Pemimpin Berotak Jeroan [Ere Mbetu’a Ebua, Ere Mbetu’a Asolo]
Oleh Etis Nehe
Oi wa ere ombalöwa, iwa e…
(Semua cuma imam/pemimpin pinjaman, saudaraku…)
Oi ere ni wawalö…
(Semua cuma imam/pemimpin pinjaman)
Ere mbetu’a ebua, iwa e…
(Imam/pemimpin ‘jeroan’ [lambung babi])
Ere mbetu’a asolo…
(Imam/pemimpin ‘jeroan’ [usus besar babi]
Andre ni ilania abuso ya
(Yang dia tahu/yang penting dia kenyang)
Yamagõ gaö wa siwara-wara
(Urusan rakyat, biarkan saja mereka [kelaparan]
Album : Ngenu-Ngenu ‘Hilifalagö’, Vol. 4
Pencipta : B. Telaumbanua & T. Harita
Vocal : B. Telaumbanua & T. Harita
Produksi : Sorai Tano Niha
—
Kami memiliki beberapa rekaman lagu Nias dalam bentuk video compact disc (VCD). Umumnya lagu-lagu lama atau paling baru sekitar 5 tahun lalu. Ada yang saya beli langsung ketika sedang di Nias maupun memesan melalui saudara di sana.
Sudah beberapa bulan terakhir, kami rutin memutarkan lagu-lagu itu. Bermula dari anak kami yang kedua, Raphael, yang baru berusia tiga tahun, entah kenapa, setiap kali mau makan (sarapan, makan siang dan malam), selalu meminta agar perangkat DVD/VCD player dan TV diaktifkan. Nah, di awal kebiasaan baru itu, kebetulan istri saya memutarkan lagu-lagu Nias itu. Hitung-hitung, sebagai bentuk edukasi, memperkenalkan Nias, tanah leluhurnya, kepadanya sejak dini. Akhirnya jadi keterusan. Setiap kali mau makan, Raphael akan meminta salah satu dari kami untuk mengaktifkan DVD player.
Setelah beberapa bulan berjalan, ternyata Raphael mulai ‘hafal’ beberapa lagu itu. Baik nada maupun potongan-potongan gambarnya. Terutama bila video latarnya menampilkan gerakan-gerakan lucu dan menarik seperti atraksi maluaya (tari perang khas Nias) dan maena (tari massal khas Nias) serta aksi makhluk hidup seperti bunyi kokok ayam dan penampakan rombongan anjing dalam lagu Mame Asu (Berburu) yang diciptakan seniman besar dari Nias Selatan almarhum Hikayat Manaö yang dinyanyikan oleh grupnya, 9 Sanora.
Kami pun akhirnya ikut-ikutan akrab kembali lagi dengan lagu-lagu Nias. Beberapa VCD lagu yang sudah lama tak diputar, akhirnya teringat lagi, dicari lalu diputarkan.
Nah, salah satunya adalah album “Ngenu-Ngenu Hilifalagö”. Dinyanyikan oleh
B. Telaumbanua & T. Harita yang juga jadi vokalisnya. Di album itu, juga ada Yenny Laia, salah satu penyanyi asal Nias Selatan.
Ngenu-ngenu biasa juga diartikan senandung. Ini tidak sama dengan bernyanyi pada umumnya yang dalam bahasa Nias disebut manunö. Ngenu-ngenu ini lebih pada tuturan sajak atau kata-kata puitis yang dilagukan. Ngenu-ngenu ini sifatnya ekspresi personal yang biasanya dinyanyikan ketika sedang sendiri, saat sunyi, kadang dengan nada lirih. Berisi perenungan, pergulatan batin mengenai realitas kehidupan, ekspresi isi hati yang tulus dan apa adanya, ungkapan keluhan, kepedihan, kritik, kata-kata wejangan, kebijaksanaan, filosofi hidup hingga doa dan harapan. Bisa juga dilantunkan lebih dari satu orang secara berbalasan seperti halnya berbalas pantun, namun dengan nada yang khusus.
Album volume ke-4 itu tidak berbeda jauh ketika lagu-lagu itu pertama kali menyapa masyarakat Nias ketika saya masih usia Sekolah Dasar (SD), lebih 20 tahun yang lalu dalam bentuk kaset/pita. Ada beberapa improvisasi, khususnya pada musik pengiring dan penambahan kata-kata ngenu-ngenu yang baru. Karena kini dalam bentuk video, tentu saja ada wajah penyanyinya dan juga latar belakang berupa potongan video di beberapa tempat di Pulau Nias.
