25 Juli, Persidangan Pertama PK Yusman Telaumbanua Digelar di PN Gunungsitoli
NIASSATU, JAKARTA – Upaya mencari keadilan atas putusan hukuman mati yang semula dikenakan oleh PN Gunungsitoli untuk Yusman Telaumbanua secara resmi akan dilangsungkan pada Senin, 25 Juli 2015. Pada hari ini, persidangan pertama Peninjauan Kembali (PK) ke Mahmakah Agung (MA) atas vonis tersebut akan digelar di PN Gunungsitoli.
Dalam PK tersebut, Yusman akan diwakili oleh Tim Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang juga telah menyerahkan berkas PK melalui PN Gunungsitoli pada 23 Juni 2016.
“Senin, 25 Juli 2016 akan sidang di PN Gunungsitoli pukul 10.00 WIB. Pada persidangan yang sama juga akan mengajukan permohonan pemindahan sidang pemeriksaan ke Tangerang (sesuai lokasi penahanan Yusman Telaumbanua saat ini di LP Tangerang, red),” ujar Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS, Putri Kanesia di Jakarta, Sabtu (23/7/2016).
Sementara itu, dalam konferensi pers hari ini di kantor Kontras di Jakarta Koordinator Kontras Haris Azhar menjelaskan bahwa pada 23 Juni 2016 pihaknya telah mengajukan permohonan PK atas vonis mati yang dijatuhkan oleh Majelis Pengadilan Negeri Gunungsitoli
Haris menjelaskan, beberapa alasan yang melatarbelakangi pengajuan PK tersebut adalah adanya keadaan baru (novum) terkait dengan usia Yusman yang pada saat dijatuhi vonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli.
Yakni, berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi forensik yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, pada saat dilakukan pemeriksaan terhadap Yusman Telaumbanua pada tanggal 16 November 2015 menyimpulkan bahwa estimasi usia pasien Yusman Telaumbanua berdasarkan metode dental adalah 18,4 – 18,5 tahun, yang ditunjang dengan metode sinus paranasal dan Hand Wrist.
“Bahwa dengan diketahuinya usia Yusman Telaumbanua pada saat dilakukan pemeriksaan pada tanggal 16 November 2015 adalah berusia 18 – 19 tahun, maka pada saat terjadinya tindak pidana sebagaimana yang disangkakan oleh Penyidik, JPU, dan Putusan Pengadilan yakni pada 4 April tahun 2012 usia Yusman sekitar 15 – 16 tahun, alias dibawah umur dan tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pemalsuan data usia Yusman Telaumbanua,” tegas Haris.
Kemudian, ketika kasus Yusman itu berlangsung, tidak ada proses pendampingan hukum pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, adanya tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik dan tidak adanya penterjemah bahasa.
“Fakta-fakta ini semua diabaikan oleh Majelis Hakim PN Gunungsitoli dan tetap menjatuhkan vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua,” tegas Haris.
Haris mengatakan, kasus vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua tersebut merupakan contoh buruk dari mekanisme pemidanaan di Indonesia yang dipaksakan tanpa diikuti dengan standar-standar peradilan yang jujur dan adil. Indonesia sebagai negara pihak dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik wajib tunduk pada Pasal 6 dan Pasal 14. Tafsir Pasal 6 harus dilakukan progresif kepada negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati untuk bisa memberikan ukuran ketat pada pemberian vonis. Jika terdapat kategori hak-hak asasi dari ICCPR yang terlanggar, maka hukuman mati tidak boleh dilakukan. Karena itu, pihaknya meminta pemerintah mengevaluasi penerapan hukuman mati.
“Dari kasus Yusman Telaumbanua yang merupakan anak dibawah umur yang dijatuhi vonis mati juga menggambarkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rawan akan kekeliruan. Pemerintah perlu berbesar hati untuk mau melakukan otokritik dan mengevaluasi diri melihat praktek-praktek penerapan dan eksekusi hukuman mati yang penuh kesalahan. Selain mengajukan PK, kami berharap Presiden RI dan Ketua Mahkamah Agung bisa membentuk tim evaluasi sistem hukum yang memiliki implikasi pelanggaran hak-hak fundamental setiap individu,” papar dia.
Seperti diketahui, dugaan rekayasa dalam proses hukum Yusman dan Rasula diungkap oleh KontraS yang sebelumnya mendapatkan laporan. Selanjutnya, pada Desember 2014, dalam kunjungannya ke LP Nusakambangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bertemu dengan keduanya.
Kepada Menteri Yasonna mereka mengungkapkan berbagai rekayasa dan penyiksaan yang mereka terima dalam proses hukum yang mereka jalani. Menteri Yasonna pun kemudian menginstruksikan agar keduanya di pindahkan ke LP terdekat, yakni Tanjung Gusta. Menteri Yasonna juga berjanji membantu pengajuan PK keduanya.
Yusman dan Rasula divonis mati oleh PN Gunungsitoli dalam kasus pembunuhan pembeli tokek, yakni Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br. Haloho, pada 24 April 2012. Keduanya kemudian dipindahkan ke Lapas Batu, Nusakambangan dari LP Tanjung Gusta pada 17 Agustus 2013. (Baca: Ini Kisah Terpidana Mati Yusman Telaumbanua Terpaksa Berusia 19 Tahun)
Namun, belakangan terungkap ke publik mengenai dugaan rekayasa pada proses hukum keduanya. Di antaranya, dan yang paling menyita perhatian media nasional adalah proses hukum Yusman yang diduga disertai kekerasan dan saat itu usianya masih 16 tahun atau sesuai Undang-Undang masih anak-anak. Dengan usia seperti itu, maka sesuai Undang-Undang, tidak bisa dikenakan vonis hukuman mati. (Baca: KontraS: Proses Hukum Terpidana Mati Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia Sarat Rekayasa)
Kontras pun melansir sejumlah dugaan pelanggaran dalam proses hukum keduanya. Mulai dari penyidikan di Polres Nias, pengacara/penasihat hukum, Kejaksaan hingga PN Gunungsitoli. Kontraspun mengadukan masalah ini ke Ombudsman dan juga ke Komisi Yudisial. (Baca: KontraS Adukan Majelis Hakim PN Gunungsitoli ke KY Terkait Vonis Yusman dan Rusula)
Usai terungkapnya dugaan pelanggaran oleh penegak hukum tersebut, sejumlah pejabat dan lembaga negara turun tangan. Di antaranya, Kemenkumham, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perlindungan Anak, PKPA Nias, Kontras, Komisi Yudisial, serta tim dari Mabes Polri sendiri untuk melakukan investigasi.
Polres Nias sendiri telah membantah tudingan melakukan kekerasan saat melakukan penyidikan serta manipulasi usia Yusman. (Baca: Polres Nias Bantah Rekayasa Kasus Terpidana Mati Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia)