INSPIRASI
Saatnya Diet Sampah
Oleh Etis Nehe*
Tadi siang, ketika berganti bus di halte Kuningan Timur Transjakarta di Jakarta Selatan untuk melanjutkan perjalanan dengan bus lain ke Plaza Semanggi, saya berpapasan dengan sekelompok anak gadis berseragam kaos putih. Tulisan “IndiVolunteers” di bagian bawah baju itu menunjukkan siapa mereka. Tampaknya mereka usai mengikuti sebuah kampanye di acara Car Free Day (CFD) di bilangan jalan protokol Sudirman-Thamrin, Jakarta.
Berpapasan dengan mereka, mata saya terpaku pada sebuah tulisan di bagian belakang seragam mereka dalam format tanda pagar (hastag): #SaatnyaDietSampah.
Saya tidak sempat bertanya apa nama kegiatan mereka dan juga pesan di balik hastag di baju mereka. Tapi tidak sulit menemukan artinya karena kalimat itu sebagaimana khasnya pesan-pesan kampanye edukasi selalu dibuat sederhana, singkat, menarik perhatian dan tidak membutuhkan penafsiran yang rumit.
Tentu saja pesan yang hendak mereka sampaikan bukanlah bahwa mereka sedang melakukan ataupun mengajak orang lain juga untuk mengurangi makan sampah dalam pengertian literal. Atau kalaupun makan sampah, pilih sampah yang baik untuk program diet. Tidak begitu.
Saya yakin mereka hendak menyampaikan pesan untuk mengurangi produksi sampah. Dan kalau itu berkaitan dengan program diet yang sebenar-benarnya, maka pesannya adalah jangan lagi mengonsumsi makanan atau minuman yang bersifat sampah bagi tubuh dan kesehatan Anda.
Mengapa kampanye diet sampah itu perlu sekali, bahkan bagi masyarakat perkotaan yang notabene pola pikir dan kebiasaan hidupnya lebih maju? Karena kemajuan zaman dengan segala manifestasinya, termasuk pendidikan, tak serta merta mengilangkan kebiasaan memroduksi dan membuang sampah sembarangan. Memroduksi dan membuang sampah sembarangan seolah telah menjadi menu makan harian. Jangan kaget ketika di Jakarta, mereka yang terlihat terhormat dan berpendidikan masih sering menjulurkan tangan untuk membuang sampah sembarangan.
Produsen Sekaligus Konsumen Sampah
Tapi, mungkinkah ada orang yang senang menikmati sampah, bahkan hingga berlebihan sehingga perlu diingatkan untuk diet?
Yap. Memang ada orang yang senang makan sampah. Tulisan di baju seragam itu mengajarkan satu hal, bahwa memang ada orang yang memperlakukan hidupnya dan hidup orang lain seperti memperlakukan sampah. Ya, semacam mentalitas sampah.
Mereka bukan orang-orang dengan abnormalitas fisik maupun psikis (masalah kejiwaan). Anda dengan mudah akan menemukan orang-orang seperti ini di sekitar Anda. Bahkan bisa saya dan Anda sendiri. Tidak ada yang kebal dari kedoyanan makan sampah ini.
Sampahnya tak berwujud. Bukan dipungut dari tempat sampah. Tapi, diproduksi di dalam hati dan pikiran sendiri dengan bahan-bahan produksi sendiri maupun ‘import’. Produk sendiri itu bisa dalam bentuk kemarahan, kebencian, kedengkian, kebiasaan buruk dan aneka jenis lainnya yang lahir dari pola pikir yang rusak maupun pembentukan oleh lingkungan keluarga yang rusak pula.
Sedangkan sampah impor itu dalam bentuk perilaku buruk lingkungan yang tidak bersangkut paut dengan diri sendiri secara langsung namun diperlakukan seperti urusan pribadinya. Jenis ini akan menghasilkan pemakan sampah yang selalu spontan akan ikut ambil bagian dalam kelakuan-kelakuan buruk komunal. Perilaku buruk yang dilakukan bersama-sama. Merasa benar, perlu dan pantas melakukannya karena dilakukan juga oleh banyak orang atau sebagai bentuk solidaritas.
Orang yang dipenuhi sampah kemarahan, kebencian, kedengkian, kepicikan berpikir akan selalu terlihat menonjol ketika hal-hal buruk terjadi. Kebiasaan berpikir pendeknya akan membuatnya merespons setiap situasi bahkan meski sekecil apapun menjadi masalah besar. Kalau tidak ada masalah, ya, dicari-cari apa yang bisa jadi masalah. Menciptakan masalah.
Orang yang selalu kenyang dengan sampah seperti itu juga mulutnya akan penuh dengan sumpah serapah, kata-kata yang melukai, ancaman, dan upaya pelampiasan atau pembalasan dendam tanpa kompromi. Bila residu sampahnya telah melebihi batas toleransi, orang ini akan meledak dengan sikap-sikap intoleransi, rasis, dan bengis kepada orang-orang yang berbeda dengan dia dan dirasa sebagai musuh, saingan dan penganggu.
Dia akan menyamaratakan semua orang dalam sebuah komunitas menjadi sasaran pelampiasan amarah yang lahir dari kepicikan dan kebodohannya sendiri. Dia tidak terima bila disamaratakan dengan orang lain dalam sebuah perbuatan buruk. Tapi dengan cara sebaliknya, karrna sebuah perbuatan buruk akan menyamaratakan semua komunitas pelaku keburukan itu sebagai orang bersalah dan semuanya harus mendapat balasan. Jadi, dia akan menentang ketidakbenaran dimana pada saat yang sama juga melakukan ketidakbenaran kepada orang/komunitas yang dianggap berbuat tidak benar.
Anda dengan mudah mengidentifikasi orang-orang yang kecanduan makan sampah ini. Mereka ini bahkan bisa dalam wujud status sosial yang mentereng. Misalnya, mereka yang disebut tokoh masyarakat, tokoh adat, pejabat, politisi, bahkan rohaniwan sekalipun.
Mereka adalah orang-orang sinis, penuh sentimen, selalu meniupkan isu suku, asal usul, ras dan agama (SARA). Orang-orang ini juga, demi pemuasan nafsu sampahnya tidak mau peduli bahwa keputusan, kebijakan maupun pendapat yang diberikannya, bila dilakukan secara konsisten pada dirinya sendiri dan komunitasnya, bisa menjadi semacam senjata makan tuan.
Para penggemar sampah ini tak sedikit jumlahnya. Mereka juga punya komunitas. Dan secara aktif memanfaatkan setiap momen SARA untuk mengampanyekan bahwa menu sampah yang mereka nikmati juga baik bagi orang lain.
Bijaklah menjalani hidup. Jangan jadikan diri sebagai tempat sampah. Berhentilah makan sampah. Berhentilah mengampanyekan bahwa makan sampah itu baik dan sehat bagi kehidupan. Kalau sudah terlanjur mengalami obesitas karena konsumsi sampah berlebihan, saatnya mulai berlatih berhenti.
Mulai perlahan dengan menerapkan pola diet sampah. Dengan tidak lagi meladeni sampah yang masuk secara membabi buta. Karena itu akan merusak diri sendiri dan orang-orang lain yang tidak tahu apa-apa, tidak ikut berbuat keburukan, khususnya mereka yang tidak tahu bahwa yang sedang mereka hadapi sebenarnya produk sampah.
Raja Sulaiman, seorang raja yang termasyhur karena kebijaksanaannya pernah mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23).
Plaza Semanggi Jakarta Selatan
Minggu sore, 18 Oktober 2015
*Penulis adalah seorang perantau asal Pulau Nias di Jakarta.