Mendengar kembali lagu-lagu itu, pertama-tama saya dibawa pada kenangan masa kecil. Bagaimana dulu ketika lagu-lagu itu begitu keluar dan laku keras hingga membuat saya yang masih kecil saat itu betah duduk berjam-jam mendengarkannya di pojok ruangan rumah kami di Desa Bawömataluo. Saya duduk di depan tape yang kami beli di Gunungsitoli ketika saya masih kelas 3 SD tersebut dari hasil menjual minyak nilam.
Tapi, suatu pagi beberapa hari lalu, ketika dengan serius mendengarkan mereka melantun dan memperhatikan baik-baik teks di layar televisi, saya kaget mendengar dan membaca kata-kata yang saya kutipkan di awal tulisan ini.
Mereka berbicara mengenai para Ere (imam) dan kebiasaan buruk mereka. Tentu saja di ngenu-ngenu itu, yang dimaksud bukan saja merujuk pada imam dalam konteks agama, tetapi juga merupakan istilah simbolik untuk membicarakan para pemimpin pada umumnya dan perilaku mereka.
Langsung saja saya catat dan bagikan di wall akun Facebook saya. Tak lama, banyak bermunculan tanda jempol di bawah status itu. Juga memberi komentar, mengaitkannya dengan situasi terkini di Pulau Nias. Maklum, sedang masuk musim Pilkada, Pemilihan kepala daerah yang baru.
Sepanjang hari, kata-kata tersebut terus terngiang. Saya berusaha menemukan makna yang hendak disampaikan dalam ngenu-ngenu itu. Dan saya menemukan beberapa, seperti pada ulasan berikut ini. Bila Tuhan izinkan ada kesempatan bertemu dengan pencipta dan penyanyi ngenu-ngenu itu, saya akan menanyakannya langsung dan berterima kasih atas senandung yang hebat itu.
Jabatan Pemimpin Sebagai Kedok
Kalau memperhatikan kata-kata yang dipakai, itu merupakan ungkapan yang berlaku dan relevan secara universal. Tak cuma di Pulau Nias. Di mana saja. Kalau kemudian di setiap daerah ada relevansi konkritnya, ada kesesuaian secara kasuistis, ada sifat pemimpin di satu daerah yang cocok dengan profil di ngenu-ngenu itu, sangat tergantung pada karakteristik kepemimpinan di daerah itu atau kebetulan belaka.
Tapi intinya, pesan utamanya adalah mengingatkan bahwa tidak semua pemimpin itu, entah sudah, sedanga atau baru menawarkan diri sebagai layak jadi pemimpin adalah pemimpin sejati sebagaimana makna luhur yang terkandung dalam istilah pemimpin itu sendiri.
Mungkin, secara administrasi dan politis, mereka sekarang sedang atau akan menyandang jabatan sebagai pemimpin. Tapi itu tidak serta merta mengartikan bahwa mereka benar-benar pemimpin. Bisa saja ternyata pemimpin palsu. Pemimpin yang aji mumpung. Pemimpin yang sejatinya hanya memanfaatkan situasi dengan menumpang pada jabatan-jabatan yang pada dirinya sendiri sebenarnya adalah terhormat dan dengan itu dia juga terpaksa secara prosedur administratif-politis disebut terhormat, disebut pemimpin.
Ya, kata-kata ngenu-ngenu di atas mengingatkan kita bahwa faktanya memang ada pemimpin yang ‘menyamar’, berkamuflase. Istilah ombalöwa dan niwawalö itu sebenarnya sinonim, yakni pinjaman. Bukan milik sendiri. Milik orang lain. Kata-kata itu merujuk pada keaslian (orisinalitas) siapa sebenarnya si pemimpin. Secara simbolik berarti dia hanya meminjam jabatan itu untuk keperluannya. Bisa juga, dirinya sendiri adalah pinjaman. Di plot untuk ada di sana untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang ada di belakangnya.
Kata Ere merujuk pada status jabatan yang dihormati, teratas, mulia dan tidak setiap orang bisa menyandangnya. Kombinasi nama jabatan dan status keaslian langsung mengarahkan kita pada pesan sederhana bahwa berada di posisi Ere ternyata tidak serta merta pasti Ere asli. Jabatan Ere ternyata bisa hanya sebagai kedok. Kedok terkait apa? Nah, itu berlanjut pada bait kedua lagu itu, yakni: Ere mbetu’a ebua, Ere mbetu’a asolo.
Betu’a ebua dan betu’a asolo sama-sama adalah nama anatomis jeroan ternak, khususnya babi. Bagi masyarakat Nias yang terbiasa mengonsumsi daging babi, akan langsung paham betapa ‘penting’nya mbetu’a ebua dan mbetu’a asolo itu.
—-
Selingan Menu Betu’a Ni Solo
Betu’a ebua secara fisik dan literalnya adalah lambung, bagian terbesar dalam sistem pencernaan. Tempat penampungan pertama-tama semua yang masuk dari mulut. Tempat yang oleh tingkat keterpenuhannya memberi pesan Anda sudah kenyang atau masih lapar. Ya, tempat menampung makanan pertama sekali sebelum diolah melalui fungsi-fungsi usus dan seterusnya sampai sisanya dibuang.
Bagian tersebut, selain besar, juga tebal dan kenyal kalau sudah diolah, misalnya dengan cara digoreng bersama bagian jeroan lainnya atau dimasak memakai sedikit kuah pedas.
Kalau digoreng, biasanya direbus dulu supaya lebih lembut. Selanjutnya, digoreng menggunakan minyak dari lemak babi yang sebagiannya berasal dari lemak yang biasanya menempel pada bagian-bagian jeroan itu. Bagi yang suka, bisa menambahkan darah babi yang masih segar (ndro sogönö-gönö) atau darah babi yang menggumpal (ndro-ndro) untuk membuat rasanya sempurna.
Cara memasak seperti itu, di Pulau Nias, di sebut ni solo. Makanya, kemudian muncul nama menu betu’a ni solo yang bahkan mendengarnya saja bisa bikin liur berderai. Tapi ada juga yang membuat variasi dengan menambahkan kuah. Intinya, apapun cara masaknya, tergantung selera. Yang penting bahan utamanya, ya jeroan itu.
Betu’a asolo adalah salah satu bagian usus besar. Biasa juga disebut sete. Letaknya agak jauh dari lambung, yakni sebelum saluran pembuangan. Jadi, semua yang lewat di sana, biasanya hanya sisa olahan dan sekedar di lewati menuju pembuangan.
Nah, ini pun sama enaknya kalau sudah diolah bersama betu’a ebua tadi. Tapi, betu’a asolo ini bisa juga diolah dengan cara lain. Yakni, dengan memasukkan beras di dalamnya dan dimasak bersama bagian daging lainnya yang disup. Setelah masak, maka akan membentuk pola bulat memanjang dan bergelombang. Selanjutnya bisa dipotong kecil-kecil sesuai selera dengan bentuk bulatan-bulatan yang besarannya tergantung diameter usus itu.
Bagi warga non-Nias, yang tidak biasa dengan menu ini, tak sulit mencari pembandingnya. Ini mirip dengan makanan khas di Jawa berbahan utama jeroan, misalnya soto babat. Nah, bagi yang pernah menikmati makanan ini, pasti tahu. Apapun nama bahannya, dan fungsinya apa sebelumnya, bahwa jeroan itu adalah bagian terkotor dalam sistem pencernaan babi atau sapi, lupakan itu. Yang tersisa dan terpenting adalah enak dan nikmatnya yang bisa bikin mandi keringat. Apalagi kalau dinikmati di ruang tanpa AC dan di musim kemarau yang menyengat seperti saat ini. Nah, kira-kira begitulah nikmatnya menu betu’a ni solo di Pulau Nias.
—-
Kembali ke soal makna Ere dan betu’a dalam ngenu-ngenu itu. Setidaknya terdapat tiga hal.
Pertama, betu’a ebua dan betu’ asolo itu meski enak kalau sudah diolah, tapi dalam tradisi dan budaya Nias, tidak akan pernah dijadikan bagian sajian untuk tamu atau orang-orang terhormat. Anda kalau ke Pulau Nias, dalam setiap acara, akan melihat para tokoh agama dan para pemimpin pemerintahan akan mendapatkan bagian terhormat dari daging babi, yakni kepala dan rahang. Selanjutnya bagian lainnya tergantung posisi tamu dalam acara itu. Tapi, mereka tidak akan pernah mendapatkan sajian jeroan, apalagi di depan publik. Kalau itu terjadi, maka itu serta merta dianggap sebagai penghinaan. Kalau jaman dulu, bisa memicu pertumpahan darah. Tapi, pemimpin atau Ere yang tak tahu diri dan serakah, tidak mau tahu soal itu. Bahkan, jeroan pun yang biasanya jadi jatah pekerja di bagian konsumsi disikatnya habis.
Kedua, seperti dikatakan pada kalimat: andre ni ilania abuso ya. Ini masih terkait dengan yang pertama, yang penting dia kenyang. Orang seperti ini dalam istilah lain sering dinamai manusia yang ‘otaknya di perutnya.’ Yang penting makan, dan kenyang. Yang penting semua yang enak, kebaikan dari jabatan kepemimpinannya itu direngkuh habis, menjadi jatahnya. Yang lain, persetan. Semua dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Kemaruk dalam istilah lainnya lagi.
Ketiga, ini juga terkait kenikmatan. Pemimpin seperti ini, tak cuma hanya mementingkan kenyangnya perutnya, tapi juga dipikat dan diikat oleh kenikmatan dari apa saja yang memuaskan hasratnya, termasuk yang masuk ke perutnya melalui jabatan kepemimpinannya, baik langsung ataupun tidak langsung.
Ini juga bisa membantu kita mengerti kenapa banyak yang mati-matian berusaha menjadi atau tetap ingin jadi pemimpin, khususnya di politik. Memimpin itu sarat nikmat, kawan! Bahkan, bila berujung masuk penjara pun, di sana pun akan tetap merasakan nikmatnya hidup, apalagi di penjara-penjara yang sangat ‘bersahabat’ dengan para koruptor seperti banyak kita dengar di berbagai berita selama ini.
Kesimpulan akhirnya, pemimpin jenis ini, sejatinya, bukanlah pemimpin yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang diharapkan. Bukan pemimpin yang Anda butuhkan untuk memimpin kehidupan Anda. Entah itu di lembaga keagamaan, pemerintahan atau organisasi sosial apapun.
Bukan pemimpin yang diimpikan. Tapi pemimpin siluman. Pemimpin penuh tipuan. Pemimpin penuh sandiwara. Pemimpin yang pintar bersiasat. Pemimpin yang culas. Pemimpin yang menghalalkan segala cara. Pemimpin yang otaknya di perutnya atau sebaliknya perutnya di otaknya. Pemimpin yang fokusnya memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya.
Pemimpin yang memanfaatkan masyarakat untuk menyalurkan hasrat liar politiknya. Pemimpin dengan keahlian berpura-pura tingkat tinggi. Pemimpin dengan nyali over dosis. Pemimpin yang telah putus urat malunya. Pemimpin yang menyodorkan tangan kanan bersalut madu untuk menyalami, lalu menimpa dengan tangan kirinya sebagai tanda keakraban namun sebenarnya mentransmisikan racun yang mematikan secara perlahan. Pemimpin dengan kemampuan sulap dan silat lidah tingkat tinggi. Pemimpin maling, rampok. Pemimpin korup. Pemimpin penuh tipu daya.
Pemimpin yang berhasil dan mahir membuat (mengelabui) orang-orang sederhana, tak berpendidikan dan miskin sampai merasa sangat memerlukan dan membutuhkan dia pada saat dimana sebenarnya dia sedang membutuhkan orang-orang itu untuk memberi suaranya agar dia menjadi pemimpin.
Pemimpin yang mukanya berseri-seri setiap jelang Pilkada (biasanya di setiap pemilu, banyak wajah yang tiba-tiba kelihatan lebih ganteng, mulusnya bahkan ‘licin’, dan punya senyum lebih manis dari biasanya, berkat kecanggihan teknologi aplikasi olah foto di computer), namun sebelum dan apalagi setelah menjabat ternyata penuh bopeng, garang dan kejam. Seorang raja tega yang tak akan segan-segan mengorbankan siapa saja bila dia telah meraih posisinya untuk menyelamatkan dirinya. Pemimpin dengan kualifikasi pembunuh berdarah dingin.
Ciri-ciri dan karakteristik pemimpin seperti ini bisa ada pada siapa saja. Tidak peduli apakah dia mantan pemimpin, yang sedang memimpin (petahana) ataupun yang baru menawarkan diri jadi pemimpin. Apakah di Pulau Nias ataupun di seluruh Indonesia, potensi ini ada di setiap tempat, pada setiap orang, pada setiap kesempatan.
Karena itu, jadilah pemilih cerdas. Atau, mari ambil bagian membagikan pemikiran cerdas kepada mereka yang belum paham dan gampang dibohongi dengan lembaran duit Rp 20 ribuan atau Rp 50 ribuan. Atau dengan 1 Kg beras, atau iming-iming janji pembangunan ini dan itu, jabatan ini dan itu. Mari sadar bahwa nasib dan masa depan Anda ada di tangan Anda sendiri, meski suara itu cuma satu.
Tersedia waktu selama tiga bulan ke depan untuk mencari tahu dan menilai dengan baik siapa calon pemimpin yang layak memimpin kehidupan Anda selama lima tahun ke depan.
Apakah Anda ingin dipimpin oleh Ere mbetu’a ebua dan Ere mbetu’a asolo? Keputusan di tangan Anda. Jangan sia-siakan suara Anda. #SelamatkanNiasLewatPilkada2015.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi situs www.NiasSatu.com, pemerhati budaya Nias, warga Nias, tinggal di Jakarta.