THEOCENTRIC LEADERSHIP SERIES

Pengaruh Pengalaman Masa Lalu Terhadap Kualitas Kepemimpinan

 

Eloy Zalukhu | Dok. Pribadi

Eloy Zalukhu | Dok. Pribadi

Oleh Eloy Zalukhu, MBA.

Catatan Redaksi:

Ini adalah artikel kedelapan dari sembilan artikel penting tentang kepemimpinan yang ditulis oleh putra Nias yang juga dikenal sebagai Theocentric Motivator, Eloy Zalukhu. Artikel ini, seperti disebutkan Eloy kepada Redaksi, pernah dimuat di Majalah Inspirasi dan saat ini sedang dalam persiapan untuk dijadikan buku. Sebelum menjadi buku, Eloy membagikan artikel ini kepada warga Nias (tentu saja juga termasuk siapa saja pengunjung situs ini). Semoga menjadi bahan pemikiran dan mengubahkan. Selamat menikmati.

=======

Rahmat adalah Direktur Operasional yang selalu menghindari risiko, tidak mau membuat keputusan tanpa data dan fakta yang sempurna. Hal ini seringkali membuat keputusan menjadi lambat dan tak jarang justru mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.

Mengapa Rahmat bisa seperti demikian? Tentu bisa ada banyak faktor. Tetapi bila dilihat dari pengalaman masa lalu, ayah Rahmat pernah mengambil keputusan besar dalam bisnis. Akibatnya fatal, keluarga kehilangan segala-galanya. Perubahan dari kehidupan yang nyaman terjerembab ke dalam kemiskinan selama puluhan tahun berikutnya menjadi pengalaman yang tidak pernah bisa dilupakan oleh Rahmat. Kejadian itu telah membentuk kecenderungan dan mempengaruhi perilakunya sehari-hari, sekalipun mungkin Rahmat tidak menyadarinya.

Rita beda lagi. Wanita jenius sekaligus berparas cantik ini dipercaya untuk memimpin departemen keuangan perusahaan keluarga. Tantangannya, Rita selalu menghindari konflik. Setiap kali ada perbedaan pendapat dengan anggota tim, dia selalu menghindar. Jika ditilik dari pengalaman masa lalu, kecenderungan Rita yang seperti itu sudah hadir sejak masa kanak-kanak. Pasalnya, ayah Rita adalah pecandu alkohol dan pemarah tingkat tinggi. Sejak kecil, pendapat Rita tidak pernah didengar apalagi dihargai. Setiap hari Rita sibuk menjaga kata saat berbicara untuk menghindari pukulan dari sang ayah.

Tentang hal ini, dalam buku ‘True North: Discover Your Authentic Leadership’, Bill George menyimpulkan bahwa masa lalu seseorang menentukan kualitas kepemimpinannya. Amanda Sinclair dalam buku Leadership for the Disillusioned juga mengemukakan hal yang sama bahwa pengalaman seseorang pada masa kanak-kanak dapat mengembangkan atau sebaliknya mematikan potensi kepemimpinan dalam dirinya.

Ludwig (2002) seperti dikutip dalam buku Price, T.L. yang berjudul “Abuse, privilege and the conditions responsibility for leaders”, menguraikan pengalaman traumatis yang dialami oleh beberapa pemimpin kejam di masa lalu. Misalnya, Joseph Stalin yang dikenal dunia sebagai diktator kejam dari Uni Soviet karena menyebabkan kematian lebih dari dua puluh juta orang. Ayahnya tukang sol sepatu, pemabuk dan sering menggebuki istri serta anaknya sampai melintir. Ayahnya juga terbiasa terlibat dalam kekerasan hingga akhirnya tewas dalam perkelahian ketika Stalin baru berusia sebelas tahun.

Tidak jauh berbeda dengan itu, Pol Pot pemimpin Khmer Merah di Kamboja yang mengakibatkan kematian lebih dari dua juta orang penduduk negara itu menjalani masa lalu yang tidak ideal. Orang tua mengirimnya tinggal bersama kakak dan istrinya, sehingga hubungannya dengan kedua orang tua terasa jauh.

Kesimpulan?

Tetapi apakah semua kisah di atas berarti seseorang dengan masa lalu yang kelam pasti akan berakhir dengan kekejaman? Jawabannya jelas tidak. Ada banyak kisah yang menunjukkan kebalikannya.

Kitab suci menceritakan secara detail kisah masa lalu Yusuf. Dia dibuang oleh saudara-saudaranya seharga 20 syikal perak kepada saudagar-saudagar Midian, yang membeli orang-orang untuk dijadikan budak dan diperjual-belikan sesampainya di Mesir. Karena dituduh memperkosa istri Potifar, Yusuf dijebloskan ke dalam penjara. Tapi dalam usia yang relatif muda, 30 tahun, Yusuf sukses menjabat sebagai pemimpin, orang nomor dua dibawah Firaun.

