wakil Nias’
Firman mengakui, majunya dia dalam seleksi, juga ingin membuktikan bahwa putra-putri Nias bisa bersaing dan ambil bagian dalam posisi-posisi jabatan di level nasional.
“Jelas itu, dari sisi kemanusiaan, sosial dan geografis kita terbelakang. Keterwakilan kita di level atas juga tersendat-sendat. Dan ini juga salah satu yang mendorong saya untuk maju dan berkontribusi dalam proses pembangunan. Kita juga terwakili,” tegas dia. Presiden didalam memilih kabinetnya telah menunjuk representatif daerah antara lain Putra Nias Menkumham Yasonna H Laoly karena kompetensi dan kapasitas, dan diharapkan agar ada lagi di bidang lain yang akan datang.
Meski begitu, bagi dia, tak bisa berhenti pada semangat ingin menempatkan diri sebagai putra Nias di sebuah level jabatan. Tapi dengan syarat terpenuhi kapasitas dan kapabilitas.
“Pertama, saya senang dengan tantangan. Kedua, saya sudah tertempa. Terbiasa menghadapi tekanan, disiplin dari diri sendiri dan kesadaran sendiri. Tidak senang dengan kecurangan. Tetapi senang dengan keberhasilan dan manfaat,” papar dia.
Dalam penuturannya, Firman ternyata pernah berdinas di dua Kabupaten di Pulau Nias. Yakni, di Kabupaten Nias Selatan dan terakhir di Kabupaten Nias Utara. Di Nias Selatan, Firman mulai berdinas pada 2011 atau sekitar dua bulan sebelum masa dinas Bupati Fahuwusa Laia berakhir. Dia menjabat hingga tiga bulan masa pemerintahan Bupati Idealisman Dachi.
Saat itu dia ditempatkan sebagai Kepala Dinas Keuangan Daerah. Dia tidak lama di Kabupaten Nias Selatan. Dia mengungkapkan, saat menjabat di Kabupaten Nias Selatan itu dia sempat mengalami upaya tindakan kekerasan karena tidak mau menyetujui pencairan anggaran proyek yang diminta pihak kontraktor.
“Saat itu gertak sambal saja. Saat itu ada aroma tuaknya. Orangnya kini meringkuk di balik jeruji besi Tipikor Medan. Itu hanya move saja agar saya membayar tagihan yang tidak ada bukti-buktinya. Orang tertentu menganggap saya sebagai penghalang. Tapi soal saya mundur dari sana, ada alasan yang lebih utama lagi. Banyak juga yang senang saya mundur karena setelah itu pengganti saya di sana jadi tersangka. Justru kalau saya ada tidak akan terjadi kasus itu dan pentersangkaan 17 orang pejabat pemkab Nias Selatan pasca tahun 2013,” jelas dia tanpa mengungkapkan apa alasan utama mengundurkan diri dari jabatan itu.
Setelah keluar dari Pemkab Nias Selatan, Firman kembali bergabung di BPK Pusat di Jakarta. Namun, tak berlangsung lama, Bupati Nias Utara Edward Zega memintanya untuk membantu di Pemda Nias Utara dengan jabatan sebagai Kepala Inspektorat. Di Nias Utara, Firman sempat menjabat selama tiga tahun hingga Desember 2014 dipindahkan menjadi staf ahli. Lalu, pada 10 Pebruari 2015 memutuskan mundur dan kembali ke BPK.
Dia mengungkapkan, alasannya mundur karena keinginan Bupati Edward yang menghendaki opini laporan keuangan WTP dari Disclaimer sejak pemekaran dinilai tidak realistis dan tidak konsisten dalam pengambilan kebijakan dan penetapan stategis capaian atas sistem yang telah Firman buat.
Kasus Korupsi Menumpuk
Ditanya pendapatnya mengenai kondisi praktik korupsi di Pulau Nias, Firman mengatakan, masih marak. Dia bahkan mengatakan bahwa kasus-kasus korupsi di Pulau Nias saat ini menumpuk dan tidak tertangani.
“Jelas parah. Kenapa? Itu temuan BPK sudah dipublikasikan sejak diserahkan kepada DPRD. Semua temuan-temuan pelanggaran itu, terkait pengadaan dan lain-lain, semua ada di dalam temuan BPK. Karena ini menyangkut kejahatan, penegak hukum harusnya sudah menangani di sana. Tapi saya katakan kurang ditangani dan semakin bertumpuk temuan BPK itu selama bertahun-tahun. Dan di situlah tolok ukuran kita mengenai penanganan tipikor, kurang berjalan. Itu merujuk pada temuan BPK saja, belum lagi dari laporan masyarakat. Jadi, dari BPK saja itu menumpuk. Berbanding terbalik dengan penyelesaian kasus,” kata dia.
Menurut dia, tindak pidana korupsi di Pulau Nias lebih banyak karena kuatnya hubungan nonteknis atau vested interested yang tinggi. Dia juga menilai, penanganan kasus-kasus korupsi, khususnya di tiga kabupaten/kota (Nias, Nias Utara, Nias Barat dan Kota Gunungsitoli) kurang efektif karena wilayah empat daerah tersebut itu hanya ditangani oleh satu Polres dan satu Kejari.
Dia mengakui, beberapa penanganan kasus memang berjalan hingga penuntutan dan vonis. Namun juga ada yang berjalan di tempat. Karena itu, menurut dia, di sini peran pengawasan dari masyarakat sangat diperlukan.
Penegak Hukum Harus Tolak Fasilitas Pemda
Hal kedua yang paling penting untuk dipahami juga, kata dia, adalah, dalam kaitan relasi antar unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Dua di antara Muspida itu adalah Polres dan Kejaksaan. Menurut dia, kedua unsur ini menentukan tajam tumpulnya penegakan hukum di daerah.
“Polres dan Kejaksaan itu jaga jaraklah dengan pemda dan pejabat. Baik dalam arti seremoni di luar kedinasan maupun olahraga. Dan yang paling pokok jangan minta fasilitas kendaraan dari Pemda. Itu difasilitasi hanya dengan alasan transportasi,” tegas dia.
Menurut dia, meminta fasilitas dari Pemda tidak beralasan, khususnya dalam hal sarana transportasi. Sebab, standarisasi kendaraan dinas di masing-masing institusi itu beda-beda. Dan itu biasanya sudah dipenuhi dari instansinya. Jangan karena aparatnya tidak memiliki kendaraan lalu memakai institusi meminta kepada pemda yang menurut SOP internal lembaga itu sebenarnya tidak patut memiliki kendaraan dinas. Karena hanya diberikan kepada pejabat-pejabat yang ditentukan, misalnya, eselon III ke atas.
“Kita kuatir kalau difasilitasi itu akhirnya menjadikan situasi kurang kondusif dan menjadi pertimbangan balas jasa sehingga apa yang disebut hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas ya salah satu penyebabnya karena fasilitas itu. Saya mempunyai bukti-bukti mengenai praktik-praktik itu,” kata dia.
Tak cuma itu, Firman juga mengusulkan agar kepala-kepala kantor penegak hukum di Pulau Nias tidak diisi oleh orang-orang Nias. Demikian juga posisi-posisi tertentu, yakni jaksa dan reserse yang terkait penanganan tindak pidana korupsi tidak diisi oleh orang Nias.
“Kalau bisa jaksa atau reserse yang terkait dengan Tipikor jangan orang Nias karena terikat struktur adat dan budaya yang masih kuat dipelihara dan tidak boleh dilanggar, stigma diskriminasi, gagalnya perubahan dan supremasi hukum maupun sanksi. Termasuk kepala kantornya, di Pengadilan, Kejaksaan dan Polres,” kata dia.
Dia mengatakan, ada kajian ilmiah yang menjadi landasan pernyataannya itu, yang menyatakan bahwa hal itu bisa melemahkan. Bahwa kalau seseorang dalam jabatan dengan tugas dan fungsinya penegak hukum di tempatkan di daerah asalnya sekian persen akan mengalami kegagalan.
“Kinerjanya cenderung pilih-pilih/diskriminasi. Itu juga mempengaruhi. Ini perlu untuk mencegah conflict of interest. Saya di BPK juga tidak pernah ditempatkan di Medan, tapi banyak di wilayah timur,” tutur dia.
Biografi Singkat
Nama : Drs. Firman Zai, M.Si.
Tempat, tanggal Lahir: Mandrehe, 29 Oktober 1957
Status : Menikah
Anak : Tiga Orang
Karir:
- 1978 – sekarang: PNS/Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK Perwakilan Ambon
BPK Perwakilan Makassar
BPK Perwakilan Jayapura
BPK Perwakilan Kalimantan Tengah - 2011 – Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Nias Selatan
- November 2011 – Pebruari 2015 – Kepala Inspektorat Kabupaten Nias Utara
- Pebruari 2015 – sekarang: Auditor BPK Pusat. (NS1)
Pingback: Nias Satu » Firman Zai Lolos Seleksi Tahap II Calon Pimpinan KPK
Putra Nias Pasti lolos bersama Allah yang hidup Nias Saatnya Bangkit dan memimpin Indonesia,,,
Pingback: Nias Satu » Firman Zai Terhenti di Tahap III Seleksi Calon Pimpinan KPK