Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pilkada
Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö*
Pilkada serentak sebanyak 171 di beberapa provinsi maupun kabupaten/kota di wilayah Indonesia pada 2018 tinggal beberapa bulan lagi. Para calon kepala daerah/wakil kepala daerah berupaya keras untuk memperkenalkan diri di antaranya melalui media sosial, spanduk, sosialisasi agar hati masyarakat berpihak kepadanya dan memilihnya pada hari H.
Upaya sosialisasi oleh calon Kepala Daerah maupun tim suskses, selain kepada masyarakat umum, juga mensosialisasikan diri kepada anggota Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka beranggapan, bahwa anggota ASN mempunyai pengaruh yang cukup signifikan di masyarakat.
Padahal ada dua peraturan yang melarang ASN terlibat dalam politik praktis. Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 53 tahun 2010, tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 4 ayat 15 huruf a, b, c dan d (larangan memberikan dukungan kepada calon Kepala Derah/Wakil Kepala Daerah) dan UU RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 2 huruf f, yaitu “Netralitas”. Dalam penjelasan ayat 2 huruf f menerangkan: “Yang dimaksud dengan asas netralitas adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun”. Namun, fakta di lapangan terkait implementasi kedua peraturan tersebut jauh dari semestinya.
Hal ini memunculkan pertanyaan. Apakah netralitas ASN dapat menjamin kelangsungan kariernya setelah pilkada selesai? Apakah kepala daerah terpilih akan menghargai ASN yang netral atau dianggap tidak punya andil? Apakah ASN yang netral akan merasa tenang, aman setelah pesta demokrasi di daerahnya selesai? Atau sebaliknya mereka terancam karena dianggap tidak memberi dukungan moril maupun material kepada kepala daerah terpilih? Apa kata tim suksesnya? Dan seterusnya. Mari kita renungkan jawabannya.
Apalila diamati, secara umum ada dua pendapat yang memengaruhi ketenangan ASN setiap pilkada. Yaitu: Pertama, para calon Kepala Daerah berusaha keras mencari dukungan dari ASN karena ASN dianggap tokoh masyarakat dan bisa memengaruhi pemilih, minimal keluarga besar dan familinya. Kedua, oknum ASN sendiri yang berinisiatif secara diam-diam dan/atau terang-terangan mendukung salah satu calon atau lebih dengan harapan bisa mendapat jabatan yang strategis apabila yang ia dukung menang. Oknum ini tidak peduli pada peraturan yang ada, bahkan ia tidak segan-segan mempengaruhi teman ASN lainnya dan kadang menakut-nakuti.
Kaki Dua
Seperti kata pepatah, “kepalang basah, basah semua.” Untuk mengejar cita-citanya oknum ASN tertentu tidak hanya mendukung salah satu kontestan Pilkada, tetapi juga memberikan dukungan kepada pasangan lain yang elektabilitasnya tinggi. Dia memprediksi, bila salah satu dari yang dia dukung itu menang, maka posisinya aman. Apabila selama ini ia punya jabatan tidak tergeser atau tidak naik-naik, syukur-syukur dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi atau pada jabatan yang strategis seperti: Dinas PU, Dinas Pendidikan, BPKPAD, dll. Jika belum punya jabatan akan mendapat jabatan sesuai deal-deal sebelumnya.
Dukungan tidak sebatas kata-kata, melainkan turut membantu pendanaan biaya operasional para calon yang didukung. Mereka berhitung dalam satu tahun sudah pulang modal. Malah ada di antara mereka yang meminjam uang untuk memenangkan idolanya. Hebat! Tidak peduli punya utang, tidak peduli melanggar aturan, tidak peduli perasaan temannya ASN/kawan/famili dan tetangga. Kelompok ini biasanya oknum ASN yang tidak punya jabatan, pernah diberi teguran disiplin, tidak loyal, integritas rendah, kinerja rendah, malas, dll. Mereka berpikir, siapa tahu karirnya bisa naik apabila yang didukungnya menang. Bayangkan akibatnya bila orang seperti ini diberi jabatan strategis.
Namum, ada yang lebih ambisius lagi. Ceritanya begini. Pada Pilkada Kabupaten Nias pada 2006, ada lima pasang calon. Waktu itu saya Kaban Kesbangpol dan Linmas yang salah satu tugasnya memantau Pilkada yang sedang berlangsung. Saat itu staf melaporkan kepada saya bahwa ada oknum PNS yang mendukung tiga pasang calon. Awalnya saya tidak percaya, akan tetapi setelah memantau dan mengikuti gerak-gerik oknum PNS tersebut dan mencocokkan informasi dari berbagai sumber, ternyata mendekati kebenaran bahwa ia mendukung secara sembunyi-sembunyi tiga pasang calon secara moral maupun material, dengan cara menempatkan orang kepercayaannya pada masing-masing tim sukses. Sejak itu mulai ada istilah baru yaitu: ”kaki tiga“. Kalau “kaki dua” masih bisa tumbang sedangkan “kaki tiga” kokoh.
Setelah dicermati dengan seksama mengapa ia mendukung tiga pasang calon, alasannya sederhana, yaitu: selain agar jabatannya tetap bertahan, ketiga calon tersebut 2 (dua) pasang di antaranya masih atasannya (incumbent) serta yang 1 (satu) pasang lagi mantan atasannya, sehingga ada faktor pengaruh psikologis. Kendatipun demikian, ada tersirat keanehan dalam sikap oknum PNS tersebut, yaitu loyalitas ganda dan kurang mampu membedakan antara pekerjaan dinas dengan pribadi, hingga menempuh segala cara untuk mempertahankan jabatannya.
Hasilnya dari tiga pasang yang didukungnya, satu pasang diantaranya menang. Selamat dan gembiralah dia serta tetap pada jabatan esolon dua sampai pensiun. Malah saat Pilkada tersebut, juga ada seorang oknum camat ikut kampanye salah satu pasangan calon dan mengkampanyekan agar memilih si A. Sampai sekarang tidak ada teguran kepada oknum camat tersebut, malahan kariernya melejit setelah yang ia dukung menang. Hal serupa itu juga pernah terjadi di Pilkada di salah satu daerah di Pulau Nias dimana ada ASN yang diduga memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon Kepala Daerah. Karena calon yang didukungnya menang, maka sebagai imbalannya ia mendapat jabatan yang sangat strategis di Pemda itu.
ASN yang Netral
Harus diakui masih banyak ASN yang netral, taat hukum dan profesional. Pertanyaannya ialah: Bagaimana kareir mereka setelah pesta demokrasi lokal di daerah? Apakah mereka mendapat jabatan sesuai dengan keahliannya? Apakah mereka diterima begitu saja oleh pemenang sementara belum menanam saham? Apakah tim sukses dapat menerima mereka? Dan masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan.
Saya belum melakukan penelitan tentang hal ini, namun sesuai pengamatan sementara dan fakta di lapangan, karir mereka yang netral, taat hukum dan profesional kadang “tidak jelas.” Jikapun mereka mendapat jabatan biasanya hanya ”sisa-sisa” dari tim sukses/pendukung. Mengapa? Mereka dianggap abu-abu, mereka dituduh tidak berkeringat, mereka digolongkan penumpang gelap, mereka disebut penakut, mereka itu tidak punya andil, dll. Masih banyak lagi tuduhan-tuduhan miring kepada mereka. “Kasihan” adalah kata yang pantas diucapkan untuk mereka.
Faktanya, mereka yang mendukung secara moral dan material bupati terpilih, itulah yang diutamakan, malahan karir mereka melejit seperti oknum camat di atas. Apalagi sebelumnya sudah ada deal-deal bahwa si A, B, C, dan D ditempatkan pada jabatan ini dan itu, apabila komitmen ini dilanggar bisa terjadi keributan. Pun pula, dalam penempatan pada jabatan tidak berdasarkan “the right man on the right place”, melainkan berdasarkan balas jasa dan budi. Kualitas, integritas, loyalitas, taat hukum, profesional dinomorduakan, malah dikesampingkan.” Akhirnya, ASN yang netral dan berkualitas, tinggal gigi jari dan menjadi penonton setia. Setelah bosan menonton, mereka minta pindah atau minta pensiun dini. Sekali lagi, kata yang tepat untuk mereka adalah”kasihan.”
Dukung-mendukung pada pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tidak hanya ASN yang bertugas/dinas di Kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada, melainkan ada juga ASN yang dinas di kabupaten/kota yang lain, namun ASN yang bersangkutan berasal dari kabupaaten/kota yang sedang melaksanakan pesta demokrasi lokal.
Sebagai contoh kasus. Pada salah satu Pilkada di Pulau Nias pada 2015 lalu, pernah terjadi dimana ada beberapa ASN putra/i daerah itu yang berdinas di daerah lain, datang dan berkampanye untuk salah satu pasangan calon. Salah satu di antaranya adalah profesor/guru besar berstatus ASN dosen di salah satu perguruan tinggi di wilayah Sumatera, ikut berkampanye di atas panggung dan memberi dukungan kepada salah satu pasangan calon.
Hal itu, selain melanggar PP RI Nomor 53 tahun 2010 dan UU RI Nomor 5 tahun 2014, juga bertentangan dengan UU RI Nomor: 8 Tahun 2015 Yo UU RI Nomor: 10 tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor: 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor: 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang Undang pasal 70 ayat(1) huruf b, berbunyi: Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan: Aparatur Sipil Negara, anggota POLRI, dan anggota TNI.
Kendatipun demikian sampai sekarang belum ada kabar bahwa oknum ASN tersebut ditegur oleh atasannya. Memang dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Juga dalam politik tidak ada yang gratis. Tentu biaya omongan itu mahal. Semoga ia sudah mendapat imbalannya.
Dilema Posisi ASN
Mencermati uraian di atas, ASN kadang kala berada dalam posisi dilema. Maju kena – mundur kena, kiri – kanan susah, bawah – atas berat. Ibarat buah simalakama. Mendukung salah satu atau lebih pasangan calon berarti melanggar hukum. Tidak mendukung salah satu calon berarti netral dan siap-siap tersingkir karena dianggap tidak punya andil. Ibarat gajah berkelahi dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Atau ibarat membendung banjir hanyut sendiri. Kondisi ini yang mendorong ASN berpihak kepada salah satu pasangan calon Kada atau lebih, apalagi kalau dalam dirinya sudah ada benih ambisi jabatan, maka segala cara dihalalkan supaya mereka tetap punya jabatan.
Untuk itu, agar ASN sebelum, saat dan sesudah Pilkada merasa tenang dan ada kepastian hukum serta tidak ada pembiaran bagi yang tidak netral, perlu langkah- langkah sebagai berikut:
Pertama, ASN yang tidak netral, kasusnya jangan hanya berdasarkan laporan Panwas, karena Panwas juga kadang tidak netral.
Kedua, ASN yang ikut kampanye secara langsung, hendaknya tidak hanya menunggu laporan Panwas, karena Panwas hanya memberikan waktu tiga hari untuk membuktikan laporan, setelah itu daluwarsa. Laporan dan bukti dari masyakat perlu diperhatikan, daluwarsanya disesuaikan menurut ketentuan dalam KUHP pasal 76 sampai 85, agar ada efek jera.
Ketiga, bagi ASN yang diduga berpihak kepada salah satu pasangan calon atau lebih, proses penyelidikannya tidak lagi oleh Panwas, karena Panwas di Kabupaten/kota sumber daya manusianya terbatas, melainkan langsung ditangani oleh penyidik pada Polres setempat. Kasusnya tidak boleh berhenti setelah selesai pilkada, harus diusut sampai tuntas.
Keempat, Apabila hasil penyelidikan mengarah pada tindakan disiplin ASN, maka penjatuhan hukum disiplinnya harus diawasi dan jangan hanya diserahkan saja kepada Kepala daerah. Sebab, bisa saja Kepala Daerahnya tidak memberikan hukuman disiplin, karena ASN tersebut adalah pedukungnya (seperti oknum camat di atas). Gejala inilah yang membuat banyak ASN pesimis.
Kelima, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang mandiri dan bebas dari intervensi politik, segera bergerak, bekerja dan jangan hanya di atas kertas dan mati fungsi, sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 5 tahun 2014 pasal 28 sampai pasal 42. Hal ini sangat mendesak karena ASN belum jera memberi dukungan kepada calon Kada, apalagi dalam UU Nomor 10 tahun 2016 kurang tegas sanksi bagi ASN yang terbukti memberi dukungan kepada calon Kada.
Pelayanan masyarakat hanya bisa maksimal, kalau dalam proses pilkada ASN berada dalam posisi netral. Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada membuat mereka memandang masyarakat terkotak-kotak. Masyarakat yang dulu seperjuangan dengannya itulah yang mendapat prioritas dalam pelayanan. Hal ini nampak dalam pembagian bansos, pupuk, proyek, dll. Apabila ini yang terjadi, maka tujuan suci Pilkada telah ternoda oleh tindakan ASN yang tidak netral itu. Akhirnya, daerah tidak semakin berdaya tetapi diperdaya. Sebab sejatinya kita menginginkan ASN yang netral, tidak hanya sebatas aturan normatif, namun sungguh netral selama pelaksanaan Pilkada. (ns1)
*) Penulis adalah Pemerhati Birokrasi di Pulau Nias; Bupati Kabupaten Nias Barat periode 2011-2016