Membangun Dengan Hati: Kerja Nyata Bukan Janji Manis

Adrianus Aroziduhu Gulo | Dok. Pribadi

Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö*

Membangun suatu daerah tidaklah segampang sebagaimana dibayangkan banyak orang. Apalagi daerah otonomi baru yang masih memerlukan pembenahan total. Membangunnya tidak hanya fokus pada infrastruktur saja, melainkan perlu membangun keseimbangan dengan bidang lain, seperti ipoleksosbudhankam (ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan) serta lingkungan hidup dan mental-spritual. Tujuannya, agar out put dari pembagunan tersebut bisa diterima, dinikmati sekaligus dapat memberdayakan masyarakat lokal.

Menurut Prof. Gunawan Sumodingrat, Ph.D. dan Ari Wundari, S.S., MA. dalam buku Membangun Indonesia Dari Desa (Media Pressindo, 2016: 96 – 97) mengatakan, bahwa “Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya pemihakan, penyiapan dan perlindungan untuk menjadi rakyat berdaya”. Mereka kemudian menjelaskan beberapa maksud dari rakyat berdaya, yaitu:

Pertama, rakyat yang mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, mereka yang bisa menghasilkan dan menikmati produk yang dihasilkan, mereka harus bisa menikmati apa yang mereka hasilkan.

Kedua, rakyat yang berdaya saing, rakyat yang bisa menentukan dirinya sendiri, rakyat yang mempunyai kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, menikmati dan melestarikan apa yang telah dihasilkan.

Ketiga, rakyat yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dihasilkan, bagaimana melaksanakan agar yang direncanakan berhasil dan menjadi produk, rakyat yang dapat melestarikan produknya serta mewariskan ke generasi berikutnya….

Pendapat kedua pakar di atas hanya bisa terlaksana, apabila pembangunan digerakkan dengan hati atau membangun dengan hati, yakni dengan integritas mumpuni. Membangun  dengan hati berarti membangun secara tulus ikhlas, kerja keras, melibatkan masyarakat pada setiap tahap perencanaan, rasa tanggung jawab yang tinggi, ada rasa memiliki. Bukan hanya itu, perlu memperhatikan dimensi solidaritas yang menjadi bagian integral dalam masyarakat. Dan lebih penting lagi, tidak berpikir berapa yang didapat tiap tahun/bulan (gaji-honor). Apabila masih berpikir tentang gaji/honor, apa bedanya dengan kuli zaman Belanda?

Selanjutnya derita masyarakat dirasakan tanpa banyak kata, janji dan slogan. Membangun dengan hati jauh dari pujian, popularitas, penghargaan, pesta pora, tebar pesona, pencitraan, dll.  Bahkan, sebaliknya, sering dihina, difitnah, diejek, di-bully, disingkirkan, dll. Membangun dengan hati tidak analog dengan bantuan, subsidi apalagi gratis, yang sering dikumandangkan oleh beberapa calon kepala daerah dan calon legislatif yang senang dan suka berjanji kepada rakyat. Mereka tidak sadar bahwa janji gratis itu seperti bodreks, parasetamol, dan antalgin yang hanya menglilangkan rasa sakit, sementara sumber penyakitnya tidak disembuhkan.

Slogan Berdaya

Masih segar diingatan isu stategis yang ditawarkan oleh salah satu pasangan calon saat kampanye di Kabupaten Nias Barat, yaitu: Nias Barat Berdaya (maaf, Penulis tidak menyebut Fakhe, karena hanya membuat Nias Barat terkotak-kotak, walaupun masih ada beberapa orang yang tetap mempertahankan eksistensi Fakhe).

Slogan berdaya tersebut menjadi sumber dan dasar inspirasi bagi eksekutif dan legislatif dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2017 s/d 2022. RPJMD itu telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Nias Barat tanpa banyak komentar, begitu mulus proses pengesahannya dan jauh dari kesulitan. Sepertinya “pihak eksekutif telah memahami dan membaca isi hati DPRD.” Kesepahaman ini patut diberi apresiasi, karena hal semacam ini jarang terjadi sebelumnya. Lain saat pembahasan RPJMD tahun 2011 s/d 2016, sangat alot dan baru ada persetujuan DPRD pada Maret 2013, hampir dua tahun tertunda.

Sesungguhnya, slogan Nias Barat berdaya bukan fatamorgana, ilusi, angan-angan, apalagi sebagai pajangan yang ditulis pada spanduk, baliho, pamflet, mobil truk bantuan dari  pusat, dll. Melainkan suatu tekad suci, arah, tujuan, pedoman yang telah ditetapkan dalam RPJMD untuk mewujudkan Nias Barat yang bermartabat, punya harga diri, bermoral, taat azas dan hukum dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Mulai dari bupati/wakil, seluruh aparat pemerintah memberi contoh kepada masyarakat dengan pola hidup sederhana, jujur, transparan, adil, menerima saran, tidak alergi kritik.

Sekarang kepemimpinan kepala daerah Kabupaten Nias Barat sudah masuk tahun ketiga. Karena itu beberapa pertanyaan perlu diajukan. Di antaranya, apakah rakyat telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri? Apakah rakyat telah memiliki daya saing? Kalau sudah puji Tuhan! kalau belum kenapa? Apakah kebijakan dalam penetapan APBD berpihak serta dapat meningkatkan  pemberdayaan masyarakat? Apakah dinas terkait telah memrogramkan dalam anggarannya dan turun ke lapangan untuk memberi pendampingan kepada masyarakat? Apakah pupuk gratis, bibit unggul, benih unggul telah didistribusikan kepada masyarakat yang berhak dan merata tanpa pilih kasih? Atau, sebaliknya, biaya operasional para pejabat yang diutamakan? Dan masih banyak lagi yang bisa dipertanyakan.

Untuk melihat apakah masyarakat Nias Barat sudah berdaya atau sekurang-kurangnya mulai ada gejala, selain yang  telah ditetapkan kriteria dan ukurannya dalam RPJMD 2017-2022, agar lebih fair play (jujur dan adil) hendaknya kita membaca kembali pendapat Gunawan Sumodingrat dan Ari Ariwundari dalam buku yang sama yang telah diulas di atas agar jauh dari penilaian sepihak dan tidak terjadi dusta di antara anak bangsa.

Bukan Kemunduran  

Salah satu kekurangan manusia adalah cepat lupa atau sengaja lupa. Obatnya, tidak perlu ke dokter, melainkan cukup melatih diri jujur, mengingat-ingat pengalaman indah, manis maupun pahit, dan sumpah/janji saat dilantik, untuk dijadikan bahan evaluasi demi perbaikan, terutama menyangkut tekad, janji dan slogan yang pernah ditawarkan kepada masyarakat. Cara berpikir seperti ini bukanlah kemunduran akan tetapi suatu bentuk tanggung jawab hukum maupun moral  kepada sesama anak bangsa.

Agar slogan Nias Barat Berdaya semakin menjadi kenyataan, diharapkan kepada para pejabat, selain memedomani RPJMD, perlu mengingat kembali beberapa pokok pikiran dan janji manis saat kampanye. Apabila lupa, bisa minta tolong kepada KPUD Nias Barat untuk di-review, dan/atau tim sukses mengingatkan. Apalagi karena pada saat kampanye terbuka saat kontestasi ada beberapa tokoh nasional, mantan pejabat eselon dua dan bahkan guru besar berstatus ASN ikut berkampanye. Mereka ini memiliki tanggung jawab moral untuk mengingatkan mereka yang didukung. Ini penting, selain agar tidak dicap lupa janji, cuma retorika, mati rasa dan atau dianggap berbohong oleh masyarakat.

Sepatutnya tim sukses dan juru kampanye mempunyai tanggung jawab moral mendampingi dan mengingatkan para pejabat, agar konsisten pada apa yang sudah diucapkan serta dijanjikan kepada masyarakat. Pendampingan ini penting, selain sebagai dukungan moral, juga agar tidak memberi kesan buruk kepada para tim sukses atau juru kampanye di mata masyarakat.

Kata yang Dipegang

Pengamat politik dari UIN Jakarta, Pangi Syarwi Caniago mengatakan, bahwa ”pemimpin itu sederhana”, yang dipegang kata-katanya dan perbuatannya, apakah sejalan atau plin-plan, ngak jelas, pagi tahu, sore tempe. Sangat berbahaya pemimpin yang hipokrit tersebut.” (jpnn.com).

Kepercayaan masyarakat kepada Pemkab Nias Barat dapat meningkat jika janji 10 program  unggulan dapat dilaksanakan. Salah satu diantaranya, yaitu pembangunan jalan dari ibukota kabupaten ke ibukota kecamatan dengan konstruksi hotmix dan dari kecamatan menuju desa desa dan lokasi terisolir dengan konstruksi lapen (janji nomor 8). Pada saat kampanye dikumandangkan bahwa jalan-jalan tersebut akan selesai dibangun paling lama dalam dua tahun.

Pembangunan jalan khususnya dari ibu kota kabupaten menuju ibu kota kecamatan, tidak terlalu berat lagi, karena sejak tahun 2013 s/d 2015 sudah mulai pekerjaan pengerasan, bahkan ada beberapa kilometer telah diaspal hotmix. Artinya, tinggal meneruskan penyelesaiannya. Apalagi pada APBD tahun 2016 telah menampung anggaran beberapa ruas jalan tersebut (lihat Perbup Nomor 3 Tahun 2016, halaman 35).

Contohnya, peningkatan ruas jalan  O’o – Lasarafaga (ibu kota Mandehe Barat) – Gunung Baru sebesar Rp. 12.960,741.000,00 dengan nomor rekening: 1.03.1.03.01.35.01.5.2.3.21.01. Sedangkan pada PAPBD tahun 2016, maaf Penulis tidak punya data lengkap, mudah-mudahan besarannya tidak berubah. Namun menurut informasi, selain ruas jalan O’o – Lasarafaga-Gungung Baru putus kontrak, juga jalan-jalan yang menuju ibukota kecamatan yang lain sudah putus kontrak.

Pada saat diskusi terbatas dengan beberapa tokoh masyarakat Nias Barat, mereka mengandaikan bahwa:

Pertama, kenaikan SPPD Pemkab Nias Barat tahun 2016 sebesar Rp 17.623.820.860,000 bila digunakan untuk membangun jalan O’o – Lasarafaga (ibukota Kecamatan Mandehe Barat) bisa selesai (Sesuai LHP Laporan Keuangan Pemkab Nias Barat nomor: 65.A/LHP/XVIII.MDN/07/2017, Tanggal 12 Juli 2017, hal 93).

Kedua, kenaikan TTP PNS tahun 2016 sebesar  Rp 11.252.736.768 bila digunakan untuk membangun jalan Simpang Desa Sianaa – Lawelu (ibukota Kecamatan Ulu Moro’ö) bisa selesai. (Sesuai LHP Laporan Keuangan Pemkab Nias Barat Nomor: 65.A/LHP/XVIII.MDN/07/2017/ 2017, Tanggal 12 Juli 2017, halaman 91).

Ketiga, penunjukkan langsung (PL) pada PAPBD tahun 2016 sebesar Rp 11.000.000.000,00 (penjelasan Kepala BPKPAD saat RDP dengan DPRD) bila difokuskan dan digunakan untuk membangun jalan dari Desa Tetehösi – Desa Hilifadölö (ibukota Kecamatan Moroo) dapat selesai. Di ruas jalan ini, tepatnya di dusun Lawinda desa Gunung Baru, karena kondisi jalannya rusak, ada beberapa masyarakat jatuh dari motor, bahkan ada seorang siswa jatuh dari motor dan patah kakinya. Anak itu sampai naskah ini ditulis belum sembuh dan diperkirakan tidak bisa ikut USBN tahun 2018.

Mereka menilai bahwa Pemda Nias Barat lebih mementingkan biaya operasional, kesejahteraan PNS, studi banding dan PL dari pada kepentingan masyarakat banyak. Mereka bertanya, kalau begini kapan masyarakat berdaya? Ini sudah tahun ketiga, kapan lagi? Mereka berharap Pemda membangun dengan hati.

 

*) Penulis adalah Pemerhati Birokrasi di Pulau Nias; Bupati Kabupaten Nias Barat periode 2011-2016

About the Author
  1. Yosafati Gulo Reply

    Maju tidaknya suatu daerah pasti sangat tergantung pada pimpinannya. Jika pimpinan memang benar-benar punya niat membangun, maka kesulitan yang ada pasti dicari solusi, termasuk memangkas anggaran untuk biaya perjalanan dinas. Hal berikutnya ialah, pemimpin yang benar-benar mau membangun masyarakat di wilayahnya berdasarkan janji-janji kampanye, sudah pasti merasa malu kalau tidak mengusahakan perwujudannya sekuat tenaga. Salah satu indikatirnya ya pengelolaan anggaran. Jangan sampai angaran untuk kepentingan pejabat lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Jika tidak demikian, maka saya kira pemimpin yang demikian bukanlah pemimpin yang tepat bagi sebuah daerah otonomi baru.

    Pada titik ini, saya setuju dengan penulis bahwa anggota tim sukses, para juru kampanye yang kebanyakan dari tokoh-tokoh Nias Barat perlu mengingatkan pimpinan daerah. Bagaimana pun mereka turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Jangan sampai ada yang cuci tangan, pura-pura lupa atau melupakan karena tendensi yang tidak profesional.

    Salam dari saya

Leave a Reply

*

Translate »