Bagaimana itu bisa terjadi? Kejadian 50: 18-21, memberi jawaban sebagai berikut:

Juga saudara-saudaranya datang sendiri dan sujud di depannya serta berkata: “Kami datang untuk menjadi budakmu.” Tetapi Yusuf berkata kepada mereka: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” Demikianlah ia menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya.

Kitab Suci menjelaskan secara detail penyertaan Tuhan dalam hidup Yusuf, dan memang itulah kunci dasar kesuksesannya. Tetapi Yusuf juga Tuhan ciptakan dengan freewill atau kehendak bebas sama seperti kita, sehingga dia bisa saja merespon semua kejadian masa lalu yang kelam itu dengan sakit hati dan putus asa. Dia bisa membalas kejahatan saudara-saudaranya. Tetapi, bukan respons seperti itu yang dipilih oleh Yusuf.

Maka di sinilah pentingnya pendekatan Theocentric dalam kepemimpinan, dimana Tuhan menjadi yang pertama dan utama. Artinya seorang pemimpin merespon panggilan Tuhan dalam hidupnya untuk mengubahkan sesuatu menjadi lebih baik. Adapun kesulitan bahkan resiko kehilangan nyawa tidak dilihat sebagai suatu kejadian terpisah, melainkan ‘design’ atau cara Tuhan dalam menggenapi rencanaNya.

Dalam buku ‘Too Many Bosses, Too Few Leaders,’ Rajeev Peshawaria juga menceritakan kisah hidup Howard Schultz yang hidup serba kekurangan. Ayahnya tidak bisa pergi kedokter untuk berobat ketika pergelangan kakinya patah saat bekerja sebagai seorang supir jasa antar barang hingga akhirnya harus rela kehilangan pekerjaan. Schultz waktu itu berusia tujuh tahun dan seringkali mendengar kedua orangtuanya berbicara tentang kesulitan keuangan.

Schultz tidak pernah bisa mengerti mengapa perusahaan ayahnya tidak membantu mereka di saat seperti ini, terutama karena kecelakaan itu terjadi ketika sedang menjalankan tugas. Pengalaman masa kecil itu membentuk nilai hidupnya. Ia kemudian bertekad jika suatu hari nanti mendapat kesempatan memimpin sebuah perusahaan, dia akan membuat perbedaan, bahwa tidak akan memperlakukan karyawan secara semena-mena. Pada usia tiga puluh empat tahun, Schultz memperoleh kesempatan memimpin Starbukcs. Di situlah dia menciptakan perusahaan dimana karyawan diperlakukan dengan adil, tidak seperti perusahaan tempat ayahnya bekerja dulu.

Rahasianya?

Warren Bennis dan Robert J. Thomas menyimpulkan bahwa salah satu indikator yang paling dapat diandalkan mengenai kepemimpinan sejati adalah kemampuan individu untuk menemukan makna dalam suatu peristiwa. Dalam pemaparan dalam buku Personal and Organizational Excellence through Servant Leadership, Dr. Sen Senjaya mengatakan bahwa luka-luka yang kita bawa dari masa lalu menjadi lensa untuk kita menafsirkan dunia. Beberapa bekas luka tersebut cukup traumatis sehingga kita menyembunyikan di relung gelap jiwa kita dan berharap akan tetap tinggal terkunci disana. Tetapi tidak demikian, luka-luka itu bisa keluar dan melompat kembali ke permukaan pada saat datang rangsangan atau pemicu yang tepat.

Karena itu dalam program pengembangan kepemimpinan, tidak bisa tidak, harus memperhitungkan pengaruh masa lalu seseorang. Setiap orang harus sadar bahwa sisi gelap masa lalu memberikan pengaruh yang jauh lebih besar daripada yang disadari terhadap kualitas kepemimpinannya. Pengenalan diri sendiri yang dimaksud tidak bisa dilakukan sendirian. Butuh panduan dari orang lain, khususnya para konselor yang sudah terlatih. Saya sendiri bersyukur karena pernah mengikuti sesi konseling pribadi, satu kali per minggu selama 60 menit dalam satu tahun.

Melalui sesi konseling pribadi seperti itulah, trauma masa lalu bisa berubah menjadi pengalaman penuh makna. Hal itu dapat dimulai dengan mengingat semua kejadian dimasa lalu, baik yang menyenangkan tetapi lebih khusus yang menyakitkan. Secara jujur, ingat, renungkan dan pahami dampak sejumlah pengalaman itu pada diri Anda saat ini. Ingat bahwa kita tidak bisa mengubah pengalaman masa lalu tetapi kita bisa membingkai ulang makna pengalaman itu untuk membangun nilai-nilai dan memantik semangat kita hingga kelak kita menjadi pemimpin kebanggaan keluarga, organisasi dan bangsa.

* Eloy Zalukhu, MBA adalah Director of CAPSTONE Consulting & Sales Institute; Theocentric Motivator, Sales Training Expert; Leadership Coach and Corporate Culture Consultant; Penulis buku best-seller Life Success Triangle & Sales Warrior using RAVE Sales Principles. dan Narasumber tetap program Smart Motivation di radio SmartFM dan Sonora networks.

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »