PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

Prof. Yoyok: Pembongkaran Rumah Adat Jangan Sampai Menjalar ke Desa Lain

Dr. Yoyok Wahyu Subroto | FB

NIASSATU, JAKARTA – Pembongkaran rumah-rumah adat Nias Selatan di Desa Hiliamaetaniha, Kecamatan Luahagundre, Kabupaten Nias Selatan akibat bencana longsor mendapat sorotan dari Ketua Tim Ahli Jepang – UGM Prof. Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D. yang fokus pada riset dan pelestarian cagar budaya.

Prof. Yoyok mengatakan, terjadinya pembongkaran aset-aset budaya oleh pemilik budaya itu sendiri pada dasarnya sesuatu yang tidak diharapkan dan juga harus dihindari. Sebab, pembongkaran aset budaya ibarat “bunuh diri budaya” atau kehilangan besar yang tidak bisa didapatkan kembali.

“Kejadian yang ada di Hiliamaetaniha merupakan contoh terjadinya “bunuh diri budaya” akibat frustrasinya pemilik kebudayaan atas kondisi yang menimpanya,” ujar dia. ujar Prof. Yoyok kepada Nias Satu, Selasa (12/12/2017).

Dia menjelaskan, membongkar rumah adat yang bersejarah dan punya kenangan turun temurun bagi keturunan pemilik rumah itu bukanlah hal mudah. Mereka pasti berada dalam dilema sebagai pemilik aset budaya dan pada saat yang sama harus bertahan dari pengaruh luar baik secara fisik seperti bencana alam, maupun pengaruh nonfisik.

Prof. Yoyok yakin bahwa para warga desa pasti tidak menghendaki pembongkaran itu. Hal itu terpaksa mereka lakukan sebagai bentuk lain dari penyelamatan aset budaya mereka meski melalui cara yang tidak mereka harapkan.

“Jadi menjadi sangat ironis jika justru pemilik budaya yang menghancurkan budayanya sendiri. Tetapi memang benar, ini juga merupakan fenomena dilematis,” tutur dia.

Prof. Yoyok pun mewanti-wanti agar kejadian di Desa Hiliamaetaniha tidak terjadi di tempat lain. Harus ada antisipasi.

“Semoga tidak menjalar ke Desa Bawömataluo,” tegas dia.

Seperti diketahui, sebelumnya kejadian longsor juga terjadi di salah sisi Desa Bawömataluo. Hal ini dikuatirkan merembet ke bagian utama perkampungan yang berstatus cagar budaya nasional tersebut.

Intervensi Pemda

Karena itu, kata dia, perlu ada intervensi intensif dari pemerintah Kabupaten Nias Selatan dalam memberikan bantuan, baik berupa program, mediasi dengan pihak ketiga maupun dana pemicu perbaikan.

Dari kejadian longsor di Desa Hiliamaetaniha dan di Desa Bawomataluo sebelumnya, Prof. Yoyok mengatakan hal itu menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah dalam menyelamatkan aset-aset budaya daerah.

“Fakta di Desa Hiliamaetaniha merupakan refleksi dari masih lemahnya perhatian dan program Pemda dalam menyelamatkan aset budaya. Faktor tersebut perlu direspons segera dengan program nyata dan implementasinya dengan menggerakkan para pemangku kepentingan pentahelix terkait, yaitu Pemkab, swasta, masyarakat, akademisi dan media. Aspek budaya perlu diprioritaskan dalam program-program Pemkab,” tegas dia.

Sebagai upaya penanganan dan sekaligus antisipasi masalah serupa di desa-desa adat lainnya, maka pemerintah perlu melakukan penguatan dan memperkuat dukungan lahan pertapakan perkampungan tradisional maupun rumah-rumah adat.

“Perlu segera dibangun turap batu mengelilingi desa,” ucap dia.

Prof. Yoyok sendiri sejak Agustus 2011 bersama timnya sudah bolak-balik melakukan penelitian, edukasi masyarakat dan pendampingan kepada Pemkab Nias Selatan terkait pelestarian cagar budaya, khususnya di Desa Bawömataluo. Riset yang dilakukan bersama para ahli dari Jepang tersebut juga diarahkan sebagai dukungan ilmiah bagi pengajuan desa tersebut sebagai warisan dunia. Diharapkan, upaya pelestarian cagar budaya di desa Bawomataluo menjadi percontohan untuk dilakukan di desa-desa tradisional lainnya di Pulau Nias.

Seperti diberitakan sebelumnya, tujuh rumah adat Nias Selatan berusia ratusan tahun di Desa Hiliamaetaniha, Kecamatan Luahagundre terpaksa dibongkar karena posisinya miring atau rusak akibat ambasnya lahan pertapakan karena longsor setelah hujan selama dua bulan terakhir. (Baca: 7 Rumah Adat Berusia Ratusan Tahun di Nias Selatan Dibongkar) (ns1)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »