CEGAH APARAT HUKUM SEWENANG-WENANG
Pemerintah Lipatgandakan Besaran Ganti Rugi Korban Salah Tangkap & Peradilan Sesat
NIASSATU, JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly menginisiasi perubahan peraturan pemerintah yang mengatur besaran denda atau ganti rugi akibat salah tangkap maupun peradilan sesat yang dilakukan oleh aparat hukum.
Perubahan besaran ganti rugi tersebut juga menjadi pelajaran penting bagi aparat hukum, khususnya kepolisian agar lebih berhati-hati dan tidak lagi memakai cara-cara kekerasan terhadap masyarakat yang dinilai terlibat persoalan hukum.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 9 Ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 77 huruf b dan pasal 95 menetapkan ganti rugi kepada korban salah tangkap atau korban penyiksaan, termasuk bila meninggal dunia hanya sebesar Rp 5.000 dan setinggi-tingginya Rp 1 juta.
Sedangkan dalam revisi PP yang telah disetujui dan tinggal menunggu tandatangan Presiden Jokowi paling lambat pada 10 Desember 2015 tersebut terjadi perubahan revolusioner mengenai besaran nilai ganti rugi yang sangat besar. Rinciannya adalah:
- Ganti rugi bagi korban salah tangkap/korban peradilan sesat sebesar Rp 500 ribu – Rp 100 juta.
- Ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat mengalami luka/cacat sebesar Rp 25 juta – Rp 100 juta.
- Ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat meninggal dunia sebesar Rp 50 juta – Rp 600 juta.
Dalam PP itu juga mengatur, permohonan ganti rugi diajukan maksimal 3 bulan sejak petikan atau salinan putusan berkekuatan hukum tetap diterima. Sedangkan eksekusi atau pembayaran ganti rugi maksimal 14 hari sejak pengadilan pengaju mengajukan ke Kementerian Keuangan.
“Efektif berlaku ketika diundangkan, setelah ditandatangani Presiden. PP ini tidak berlaku surut,” jelas Yasonna kepada Nias Satu, Rabu (25/11/2015).
Seperti diketahui, sudah sering terjadi aparat hukum khususnya kepolisian melakukan salah tangkap. Tak cuma itu, korban salah tangkap tersebut ada yang babak belur, cacat hingga meninggal karena mengalami penyiksaan.
Para korban salah tangkap itu ada yang kemudian dibebaskan ketika masih dalam proses penyelidikan karena tidak terbukti terlibat sebuah kasus. Ada juga yang dibebaskan oleh pengadilan karena terbukti tidak terlibat dalam kasus hukum.
Ironisnya, dalam banyak kasus salah tangkap, ternyata tidak sertai dengan ganti rugi yang setimpal. Kalaupun ada, merujuk pada PP lama, besarannya bahkan jauh dari biaya pengobatan minimum karena ganti rugi diatur hanya berkisar Rp 5.000 – 1 juta. Khusus bagi yang meninggal ganti rugi hanya sebesar Rp 3 juta. (ns1)