DARURAT LISTRIK PULAU NIAS

Siuman di Kegelapan di Pulau Impian

Oleh Etis Nehe*

Etis Nehe | EN

Etis Nehe | EN

Pemadaman listrik selama 12 hari ini (sejak 1 April 2016) di Pulau Nias bukanlah sekadar keteledoran PLN yang tidak profesional mengurusi kontrak penyewaan mesin pembangkit listrik. Ini memang keteledoran yang juga tidak bisa dimaafkan begitu saja. PLN harus membayar kompensasi akibat keteledoran ini.

Akan tetapi, krisis listrik mendadak dan berkepanjangan ini juga adalah bentuk penelanjangan tentang kondisi Pulau Nias sebenarnya. Penggambaran mengenai bagaimana begitu teledornya pengelolaan lima daerah otonomi di Pulau tersebut. Sebuah keteledoran berjamaah.

Bahwa, tak cuma sekadar krisis listrik, tapi Pulau Nias juga sedang sangat kritis dalam banyak hal fundamental. Kritis infrastruktur dasar dan vital. Listrik adalah salah satunya. Yang lainnya di antaranya, jalan-jalan, jembatan, pelabuhan, fasilitas kesehatan, gedung-gedung sekolah dan instalasi air bersih. Krisis sejumlah infrastruktur dasar itu juga bertaut erat dengan krisis sumber daya manusia Nias. Baik masyarakatnya maupun para penanggungjawab kebijakan di sana.

Kita disadarkan bahwa sebenarnya Pulau Nias tak hanya rentan dengan gempa bumi, kemiskinan dan ketertinggalan. Tetapi bertaut dengan itu adalah juga krisis akibat banyak tanggungjawab yang semestinya ditunaikan namun diabaikan selama bertahun-tahun.

Bagi sebagian besar publik negeri ini, pemadaman total listrik di Pulau Nias sejak awal April 2016 seolah hal baru. Tetapi sejatinya tidak demikian. Jauh sebelum pemadaman total akibat putusnya kontrak penyewaaan mesin pembangkit listrik antara PLN dan APR Energy itu, masyarakat Nias telah didera pemadaman listrik, entah bergilir ataupun seperti kata banyak masyarakat di media sosial, “sesuka hati.” Bahkan, pemadaman itu sejak sebelum gempa, sebelum sekitar Rp 6 triliun dana dunia mengalir ke Pulau Nias pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa pada 28 Maret 2005.

Masyarakat Nias menderita hal-hal yang tidak semestinya mereka tanggung apabila pemerintah daerah maupun pusat mengerjakan tanggungjawabnya dengan benar. Mereka menderita untuk hal-hal yang sejatinya merupakan kewajiban konstitusional negara dan pemda untuk memenuhinya.

Tiba-tiba rakyat Nias bertanya-tanya. Siapa yang bertanggungjawab atas situasi ini? Bukan hanya tanggungjawab dalam pengertian harus menanggung konsekuensi akibat ketidakbecusan pengelolaan kelistrikan ini. Tetapi, siapa yang harus mencegah agar hal serupa ini tidak lagi terjadi di masa mendatang.

Masyarakat Nias terus bertanya. Siapa sebenarnya yang bisa mengurus nasib mereka agar tidak terus menderita akibat pemadaman ini? Tidak membiarkan nasib mereka dipermainkan oleh kelambanan pemerintah dan PLN mengatasi situasi yang makin memburuk ini. Siapa yang akan menyampaikan hal itu ke pemerintah pusat bahwa itu adalah kebutuhan mendesak, kritis dan tak boleh tidak harus dipenuhi oleh pemerintah pusat secepatnya?

Sejumlah aksi masyarakat dan mahasiswa di Pulau Nias juga tidak berdampak apa-apa. Bahkan ironisnya, malah berakhir dengan tindakan represif kepolisian dan penetapan tersangka kepada delapan pendemo.

Idealnya adalah mereka yang berada di jajaran kepemimpinan daerah yang lantang berteriak mewakili masyarakat. Akan tetapi, sudah sering kita menyaksikan hal-hal fundamental tersebut mereka sikapi dan urus dengan cara biasa saja. Itu sebabnya rakyat Nias terus bingung kepada siapa mereka berharap.

Para kepala daerah di empat kabupaten dan satu kota tiba-tiba ‘hening.’ Sejauh ini, hanya Bupati Nias yang terlihat aktif ke sana-kemari dan diberitakan media menyurati Presiden Jokowi. Bahkan surat itu pun seharusnya tidak perlu dikirimkan bila bersama-sama dengan empat kepala daerah lainnya (barangkali empat kepala daerah lainnya tidak mau pusing lagi dengan masalah itu karena sudah akan diganti dalam beberapa hari mendatang), memutuskan dengan berani mendatangi Jokowi untuk mendesakkan kebutuhan kritis ini. Baik beberapa tahun lalu, maupun saat ini mengingat ada alasan yang cukup karena situasi Nias sedang memasuki ‘masa kegelapan.’

Andai saja mereka bisa bersikap ‘seperti orang gila’ menuntut penyelesaian masalah ini kepada pemerintah pusat.  Dengan keberanian penuh menuntut dengan cara-cara yang tidak biasa. Kalau perlu disertai ‘gebrak meja’. Seperti saya dengar pernah  terjadi ketika wakil-wakil masyarakat Nias memperjuangkan pembentukan BRR Nias, sehingga muncul nama BRR Aceh – Nias pascagempa 28 Maret 2005.

Tapi sinyal kenyataan menunjukkan lain. Kurangnya kepekaan akan kemendesakan kebutuhan tersebut membuat mereka tidak bisa membedakan mana yang mendesak, darurat, gawat dengan hal yang biasa saja. Mereka pun akhirnya terjebak pada upaya formalitas, basa-basi, audiensi sana-sini, kirim surat sana-sini, dan aneka kegiatan buang waktu lainnya namun tanpa hasil.

Itu juga menunjukkan kemampuan manajerial mereka tak memadai untuk menjadi pemimpin daerah. Sayangnya, secara politis mereka telah berhak dan dijamin konstitusi untuk berada di posisi itu.

Para wakil rakyat daerah (DPRD) juga setali tiga uang. Segelintir yang datang. Itupun mereka datang di tempat di mana kelompok masyarakat Nias lainnya juga sudah diagendakan menyampaikan tuntutan, di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. 

Begitu juga ketika di Kantor Pusat PLN. Kelompok-kelompok masyarakat Nias ramai-ramai berusaha menunjukkan telah bekerja keras memperjuangkan solusi listrik di Pulau Nias tersebut. Ramai-ramai menggelar aksi dan pertemuan dengan pihak terkait. Mereka silih berganti datang. Bahkan terkesan seolah berebut kesempatan, saling mendahului untuk menyampaikan tuntutan. Setelah itu, di media sosial mereka saling ledek.

Aksi-aksi tersebut tidaklah salah, meski juga tidak sepenuhnya efektif. Terlepas dari kekurangan-kekurangan, semua hal itu baik adanya bila benar tujuannya untuk mengatasi keadaan yang sedang sulit. Pertanda bahwa semua komponen masyarakat Nias perlu melibatkan diri untuk berteriak memperjuangkan perlakuan wajar dari pemerintah agar tidak terus menerus menderita kegelapan. Tidak sekadar mencari momen untuk foto-foto lalu pamer di media sosial bahwa telah berbuat sesuatu.

Masalahnya, setelah pertemuan tersebut, situasi tidak berubah signifikan. Janji-janji yang diberikan PLN dan pemerintah pusat ditelan bulat-bulat. Lalu menghibur diri bahwa masalah segera teratasi. Ternyata hasilnya, omong kosong belaka. Kini memasukai hari ke-12, listrik di Pulau Nias masih belum tertangani secara mendasar.

