Hukuman Adat Kepada Yanto Tuai Pro dan Kontra
NIASSATU, GUNUNGSITOLI – Meski proses perdamaian telah difasilitasi oleh Polres Nias beberapa jam setelah rusuh massa terhadap rumah/toko milik Sugiyanto Kosasi (Yanto) alias Kadali pada Kamis (15/10/2015), namun urusan ternyata belum selesai.
Lembaga Budaya Nias (LBN) Kota Gunungsitoli memfasilitasi pelaksanaan hukuman adat atas Yanto. Melalui sebuah surat undangan yang juga beredar di masyarakat, LBN mengundang para kepada Kepala Daerah Sekepulauan Nias, Wakil Kepala Daerah Sekepulauan Nias, Ketua-Wakil Ketua DPRD Kab/Kota, Forum Kepala Daerah Kab/Kota, Sekda Kab/Kota, Staf Ahli lingkup Kab/kota, Asisten lingkup Kab/Kota, Kepala SKPD/Kaban/Kakan Kab/Kota, Camat/lurah/Kepala Desa, Ketua TP-PKK/DWP Kab/Kota, Ketua Ormas/LSM/Media/Elektronik dan PWRI.
Dalam surat tersebut dijelaskan, undangan tersebut sebagai tindaklanjut hasil pertemuan unsur pemerintah kab/kota, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, Tokoh Masyarakat/Budaya/Agama yang dilakukan secara berturut-turut pada 15, 16, dan 17 Oktober 2015 di kantor Walikota Gunungsitoli. Yakni tentang tindaklanjut penyelesaian masalah antara Sugianto Kosasi alias Kadali dengan Rismawati Waruwu (Mawar) secara hukum adat Nias.
Para terundang diminta hadir pada Senin, 19 Oktober 2015 pukul 10.00 Wib di halaman kantor Walikota Gunungsitoli. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua LBN Gunungsitoli Benyamin Harefa dan Sekretaris LBN Gunungsitoli Fatisökhi Gea, S.Th. Juga ditandatangani oleh Walikota Gunungsitoli Martinus Lase.
Sebagai catatan, dalam Surat Pernyataan Sikap Bersama yang dihasilkan pada pertemuan perdamaian di Kantor Polres Nias pada Kamis (15/10/2015) malam, tidak ada satupun butir yang menyebutkan bahwa kasus tersebut akan dilanjutkan dengan pelaksanaan hukum adat kepada Yanto. (BACA: Surat Pernyataan Sikap Bersama)
Acara pun berlanjut. Hasilnya, seperti terlihat pada acara tersebut, Yanto dikenai denda adat sebesar Rp 22,5 juta utang tunai hasil konversi dari perhitungan harga emas dan babi, sejumlah simbi mbawi (rahang babi) serta makanan untuk sekitar 400-an peserta acara pengenaan sanksi adat tersebut.
Orang tua dan kerabat Mawar hadir di acara tersebut dan menerima langsung permintaan maaf dan denda adat yang diserahkan oleh Yanto. Walikota Gunungsitoli Martinus Lase dan Wakil Bupati Nias Arosokhi Waruwu juga menerima bagian mewakili Forum Komunikasi Pimpinan Daerah. Di acara tersebut juga turut hadir Wakil Bupati Nias Arosökhi Waruwu dan Kapolres Nias AKBP Bazawatö Zebua dan sejumlah pejabat lainnya.
Yanto sendiri, diberikan kesempatan berbicara dan memanfaatkan kesempatan itu menyampaikan pengakuan bersalahnya, memohon maaf kepada keluarga Mawar dan masyarakat Nias serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan serupa.
Pro dan Kontra
Namun, keputusan pengenaan sanksi hukum adat tersebut menuai pro dan kontra di antara masyarakat Nias, baik di Pulau Nias maupun di perantauan. Bahkan, juga tanggapan kritis dari warga luar Nias.
Dari penelusuran redaksi Nias Satu dalam komentar di berbagai media berita dan media sosial, argumentasi para pihak yang mendukung pelaksanaan hukum adat tersebut di antaranya, penerapan hukum adat tepat karena berguna menjaga harkat martabat warga Nias, khususnya kaum perempuannya dari perlakuan tak pantas. Dalam tradisi Nias, pengenaan sanksi adat ini sebenarnya sampai saat ini masih tetap dilakukan di beberapa wilayah yang disebut Fogau.
Kemudian, sejumlah daerah di Indonesia juga tetap memberlakukan hukum adat di luar hukum nasional kepada para pelaku pelanggaran seperti yang diterapkan di Nias.
Dan alasan pamungkasnya, guna menegakkan serta melestarikan kembali kebijaksanaan lokal (local wisdom) Nias, agar masyarakat Nias tidak melupakan nilai-nilai adat dan budaya serta dengan cara itu juga melestarikannya.
“Ini adalah terobosan baru di era modern, masa tergerusnya budaya asli Nias. Ini adalah bukti jika kami generasi muda menghargai masa keemasan budaya Nias, masa peradaban Ono Niha pada masa lampau. Dan harapannya “Ogauta” yang telah diterapkan kepada saudara Yanto dapat diterapkan ke siapapun yang melanggar norma dan aturan adat di Nias,” ujar Berkati Ndraha, salah satu yang setuju dengan penerapan hukuman adat tersebut. Pendapat senada dengan mudah menemukannya di media sosial.
Sedangkan pihak yang kontra, tidak kalah sengit. Mereka mempertanyakan sejumlah hal terkait pelaksanaan hukuman adat tersebut. Di antaranya, pertama, relevansi penerapan hukum adat tersebut karena sebenarnya Yanto sudah dan sedang diproses hukum di Polres Nias. Diakui bahwa hukum adat itu tidak boleh diabaikan, tetapi formalisasinya dalam bentuk seperti saat ini dinilai tidak diperlukan. Mengingat berbagai keterbatasan pada implementasi hukum adat itu, maka penerapan hukum nasional dinilai sudah mewakili semua kepentingan dan juga netral bagi semua pihak.
“Kalau menurut saya, penerapan hukum adat belum tepat pada kasus Kadali karena prinsip hukum kita adalah hukum positip dan bisa mengakomodir hukum adat,” kata Yasanto Lase, warga asal Nias di Batam.
Kedua, dugaan kecurigaan bahwa penerapan hukum adat tersebut hanya untuk kasus Yanto yang kebetulan warga Nias dari latar etnis Tionghoa dan dinilai memiliki banyak uang.
“Jangan jadi aji mumpung karena berduit. Lalu kita menerapkan hukum adat. Ada sedikit keanehan berhubung sudah lama tidak terdengar menghukum seseorang dengan hukum adat. Sementara kita di Nias belum dibentuk satu lembaga adat Nias,” ujar Sanotona Zebua, warga Nias lainnya.
Ketiga, mempertanyakan legalitas pengambil keputusan dalam penerapan hukum adat tersebut, yakni, siapa yang berhak memutuskan, siapa yang telah diberi mandat oleh warga Nias menjadi ‘hakim’ pada pengadilan adat tersebut mengatasnamakan masyarakat Nias. Sementara, sampai saat ini tidak pernah ada konvensi bersama seluruh wilayah di Pulau Nias mengangkat dan memberi mandat kepada orang-orang tertentu menjadi ‘hakim’ adat pada setiap kasus yang terjadi. Kalaupun penerapan hukum adat dilakukan, maka seharusnya menjadi kewenangan pemangku adat di desa asal korban, paling jauh di wilayah öri-nya dan bukan di luar itu apalagi seluruh Pulau Nias.
Keempat, masih terkait hal ketiga di atas, mempertanyakan legalitas LBN yang menurut namanya adalah lembaga budaya, dan bukan Majelis Adat atau Dewan Adat yang memiliki mandat yudisial untuk memutus perkara dan memberikan ‘vonis’ adat.
Kelima, kehadiran para pejabat daerah dan menerima bagian dalam denda tersebut dinilai tidak pada tempatnya karena mereka adalah pejabat politik/administrasi negara dan bukan pejabat adat yang bisa mewakili, apalagi mewakili seluruh warga Kepulauan Nias.
Keenam, selama ini terjadi banyak kasus, termasuk kasus asusila, yang melibatkan warga Pulau Nias bahkan para pejabat, yang harusnya juga dikenai sanksi adat. Namun, selama ini tidak pernah ada yang menerapkan ‘pengadilan’ adat pada kasus-kasus itu.
Ketujuh, tidak ada kejelasan apakah ‘pengadilan’ adat serupa akan ditetapkan permanen dan wajib berlaku untuk siapa saja dan semua kasus, termasuk bila pelakunya orang Nias sendiri atau para pejabat. Tak cuma itu, sistem pengadilan adatnya, tata cara dan perangkatnya juga dinilai belum jelas kepada publik.
“Pelanggaran hukum harus diselesaikan secara hukum. Mengenai penerapan hukuman sosial yang disebut-sebut hukum adat Nias kemarin itu, saya merasa terlalu terburu-buru. Rumusan kerangka hukum adat yang dimaksud sesungguhnya masih harus dibicarakan, didiskusikan sebelum dijadikan pakem sosial. Rasanya sangat ambigu kalau kelak hukum adat tersebut hanya kasuistik. Padahal, hukum adat yang baik bukan hanya bisa diterapkan untuk menghukum yang bersalah, tetapi juga sifatnya preventif dan egaliter,” ujar Fotarisman Zalukhu, warga Nias yang kini sedang menempuh pendidikan doktoral di Belanda.
Kedelapan, besaran nilai denda adat yang diberikan dinilai berlebihan. Terlebih lagi karena ternyata denda uang tunai sebesar Rp 22,5 juta tersebut dibagi ke berbagai pihak dan hanya sebesar Rp 5 juta diterima oleh Mawar sebagai korban.
Sementara warga luar Nias namun sering berurusan di Pulau Nias, kepada Nias Satu, mengungkapkan kekuatiran akan kondisi di Pulau Nias pascapelaksanaan hukum adat tersebut. Belum jelasnya mekanisme dan urgensi penerapan hukum adat tersebut membuatnya kuatir sewaktu-waktu ada yang memanfaatkan situasi dengan menyalahgunakan hukum adat tersebut.
“Banyak yang memberikan perhatian untuk Pulau Nias beberapa tahun terakhir. Tapi melihat kejadian beberapa hari lalu dan juga penerapan hukuman adat tersebut, akan berpikir berkali-kali untuk melakukan sesuatu di Pulau Nias kalau sedikit-dikit hukum adat yang berbicara. Itu akan merugikan masyarakat Nias untuk jangka panjang,” kata dia tanpa mau disebut namanya. (ns1/*)
Menurut saya tidak terlalu penting dipermasalahkan siapa yg menghukum dan seberapa nilainya…yang penting pelaku sudah dihukum sesuai dengan perilakunya ingat orang nias itehe mate moroi aila siapa pun yg membuat malu orang nias harus dihukum apalagi kalau dihina di pulau nias sendiri oleh orang lain
ini hukum adat nias baru tau aku ada salut agkh, jadi untuk pelanggaran2 yang sudah lewat kenapa hukum dari adat nias gak pernah nongol,,,?? #negerisulap#
Kita hidup di zaman yang lebih manuasiawi dan secara kita orang Kristen, yang namanya hukum adat/budaya itu jauh lebih rendah dari pada hukum cinta kasih… saya heran sekali komentar komentar ekstrim dan dikait kaitkan dengan etnis, nyatanya tidak sama sekali.
Angka Sembilan (9) dapat juga dibaca sebagai angka Enam (6) tergantung dari posisi berdiri masing-masing. Di kuliah moral mahasiswa mempelajari prinsip MINUS MALUM. Barangkali ini yang sudah diterapkan oleh para pihak yang terlibat. Dihukum secara hukum tertulis atau dihukum secara hukum tak tertulis, sama-sama ada akibat buruknya. Yang mana yang lebih sedikit akibat buruknya, itulah yang sudah dipakai. Yang penting jangan sampai ada hukuman ganda.
Kalau pihak korban sendiri sudah berdamai dengan si pelaku, untuk apa lagi “para pendengar” malah menjadi tidak berdamai. “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka….” (Matius)