TANAH PARA PENDEKAR
Kisah Lolosnya Petualang Italia dari Pengayau di Nias Selatan 130 Tahun Lalu Diluncurkan
NIASSATU, JAKARTA – Bertempat di Auditorium Lembaga Kebudayaan Italia (Istituto Italiano di Cultura) di Jakarta, Vanni Puccioni secara resmi meluncurkan bukunya berjudul “Tanah Para Pendekar: Petualangan Elio Modigliani di Nias Selatan tahun 1886” pada Selasa, 6 Desember 2016.
Buku terjemahan Bahasa Indonesia tersebut diluncurkan atas kerja sama dengan Kedutaan Besar Italia dan Lembaga Kebudayaan Italia di Jakarta dan penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Dalam paparannya, Vanni menjelaskan, kedatangan Elio di Pulau Nias dengan kebiasaan memenggal kepala (mengayau) bukanlah perjalanan petualangan biasa. Sebab, selain kebiasaan yang mengerikan itu, saat itu para pejuang Nias sedang berperang dengan pasukan Belanda yang berusaha menaklukkan wilayah itu, namun selalu gagal. Mereka juga anti dengan orang asing, apalagi dengan orang kulit putih yang sedang menjadi musuh mereka. Namun, mengherankan, Elio nekad ke Nias dan berhasil kembali dengan kepala utuh alias tidak dibunuh dengan cara dipenggal.
Vanni menjelaskan bahwa perkenalannnya dengan Elio yang pernah ke Nias pada 130 tahun lalu itu justru terjadi di Pulau Nias, bukan di Florence, Italia, tempat asal keduanya. Informasi buku yang berisi catatan perjalanan Elio pada periode April – September 1886 yang berjudul Viaggio a Nìas (Perjalanan ke Nias) yang dipublikasikan pada 1890 diperolehnya dari Pastor Johannes Hammerle, pendiri Museum Pusaka Nias (MPN) di Gunungsitoli. Saat itu, Vanni berada di Pulau Nias dalam rangka memimpin program bantuan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Pulau Nias yang dibiayai oleh Uni Eropa dan Provinsi Tuscana, Italia.
“Tulisan Modigliani menceritakan setiap aspek budaya Nias dengan deskripsi lengkap dan terperinci. Mulai dari seni kerajinan, legenda, lagu-lagu tradisional, teknik peperangan, teknik pengobatan tradisional dan lain-lain. Lebih dari seratus tahun, sumber pengetahuan yang sangat berharga ini terkubur di perpustakaan beberapa cendekiawan Italia. Terlebih lagi, orang Indonesia dan Nias sendiri tidak mengetahui kemana budaya tersebut menghilang,” ujar dia.
Vanni mengakui, hal itu kemudian mendorongnya untuk melakukan penelusuran selama sekitar dua tahun isi buku Elio tersebut. Sebuah keputusan yang membuatnya menemukan banyak hal baru dan apa yang menjadi kunci keberhasilan Elio yang juga bisa diterapkan saat ini dalam pembangunan Nias.
Vanni meyakini bahwa buku Elio tersebut menjadi sumbangan berharga, tidak hanya untuk mendeskripsikan kehidupan penduduk Pulau Nias pada akhir abad kesembilan belas, tetapi juga dapat menjadi kunci untuk dapat memahami dasar mentalitas dan cara berpikir penduduk Nias.
Dia juga menambahkan, lewat penelusurannya yang menghasilkan buku tersebut, membantunya memahami mengapa Elio bisa kembali dari Pulau Nias dalam keadaan hidup sementara selama berbulan-bulan dia berurusan dengan para pejuang Nias yang tak kenal ampun kepada orang asing dengan aksi-aksi pemenggalan kepala yang menjadi kebiasaan mereka. Bahkan, Elio berhasil menyelundupkan 26 tengkorak asal Pulau Nias untuk menjadi bahan riset oleh para peneliti di Musem Antropologi dan Etnografik di Florence, Italia.
Itu juga, kata Vanni seperti dikutip dari buku tersebut, menjadi salah satu hal penting yang harus dipahami dalam berurusan dengan penduduk Nias.
“Dalam analisis terakhir, menurut saya, faktor yang paling penting adalah rasa empati yang alami oleh Elio terhadap orang-orang Nias. Ia datang bukan sebagai penjajah ataupun misionaris. Ia tidak berniat menguasai mereka ataupun memaksakan kepercayaannya kepada suku Nias atau mereformasi masyarakatnya. Bagaimanapun menariknya dunia Elio yang penuh hal-hal baru, ia tidak menindihkannya pada dunia Nias. Sebaliknya, Elio menghormati dan ingin mengenal dengan lebih baik masyarakat dan tradisi Nias. Itulah perbedaannya dengan penjajah Belanda (hal. 344),” kata Vanni.
Vanni menambahkan, selain menunjukkan empati, Elio juga berupaya mencari titik-titik persamaan latar belakang dan logika dengan masyarakat Nias yang menjadi kunci terciptanya dialog yang bersahabat di antara mereka. Bahkan, meski dia hidup di antara para pejuang Nias yang setiap saat menjadi ancaman bagi nyawanya, pada akhirnya, Elio mengatakan, “Mereka adalah orang-orang baik, bukan pemenggal kepala (hal. 346).”
Bahkan lebih dari itu, Elio bahkan melekatkan secara abadi dirinya dengan warga Nias melalui pengabadian sebuah kosa kata Nias menjadi nama anaknya yang kini berusia 80 tahun, Mohua, yang berarti harum.
Dalam konteks pembangunan Nias pascagempa 28 Maret 2005, Vanni juga menemukan relevansi ilmu bertahan hidup Elio tersebut dalam pelaksanaan sejumlah program pembangunan pada tahap rekonstruksi dan rehabilitasi di Pulau Nias.
“Tidak adanya saling pengertian antara penyumbang dana dan orang Nias merupakan masalah besar bagi program bantuan untuk membangun kembali Nias. Program tersebut menghasilkan kesuksesan maupun kegagalan. Kegagalan yang disebabkan oleh adanya pembatas budaya dan pada beberapa situasi disebabkan analisis dangkal oleh orang-orang yang sombong,” tegas Vanni.
“Dan saya yakin, jika para pemberi dana (PBB, Bank Dunia, Komunitas Eropa dan berbagai lembaga kemanusian) mempelajari kisah Elio Modgiliani, mengambil inspirasi dari rasa empatinya, semuanya pasti akan berjalan lebih baik,” tandas dia.
Peluncuran buku tersebut dihadiri oleh Dubes Italia Vittorio Sandalli, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, Direktur Italian Cultural Institute, Jakarta, Michela Macri, Presiden Direktur PT Gramedia Pustaka Utama Wandi S. Brata dan Presiden Direktur MRT Jakarta William Sabandar yang tak lain adalah mantan Kepala BRR Nias. Tak ketinggalan jurnalis dari berbagai media juga memenuhi ruangan berkapasitas sekitar 100 orang tersebut.
Acara peluncuran tersebut dihadiri sejumlah warga Nias yang berdomisili di Jabodetabek. Beberapa tokoh masyarakat Nias juga tampak hadir selain Menteri Yasonna adalah Hakim PT TUN Medan Disipin Manaö, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nias Selatan Anggreani Dachi yang kebetulan sedang berada di Jakarta dan pemerhati budaya Nias Esther Gloria Telaumbanua.
Yang menarik, pada acara itu, pihak Lembaga Kebudayaan Italia juga mengundang Vocal Group Amaedola untuk melakukan seremoni penyambutan tamu, khususnya ketika Menteri Yasonna tiba di tempat acara. Pada sesi lain acara itu, VG Amaedola membawakan tarian dengan lagu Nagoyo Manase.
Setelah paparan Vanni atas kisah penulisan buku tersebut dan gambaran isinya, acara peluncuran diakhiri dengan penyerahan secara simbolik buku tersebut kepada Menteri Yasonna dan selanjutnya penandatanganan buku oleh Vanni serta foto bersama dengan para peserta. (NS1)
Grazie Vanni. Dio ti benedica. Saluto a Mohua. ci vediamo al tuo prossimo libro sul Nias. Ciao.