Mesin-mesin genset yang didatangkan dengan jumlah puluhan itu tidak nyambung sama sekali dengan kebutuhan dasar di Pulau Nias. Berbagai janji mendatangkan mesin besar dari luar Pulau Nias termasuk dari Jakarta, hasilnya bikin miris. Bahkan, hasil pantauan organisasi Himni, ternyata mesin yang dikirimkan melalui pesawat Hercules dari Bandara Halim Perdanakusuma kapasitasnya tidak sebesar yang dijanjikan dalam pertemuan beberapa hari sebelumnya dengan jajaran petinggi PLN. Ternyata, PLN dan pemerintah pusat, tidak bergerak segesit yang diharapkan  sebagaimana pada situasi darurat.

Miskin Pola Pikir Anitipasi

Krisis listrik ini menunjukkan betapa para kepala daerah di Pulau Nias (dan juga masyarakat pada level tertentu) tidak terbiasa dengan pola pikir dan manajemen antisipatif. Tidak membiasakan diri berpikir jangka panjang. Puas dengan apa yang ada di depan mata. Merasa telah berbuat ketika yang dilakukan itu cuma sekadar formalitas  dan birokratis belaka. Selanjutnya membiarkan nasib sendiri dalam ketidakpastian di tangan orang-orang yang dianggap akan dengan sukarela dan berlelah-lelah melakukannya tanpa kontribusi sendiri. Bahwa urusan vital tersebut adalah murni urusan PLN dan pemerintah pusat.

Kita kemudian pura-pura sibuk dan seolah-olah sedang melakukan kerja keras untuk memperbaiki keadaan ketika semuanya tiba-tiba menjadi gelap, sulit diatasi dan menyengsarakan dalam waktu lama. Sibuk surati sana-sini, audiensi ke sana-ke mari, dan curhat sana-sini.

Tiba-tiba, setelah semuanya gelap, baru merasa bahwa Nias butuh penerangan. Butuh mesin pembangkit listrik yang memadai untuk kebutuhan total masyarakat Nias. Bukan mesin sewa yang menggantung nasib rakyat Nias pada teledor atau tidak teledornya pihak yang bersepakat pada bisnis sewa menyewa mesin pembangkit yang menggiurkan itu.

Kita sibuk memadamkan api, tapi tidak membiasakan diri mencegah kebakaran. Kita terlatih menipu diri dengan kenyamanan bahwa nasib kita baik-baik saja karena dibikin nyaman dengan mesin pembangkit sewaan. Bahkan meski mesin sewaan itu sendiri tidak sesuai kebutuhan maksimal, kita membiasakan diri sampai benar-benar terbiasa dengan kelaziman pemadaman listrik saban hari selama bertahun-tahun tanpa berupaya keras menghentikan hal itu dengan sungguh-sungguh memaksa pemerintah pusat dan PLN menoleh untuk benar-benar serius memikirkan Nias. Saya pun kuatir, jangan-jangan dengan pemadaman total ini pun, andai berlangsung sampai sebulan saja, akan ada yang mengajak masyarakat Nias untuk memakluminya sebagai hal biasa.

Kalau 10 tahun lalu, ketika BRR masih ada, para kepala daerah dan mereka yang memiliki akses untuk mengupayakannya, mendorong pengadaan mesin permanen berkapasitas besar di Pulau Nias, maka rakyat Nias tidak perlu semenderita seperti saat ini. Setidaknya, dalam lima tahun terakhir, kelima kepala daerah di Pulau Nias benar-benar membuat gerah pemerintah dengan desakan tak henti-hentinya untuk membangun pembangkit permanen, maka kita tidak perlu menikmati situasi miris seperti ini.

Kini, setidaknya dalam 12 hari terakhir, Pulau Nias menjadi semacam titik hitam (blank spot) tak berpenghuni di jagad ini pada malam hari. Baik bila dilihat dari angkasa luar, maupun bila dilihat dari mata hati para pengambil kebijakan. Sebuah situasi simbolik untuk menjelaskan bahwa Nias “tidak dianggap ada” oleh pemerintah pusat, provinsi bahkan pemerintah daerah sendiri.

Pulau Nias itu hanya diakui ada 10 tahun lalu ketika gempa dahsyat menghajarnya sehingga dengan tergopoh-gopoh pemerintah berupaya menolong dengan dukungan besar para donator asing. Kini, setelah gelap gulita dan jadi bahan pemberitaan media seluruh negeri, tiba-tiba mereka teringat lagi dengan Pulau Nias. Semua tiba-tiba siuman kalau sebenarnya sedang bermimpi.

Rupanya, memang pulau Nias itu, baik bagi mereka yang jauh dari Pulau Nias maupun yang dekat dan tinggal di sana, tidak nyata. Minimal tidak selalu nyata. Pulau Nias bagi mereka hanyalah Pulau Impian.  Nias hanya ada dalam mimpi. Mungkin bagi mereka, mimpi itu paling asyik dinikmati di tengah kegelapan, apalagi lokasinya di Pulau Impian, Nias.

Kemarin, Senin (11/4/2016) di kelas Metode Riset Lanjutan, dosen saya memberikan pertanyaan ilustratif mengenai bagaimana mempersiapkan makalah/proposal tesis yang baik agar tidak menjadi tumpukan penderitaan pada hari terakhir atau jelang deadline.

“Waktu menanam pohon itu paling tepatnya, hari ini atau 20 tahun lalu?” ujar dosen muda itu.

Beberapa teman di kelas itu menjawab spontan, “Mestinya 20 tahun lalu.” Itu tepat sekali. Saya juga mengaminkan jawaban maupun ilustrasi itu.

Seketika bayangan orang-orang Nias yang sedang menderita akibat pemadaman listrik itu melintas  di benak saya.

“Betul sekali. Andai saja para kepala daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat menseriusi menangani kelistrikan di Pulau Nias pada 20, 10 atau 5 tahun lalu, tidak perlu menderita seperti saat ini,” pikir saya.

Dan menggunakan ilustrasi yang sama, saya memikirkan hal ini lebih lanjut, “Andai saja para kepala daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat memikirkan dengan serius pembangunan pembangkit listrik permanen berkapasitas besar sesuai perkiraan kebutuhan jangka panjang di Pulau Nias mulai dari sekarang, maka rakyat Nias tidak perlu menderita seperti 12 hari ini lagi pada 5, 10 dan 20 tahun mendatang.”

Dan dengan itu, warga Nias dan para pencinta Nias dari berbagai wilayah dunia ini bisa menikmati indahnya Pulau Nias secara nyata. Tidak cuma dalam mimpi, apalagi mimpi dalam kegelapan, dan dalam mimpi buatan segelintir orang yang cuma merancang mimpi untuk Pulau Nias.

Dan kalau itu sudah beres, para kepala daerah juga tidak perlu lagi berbusa-busa menjual omong kosong peluang investasi kesana- kemari namun tanpa hasil itu . Sebab, para investor itu akan datang dengan sendirinya, karena setidaknya satu persoalan mendasar, yakni kebutuhan listrik sudah teratasi dengan gemilang.

Sebagai penutup, saya ingin Anda warga Nias menyerukan ini kepada Pemerintah pusat, Pemda-pemda di Pulau Nias dan PT PLN:

#Stop Pemadaman Listrik di Pulau Nias
#Stop Penggunaan Mesin Pembangkit Sewa di Pulau Nias
#Segera Bangun Pembangkit Permanen Besar di Pulau Nias. (ns1)

 

*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi situs NiasSatu.com, warga Nias, tinggal di Jakarta.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »