HUT Ke-12, Nias Selatan Dambakan Kepemimpinan yang Kredibel

Oleh Waspada Wau*

Waspada Wau | FB. Dok. Pribadi

Waspada Wau | FB. Dok. Pribadi

“Three in One” (3 in 1) lazim dikenal sebagai peraturan tentang jumlah minimal penumpang kendaraan pribadi roda empat (mobil) untuk melewati kawasan terbatas pada jam tertentu di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Namun ternyata, dalam undang-undang pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), juga ditemukan analoginya. Misalnya, pembentukan Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Nias Selatan melalui UU Nomor 9 Tahun 2003 pada Senin, 27 Januari 2003. Kemudian diundangkan dengan ditandatandatangani oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada Selasa 25 Pebruari 2003.

Bahkan awal pemerintahan ketiga DOB tersebut secara resmi juga sama, yaitu Senin, 28 Juli 2003 atau terlambat 2 bulan dari batas maksimal 3 (tiga) bulan dihitung sejak diundangkan dan dimuat dalam lembaran Negara.

Keterlambatan ini dikarenakan alotnya penolakan Henky Yusuf Wau, seorang yang secara kepangkatan memenuhi syarat untuk jabatan itu. Namun, di sisi lain, pihak BAMUS PERNIS berusaha agar jabatan pelaksana tugas Bupati Nias Selatan tersebut diberikan kepada Herman Laia. Alhasil, melalui lobi politik, justru Nabari Ginting yang ditunjuk sebagai Plt. Bupati Nias Selatan, menyingkirkan putra daerah Nias Selatan sendiri. Nabari dilantik oleh Gubernur Provinsi Sumatera Utara saat itu, Tengku Rizal Nurdin.

Terkait penjelasan pada bagian akhir di atas, minimal ada dua hal penting yang harus dipahami. Pertama, pembentukan Kabupaten Nias Selatan bukanlah inisiatif DPR tetapi usulan pemerintah kepada DPR RI dan jauh dari nuansa seolah otonomi khusus.

Kedua, bahwa motif dan tujuan utama sebagian pihak terkait pembentukan Kabupaten Nias Selatan adalah untuk berkuasa lewat perjuangan yang menghalalkan segala cara  seperti yang mewarnai kehidupan pemerintahan daerah selama 12 tahun  terakhir.

Hari ini, Selasa, 28 Juli 2015 bertepatan hari ulang tahun (HUT) ke-12 Kabupaten Nias Selatan – konon diwarnai kehadiran pedangdut kondang dengan goyang gergaji Dewi Persik Cs. Juga kebetulan adalah batas akhir pendaftaran calon bupati/calon wakil bupati di KPUD di 269 daerah yang akan berlaga pada Pemilukada serentak pada 9 Desember 2015. Termasuk di dalamnya, Kabupaten Nias Selatan yang juga akan memilih pemimpin barunya untuk periode 2016-2021.

Siapa dan seperti apa  pimpinan daerah kelak? Dengan mengabaikan jargon “dipilih tidak dipilih pasti menang” karena telah menggiring penafsiran provokatif, intimidatif bahkan seolah menegaskan reputasi Nias Selatan setiap pemilihan legislatif dimana pemenang Pemilukada meraihnya melalui cara lain/khusus, misalnya, kecurangan dengan melibatkan penyelenggara – maka mestinya melalui seluruh proses dan sosialisasi Pemilukada harus terkandung pencerahan kepada masyarakat agar kepemimpinan Nias Selatan ke depan terhindar dari orang-orang yang disebut oleh Anthony Dio Martin disebutnya sebagai toxic leader (Pemimpin yang bersifat racun/meracuni).

Dalam tulisannya dengan judul yang sama, pria yang juga dikenal sebagai Best EQ Trainer Indonesia tersebut mendeskripsikan bahwa mentalitas pemmpin-pemimpin kita sudah begitu diracuni oleh keserakahan, egoisme, dan ketiadaan empati pada sesama.

Dalam paparannya di buku itu, Anthony menyebutkan tujuh ciri khas yang menjelaskan mentalitas pemimpin yang meracuni. Berikut adalah uraian ringkasnya.

  1. Penganut manajemen “totem pole”, yaitu suka menindas orang-orang yang dipimpinnya, entah secara mental atau fisik. Tidak suka mengapresiasi prestasi bawahannya tetapi mengambil (klaim) kredit prestasi bawahannya tersebut, dan lebih suka dilayani (mungkin Asal Bapak Senang (ABS) daripada melayani.
  2. Kehadirannya membawa suasana tidak harmonis, penuh ketakutan dan saling curiga. Vibrasi (getaran) kehadiran toxic leader ini begitu negatif cepat menular kepada orang-orang sekitarnya.
  3. Senang dan menuntut loyalitas buta dari orang-orang yang dipimpinnya; parallel dengan sikapnya yang tidak mau menerima kritik ataupun bantahan dari orang lain. Cenderung otoriter yaitu sifat yang tidak profesional yang dalam hal ini, Anthony menjadikan Adolf Hilter sebagai contohnya.
  4. Gemar melakukan pemerasan emosi bawahannya sehingga terpaksa melakukan perintahnya guna menghindari kerugian dari akibat penolakannya (misalnya, mutasi sebagai hukuman, Penulis).
  5. Performa kerja tim cenderung menurun. Walau dari awal baik, namun memakan begitu korban banyak yang berimbas pada kualitas kerja yang semakin menurun.
  6. Tidak transparan dalam banyak hal, termasuk dalam anggaran dan informasi yang sering ditutup-tutupi dengan alasan demi kebaikan tim sehingga banyak orang yang tertipu. (menggunakan kedok kepentingan orang banyak, Penulis).
  7. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Anthony dalam tulisannya itu mewakili mengungkapkan suasana batin masyarakat luas dalam melihat pemimpin-pemimpin di semua aras dari atas sampai ke bawah. Yakni, miris dan apatis, semakin acuh tak acuh dengan nilai-nilai luhur kemasyarakatan-nya yang menurun. Juga semakin individualistis dan egois, penuh curiga. Menganggap orang lain sebagai ancaman, dan hilangnya kepercayaan karena gagal memberi nilai positif untuk diteladani, sebaliknya memuakkan.

Tulisan ini bukanlah ‘nubuat’ tentang pemimpin Nias Selatan kelak, sebab mungkin saja mereka sudah/sedang memimpin. Bisa ada di rumah tangga, di lingkungan usaha swasta atau BUMD/BUMN, gereja, intitusi pendidikan, partai politik  dan di pemerintahan. Dan jika teridentifikasi, baik sebagian atau seluruhnya dari tujuh ciri khas di atas, maka tujuan tulisan ini menemukan relevansinya, yaitu supaya masyarakat mendapat pencerahan dikala mendukung/memilih pemimpinnya. Awas, jangan pilih toxic leader, pemimpin yang ‘meracuni.’

Referensi

– Revolusi Mental, halaman 94-100 dalam topik: Revolusi Mental dan Kecerdasan Emosi oleh Anthony Dio Martin.

* Penulis adalah tokoh masyarakat Nias Selatan, berdomisili di Bekasi, Jawa Barat.

 

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »