Melewati Ujian Keindonesiaan Kita
Oleh Abineri Gulö
Realitas Keberagaman
Merespons insiden Tolikora, Papua pada 17 Juli 2015, hingga saat menulis artikel ini masih ramai dibicarakan di media sosial, dengan berbagai sudut pandang. Saya lebih tertarik mengekspresikannya melalui tulisan sederhana ini, sekadar berefleksi dan masuk pada keadaan kita, Indonesia seutuhnya.
Tiada terkira rasa sukacita kita sebagai bangsa memiliki Indonesia dengan ragam budaya, bahasa, ras, agama dan aliran kepercayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Negara yang dibentuk dengan tujuan yang sama yakni Indonesia, di dalamnya memiliki 101 ragam dan perbedaan. Indonesia yang kita miliki merupakan anugerah Sang Khalik, Pencipta semesta alam. Merenda Indonesia menjadi laboratorium keanekaragaman umat di dunia.
Anugerah mahakarya itu disambut baik oleh para bapak bangsa dengan hati dan tangan yang dingin merajuk kebhinekaan sebagai modal dalam mempersatukan negeri beribu pertiwi. Refleksi keagungan Indonesia tidak saja sebatas artifisial, lebih terasa jika dimaknai dengan dimensi spiritual. Hal mana berbagai nilai-nilai kearifan budaya lokal Nusantara menginsipirasi pembentukan ideologi bangsa melalui Pancasila yang diakui telah menjadi falsafah yang teruji lebih tangguh dibandingkan dengan ideologi negara-negara di banyak tempat di dunia.
Belajar dari Sejarah
Keperkasaan Pancasila sebagai nilai maupun sistem bernegara telah diuji oleh beberapa keadaan yang tidak menguntungkan. Pada awal kemerdekaan kita digoda oleh anak-anak bangsa sendiri tatkala merindukan sebuah bentuk pemerintahan serikat yang mana tidak mencerminkan latar sejarah bangunan Indonesia yang kita rajut. Pada perkembangannya pada Orde Lama, kita kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideologi bangsa.
Belakangan sejarah bangsa kita mengalami benturan yang begitu keras tatkala kita tidak bisa mengurai mana yang benar dan tidak. Peristiwa G30/S-PKI dengan dua versi bertutur, seolah menghentikan rasa ingin tahu kita untuk tidak mendalami terlalu dalam. Iya, lebih baik mengarahkan energi kita pada aspek solusi bagi negeri daripada kita sendiri ribut dan meributkan masa lalu yang kelam dengan justifikasi masing-masing.
Dalam keadaan tersebut kita lebih beruntung bila mensyukuri bahwa bangsa kita telah kembali menjadi Indonesia dengan apa adanya, walaupun ada catatan yang terhilang yang sulit diurai, kita anggap itu sebuah misteri sejarah yang cukup diketahui oleh nurani yang berefleksi. Pada perjalanannya, kita membentuk sejarah baru yang lebih bisa kita raba yakni peristiwa gerakan reformasi 1998. Debar dada bangsa kita dalam mendambakan kebebasan terasa kencang. Bahkan mempercepat Pemilu tahun 1999 sebagai tanda akselerasi perubahan itu menjadi keniscayaan.
Kita melakukan reformasi di segala bidang termasuk ketatanegaraan kita dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan hal itu telah menjadi kenyataan. Bahkan lembaga-lembaga tinggi negara sebagai saluran dan perangkat penataan kenegaraan kita dibentuk. Sebut saja MK, KPK KPU, KY dll, dan beberapa lembaga lainnya yang di adendum keberadaannya untuk harmonisasi fungsi aplikasinya. Adalah sebuah perjalanan bangsa kita dalam menemukan formulasi ketatanegaraan dalam melayani rakyat sebagai pemilik kadaulatan yang sesungguhnya.
Dalam perjalanannya kita mengalami proses jatuh bangun mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Peperangan kita dalam menghapuskan kemiskinan, mengangkat derajat dan harkat bangsa melalui pendidikan, serta pengalaman pertaruhan kita melawan berbagai penyakit yang mematikan. Kini generasi kita mengalami degradasi moral melalui pergaulan bebas, menurunnya nilai-nilai etik moral, merambahnya perilaku korupsi dari elit hingga pejabat rendahan.
Peredaran narkotika di kalangan remaja sudah sedemikian mengkhawatirkan. Angka kemiskinan cenderung stagnan, serta melambatnya angka pertumbuhan ekonomi. Ditambah dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di tengah menurunnya harga komoditas produk petani dan nelayan kita. Belum lagi tantangan radikalisme pada segmen kelompok kepercayaan yang terkadang mempengaruhi suasana kebatinan dalam menjaga inklusifitas keindonesiaan.
Kejadian di Tolikora, Papua, terakhir adalah bentuk ujian persaudaraan yang pasti kita jalani. Tantangan lain derasnya informasi yang sedemikian kompleks terkadang kita kalah cepat dalam mengelaborasi apa yang menjadi kebutuhan dan gizi pemersatu bangsa. Realitas ini seakan menantang kita untuk melihat kondisi kita secara jujur dan apa adanya. Mengukur dan menakar rasa syukur kita seyogianya harus dapat berbanding dengan penguasaan kita terhadap derasnya ombak dan kerasnya topan yang telah ditaklukan demi memelihara rumah kita Indonesia. Kita masih ada, belum hilang, belum musnah, kita eksis sebagai bangsa yang berbudaya.
Indonesia Kekinian
Perjalanan kita sudah terlalu jauh untuk kembali ke belakang, perjalanan ke depan mewujudkan janji Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera juga tidak dekat, pilihan yang bijak adalah membentangkan kedua telapak tangan lebih tinggi diatas kepala sebagai tanda hormat dan pengagungan kepada sang Khalik yang telah menghadiahkan Indonesia menjadi sebuah safari kebangsaan sekalian safari spiritual yang di dalamnya terjadi sebuah realita tumbuhnya anak-anak bangsa yang terus sedia membangun dan membanggakan Ibu Pertiwi. Dengan tangan yang sama kita digunakan untuk merangkul dan mengeratkan tali persaudaraan yang kini sedang diuji bahkan sedang diadudomba.
Sebagai anak bangsa yang dikandung oleh Indonesia dan dilahirkan di bumi Indonesia kita sangat prihatin atas insiden yang terjadi di Tanah Cenderawasih, Papua. Hal ini memberi isyarat bahwa kita mesti menjaga dan merawat aset-aset kebhinekaan yang kita miliki. Perbedaan yang kita miliki harus dimaknai sebagai kekayaan yang saling melengkapi. Atas insiden itu sungguh tidak ada yang beruntung dan diuntungkan. Yang ada justru kerugian bagi semua pihak dan pihak itu adalah kita sendiri sebagai bangsa. Dibutuhkan kesediaan kita membayar harga untuk perdamaian yang kita citakan.
Hari ini dalam konteks yang mendesak, bagi saya, tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan yanga ada, setidak-tidaknya 3 kontribusi yang bisa dilakukan untuk membantu proses recovery insiden Tolikora:
- Mendukung masyarakat Tolikora menyelesaikan masalah domestiknya secara kekeluargaan sebagai sesama anak bangsa.
- Mendukung pemerintah dan jajaran aparat keamanan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap meluasnya konflik, serta mengambil tindakan hukum bagi oknum pelaku maupun aktor intelektual insiden Tolikora.
- Ajakan kepada publik untuk menulis dan menyatakan: “Damai Itu Indah, Kita Semua Bersaudara” dan berbagai ungakapan positif lainnya. Nyatakan melalui media (terlebih media sosial), guna memperbanyak pengaruh resolusi dan menihilkan bahasa provokasi yang tidak diperlukan.
Kedamaian di bumi Indonesia adalah kedamaian yang dikehendaki Tuhan, sepanjang kita terus merawat dan tiada henti mengusahakannya.
Penulis adalah pengurus Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) Kabupaten Nias, domisili di Nias.