Prof. Yoyok: Nias Salah Satu Pilar Memahami Budaya dan Peradaban Nusantara

Prof. T. Yoyok Wahyu Subroto saat berpidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar Departeman Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Selasa, 11 Juli 2017 | Dok. Pribadi.

Prof. T. Yoyok Wahyu Subroto saat berpidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar Departeman Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Selasa, 11 Juli 2017 | Dok. Pribadi.

NIASSATU, JAKARTA – Berbagai keunikan dan kekayaan budaya Nias yang saat ini masih ada meski mulai tergerus bahkan hilang di sana-sini seringkali dipahami tak lebih dari sekadar peninggalan zaman dulu belaka atau sekadar objek untuk jualan pada bisnis pariwisata. Tak heran bila komitmen dan partisipasi untuk melakukan pelestarian, baik dari masyarakat maupun pemerintah tak terlihat sebagaimana mestinya.

Prof. Ir. T. Yoyok Wahyu. Subroto, M.Eng., Ph.D. yang sejak 2011 lalu bolak-balik bersama timnya dari UGM dan juga tim peneliti dari beberapa universitas di Jepang ke Desa Bawömataluo untuk melakukan penelitian mengungkapkan hal yang sangat penting. Bahwa, budaya dan peradaban Nias memiliki signifikansi yang jauh lebih besar dari apa yang selama ini disadari, yakni sebagai salah satu pilar penting untuk memahami budaya dan perabadan Nusantara.

“Nias adalah salah satu pilar penting dalam memahami kebudayaan dan peradaban Nusantara. Nias adalah lokus penting yang ada di Nusantara ini sebagai penjaga sekaligus pengawal kebudayaan yang asli dan khas, terlebih aset budaya fisik yang dimilikinya masih menyatu dengan kehidupan masyarakat pemilik kebudayaannya,” ujar Prof. Yoyok dalam percakapan dengan redaksi Nias Satu usai pengukuhan sebagai Guru Besar pada Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada pada Selasa, 11 Juli 2017.

Prof. Yoyok yang memimpin tim ahli UGM dan Jepang untuk melakukan riset di Desa Bawomataluo guna mendukung pengajuan desa itu menjadi warisan dunia di Unesco mengatakan, kebudayaan yang hidup adalah kebudayaan dengan segala unsurnya yang masih dijalankan oleh masyarakat pemilik kebudayaan di tengah perubahan jaman.

“Nias dengan budaya megalitnya konsisten dari sejak lahirnya budaya Nias hingga saat ini. Bahasa Nias masih aktif digunakan, demikian juga kesenian dan tata cara adat budayanya,” jelas dia.

Oleh karena itu, kata dia, “Masyarakat Nias semestinya menyadari semua hal di atas. Artinya memahami apa, bagaimana dan mengapa kebudayaannya perlu dan bahkan penting untuk dilestarikan.”

“Jika hal ini diposisikan sebagai landasan berpikir, maka kebudayaan Nias akan memiliki potensi menjadi pilar peradaban Nias yang bersama dengan pilar kebudayaan lain mendukung hard layer peradaban Nusantara,” tegas dia.

Pada pengukuhannya sebagai guru besar, Prof. Yoyok membawakan pidato dengan judul “Sinergi Arsitektur dan Kearifan Budaya untuk Masa Depan Peradaban Nusantara”. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia menyadari dan menjunjung tinggi keragaman dan kearifan budaya dalam rangka menciptakan dan memperkokoh pilar-pilar peradaban Nusantara terhadap gempuran budaya luar.

Berdasarkan salinan naskah pidato yang diterima redaksi Nias Satu, Prof. Yoyok menyebutkan Nias sebagai salah satu referensi keunikan budaya dan peradaban Nusantara.

Dalam pidatonya, Prof. Yoyok menyinggung mengenai keunikan kearifan lokal dalam masyarakat Proto-Austronesian yang memiliki kesadaran bahwa alam memiliki posisi superioritas terbesar yang tidak mampu untuk ‘dikalahkan’. Kondisi itu, kata dia, telah membawa manusia untuk melakukan proses penyesuaian dengan alam itu sendiri sebagai bentuk ekspresi kearifan lokal (local wisdom). Salah satunya merujuk pada kata ‘banua’ yang digunakan oleh masyarakat Nias dan juga berbagai komunitas di Nusantara hingga Tahiti dan Fiji di Pasifik.

“Waterson (1990) menyatakan bahwa di dalam masyarakat Proto-Austronesian pemahaman kosmologis masyarakatnya terkait dengan ruang hunian dikenal dengan istilah ‘banua’ yang dalam bahasa Austronesia dapat diartikan sebagai tanah, hunian atau desa. Istilah tersebut juga dikenal dalam bahasa Austronesia modern berupa kata wanua dan benuayang memiliki arti rumah maupun kosmos sedangkan di Nias juga muncul istilah banua (Waterson, 1990). Lundstrom-Buurghoorn, 1981 dalam Waterson 1990 menyatakan bahwa banua juga dikenal di Toraja yang berarti rumah, sedangkan di Bugis banua berarti teritori dan di Minahasa wanua berarti desa. Tobing 1956 dalam Waterson 1990 juga menyatakan bahwa di Minandao, Filipina muncul kata banwa berarti kelompok desa, sedangkan banua juga dikenal di Tahiti yang disebut fenoa (pulau) dan di Fiji disebut vanua,”demikian salah satu kutipan dari pidato tersebut.

Prof. Yoyok menjelaskan, gelar profesor telah diberikan secara resmi oleh pemerintah pada Mei 2015. Sedangkan pengukuhannya baru terlaksana pada Juli 2017 berhubung karena dia harus menyiapkan naskah pidato melalui eksplorasi mendalam dalam rangka menyampaikan kebaharuan atau novelty keilmuan.

“Dalam rangka updating data dan informasi, saya harus menyisir lokasi riset di beberapa tempat di Indonesia, termasuk Nias. Selain itu dalam menambah wawasan saya harus ke Thailand, Laos, Vietnam dan Maret lalu harus ke Nepal,” kata dia.

Peduli Nias

Prof. Yoyok juga terus memberikan perhatian pada perkembangan pelestarian dan upaya-upaya penyadaran dan dukungan kepada masyarakat dan pemerintah daerah Nias Selatan dalam menjaga dan melestarikan keunikan budaya dan aristektur Desa Bawömataluo.

Salah satu publikasi ilmiah dari Tim Ahli Pusat Studi Pariwisata, UGM tersebut dalam tiga tahun terakhir adalah tentang keunikan bangunan tradisonal di Desa Bawömataluo dengan judul “Esensi Arsitektur Nusantara Studi Kasus: Bangunan Tradisional di Bawömataluo, Nias Selatan; Malimbong, Toraja Utara dan Bayung Gede, Bali, Indonesia”. Materi yang sama juga disampaikan saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara di Universitas Udayana, 10 Oktober 2013.

Prof. Yoyok juga termasuk salah satu yang menentang keras ide yang pernah muncul untuk mengosongkan desa Bawömataluo untuk dijadikan sebagai destinasi khusus untuk keperluan turisme/pariwisata. (Baca: Ketua Tim Riset Desa Bawömataluo Untuk Warisan Dunia Tolak Relokasi Warga)

Dia juga pernah mengingatkan bahwa kepentingan jangka pendek bisa menggagalkan harapan menjadikan Desa Bawömataluo menjadi warisan dunia. (Baca: Prof. Yoyok: Kepentingan Jangka Pendek Bisa Gagalkan Bawömataluo Jadi Warisan Dunia). (ns1)

 

 

About the Author
  1. Eta Fajar Wiriatmo Daely Reply

    Terima kasih Prof Yoyok atas perhatiannya kepada Nias. Bahkan hari ini rombongan dosen dan mahasiswa Arsitektur FT UGM sudah mulai studi singkatnya di Pulau Nias sampai hari Junat nanti.
    Selamat menjadi Gurubesar di UGM yang juga almamater saya.

Leave a Reply

*

Translate »