PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

5 Desa Adat di Nias Selatan Ini Rawan Bencana, Segera Lakukan Pencegahan

Direktur Museum Pusaka Nias Nata’alui Duha | MPN

NIASSATU, NIASSELATAN – Semua pihak, khususnya pemerintah daerah dan warga di lima desa adat diminta mewaspadai terjadinya bencana longsor di desa-desa adat atau kerusakan pada rumah-rumah adatnya karena bencana alam maupun yang lainnya dengan melakukan antisipasi dini.

Hal itu guna menghindari agar kejadian yang menimpa Desa Hiliamaetaniha dan rumah-rumah adatnya tidak terjadi lagi di desa-desa adat lainnya.

Direktur Eksekutif Museum Pusaka Nias Nata’alui Duha mengatakan, total ada lima desa adat di Kabupaten Nias Selatan yang rawan mengalami bencana longsor seperti terjadi di Desa Hiliamaetaniha karena posisinya di perbukitan. Kerawanan itu makin nyata seiring kondisi cuaca, khususnya hujan, yang sering terjadi secara ekstrim. 

“Lima desa itu adalah Desa Bawömataluo, Desa Hiliamaetaniha, Hilinawalö Fau, Onohondrö, dan Hilinawalö Mazinö,” ungkap Nata’alui kepada Nias Satu, Rabu (13/12/2017).

Seperti diketahui, sebelumnya telah terjadi longsor di sisi Desa Bawömataluo dan yang lebih parah terjadi di Desa Hiliamaetaniha, Kecamatan Luahagundre, Kabupaten Nias Selatan  yang menyebabkan kerusakan dan kemiringan pada sejumlah rumah adat dan akhirnya terpaksa dibongkar. (Baca: 7 Rumah Adat Berusia Ratusan Tahun di Nias Selatan Dibongkar)

Dia mengakui, kekuatiran mengenai kondisi desa-desa itu bukan saat ini saja sejak terjadinya longsor pada salah satu sisi Desa Bawömataluo dan yang paling berat di Desa Hiliamaetaniha. 

Dia mengungkapkan, pascagempa dahsyat berkekuatan 8,7 SR melanda Pulau Nias pada Maret 2005, pihaknya telah mengingatkan kepala daerah Nias Selatan yang saat itu masih dijabat Fahuwusa Laia agar melakukan antisipasi karena gempa itu berpotensi menyebabkan kelemahan pada struktur tanah.

“Setelah gempa kita sudah menyuarakan hal itu. Saat itu kepala daerah masih Fahuwusa Laia. Tapi pada pemerintah sekarang, belum (disampaikan, red),” papar dia.

Dia juga mengakui bahwa tiga dari tujuh rumah adat yang dibongkar di Desa Hiliamaetaniha beberapa hari lalu merupakan rumah adat yang pernah mendapat bantuan melalui Museum Pusaka Nias (MPN) untuk direhab.

Terkait kejadian di Desa Hiliamaetaniha, Nata’alui mengakui pihaknya belum melakukan sesuatu untuk membantu karena keterbatasan yang mereka miliki. “Tentu saja (akan melakukan sesuatu, red). Cuma kami belum memiliki kekuatan sekarang (untuk melakukannya, red),” jelas dia.

Bisa Dilakukan Segera

Dia juga mengatakan, daripada menunggu pemerintah daerah, warga desa agar melakukan apa yang mereka bisa lakukan untuk mengantisipasi keamanan desa-desa mereka.

“Sekarang ada dana desa yang bisa digunakan untuk pembangunan drainase dan dam. Bisa juga dengan menanam pohon agar tak lagi terjadi longsor. Itu bisa dilakukan. Kalau menunggu Pemda, saya pesimis,” ucap dia.

Dia menegaskan, selain bencana alam, juga perlu dilakukan antisipasi terjadinya bencana karena ulah manusia sendiri, misalnya kebakaran.

“Ini lebih ngeri lagi. Di buku saya Omo Niha telah saya tuangkan pemikiran tentang penataan desa adat ini. Tidak bisa dibayangkan kalau Bawömataluo dan desa-desa lain terbakar, dari listrik, api dapur dan lain-lain,” ingat dia.

Dia menambahkan, tanpa upaya pencegahan kerusakan pada desa-desa itu, termasuk pencegahan terjadinya bencana longsor, maka semua hal yang dibicarakan tentang pelestarian cagar budaya dan penjualan (pemasaran) destinasi pariwisata cuma omong kosong belaka.

“Jualan omong kosong, tanpa penataan destinasi dan edukasi warga di sekitar destinasi,” tutup dia. (ns1)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »