Korupsi Ketuk Palu, Modus Klasik yang Tetap Membaru
Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö*
Pada berita beberapa media online dan surat kabar SIB tanggal 1 April 2018 halaman 1 dengan judul “Kena Bareng, 38 Anggota DPRD Sumut 2009 – 2014 Jadi Tersangka di KPK”. Ke-38 anggota DPRD Sumut tersebut diduga menerima suap dari mantan gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.
Penetapan mereka sebagai “tersangka baru” terkait dalam kasus, antara lain: ketuk palu penetapan APBD Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2013, persetujuan LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) Gubernur Sumatera Utara tahun 2012-2014, persetujuan PAPBD Provinsi Sumut tahun 2013-2014, pengesahan APBD tahun 2014-2015 dan uang penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut tahun 2015 (bdk: https://www.voaindonesia.com)
Kondisi ini sungguh memprihatinkan dan mengganggu rasa keadilan masyarakat serta menjadi catatan hitam dalam sejarah pemerintahan Provinsi Sumatera Utara yang tidak akan terlupakan. Di tengah-tengah penderitaan rakyatnya, pejabat Provinsi Sumatera Utara dengan beberapa anggota DPRD mengadakan pesta bagi-bagi uang untuk kepentingan pribadi, sementara masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan pemerintah malah terabaikan. Selain rasa keadilan dan akal sehat dikesampingkan, juga mempertontonkan gaya hidup hedonisme.
Sampai artikel ini ditulis, ternyata sudah 50 orang anggota DPRD Sumut yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dari jumlah itu sudah 12 orang telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tipikor Medan. Bila dihitung persentasenya, maka sudah 50% dari anggota DPRD sumut yang jumlahnya 100 orang diduga terlibat korupsi. Tidak tertutup kemungkinan masih ada lagi anggota dewan atau mantan anggota dewan akan ditetapkan tersangka lagi oleh KPK. Pesta bagi-bagi uang ini, merupakan contoh pengelolaan pemerintahan yang buruk, karena itu daerah lain tidak perlu menirunya.
Dampak yang Tersirat
Sebagai warga Sumatera Utara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, apa yang terjadi di atas sangat memalukan. Di tengah-tengah pemerintah lagi giat-giatnya memberantas korupsi di segala bidang kehidupan, justru Pemda Sumut saat itu tidak menghiraukannya. Dampaknya secara langsung maupun tidak langsung ada beberapa pembangunan di Sumut terbengkalai, terlupakan, terabaikan. Akibatnya, masyarakat dirugikan karena tidak mendapat pelayanan yang maksimal. Kepulauan Nias sebagai bagian integral Provinsi Sumatera Utara sangat merasakan pelayanan yang tidak maksimal, terutama dalam pembangunan infrastruktur jalan/jembatan provinsi yang ada di wilayah Kepulauan Nias.
Kondisi jalan/jembatan provinsi yang ada di wilayah kepulauan Nias sangat memprihatinkan. Apabila melewati jalan provinsi jalur Nias Tengah, mulai dari kilometer 10 sampai di Kecamatan Sirombu Kabupaten Nias Barat dan dari Sirombu menuju Kecamatan Lolowa’u, Kabupaten Nias Selatan serta dari Simapang tiga di Desa Tuhembuasi, Kecamatan Moi Kabupaten Nias Barat menuju Kecamatan Lolowa’u dan Kecamatan Amandaya Kabupaten Nias Selatan, banyak badan jalan patah dan turun antara 30 cm sampai 1,5 meter ke dalam dari permukaan jalan. Tidak hanya itu, ada beberapa pinggir jalan longsor dan hampir memutus badan jalan, serta bikin pening menghitung berapa lubang sepanjang ketiga ruas jalan tersebut.
Kerusakan jalan itu membuat pengendara roda empat maupun roda dua, sering turun dari kendaraan untuk memastikan apakah roda kendaraan bisa lewat pada jalan yang rusak yang diperbaiki oleh para pemuda setempat. Selain itu, para pengendara sering bertengkar dengan para pemuda setempat karena sering mematok sekian rupiah agar bisa melewati jalan yang diperbaiki. Bila ada jalan alternatif pasti masyarakat tidak akan lewat jalan yang rusak itu. Dengan penuh kehati-hatian serta kekhawatiran akan kecelakaan mereka lewat juga, pasrah pada Tuhan yang Maha Penolong. Kondisi jalan inilah yang membuat harga kebutuhan pokok di wilayah ini tinggi, sementara harga hasil bumi seperti getah/karet hanya sekitar Rp 6.000 per kg.
Bisa jadi ke-50 orang anggota DPRD Sumut tersebut tidak pernah lewat pada ketiga ruas jalan itu, atau pura pura tidak tahu, pura pura lupa. Akan tetapi upeti dari mantan Gubernur Gatot Pudjo Nugroho tidak dilupakan dan selalu diingatkan pada saat saat pembahasan APBD/PAPBD dan pembahasan LKPJ serta penggunaan hak interpelasi. Sunguh jauh dari rasa malu.
Tidak Berhenti Pada 50 Orang
Pada umumnya masyarakat Sumatera Utara sangat mengharapkan KPK mengusut tuntas semua anggota DPRD Sumut yang menikmati upeti dari mantan Gubernur itu. Selain anggota DPRD, juga, para pejabat Provinsi Sumut dan para penyandang dana yang diduga terlibat. Ini penting agar keadilan dan prinsip semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law) menjadi kenyataan dan dapat menjadi efek jera bagi anggota DPRD dan pejabat yang lain.
Dari 38 anggota DPRD Sumut yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK, ada tiga orang Ono Niha yaitu AZ, ED, RKS. Ketiganya saya kenal dengan baik dan selama kami berteman, mereka termasuk orang baik. Ketika mereka dipanggil sebagai saksi dalam kasus tersebut dan kemudian KPK menetapkan mereka sebagai tersangka, secara spontan timbul pertanyaan dalam hati saya kenapa mereka bisa terpengaruh?
Walaupun tidak analog, petuah orang tua ketika saya berangkat dari kampung Hiliduho ke kota Gunungsitoli meneruskan sekolah mereka berpesan: “Hati-hati mencari teman”. Kalau kita berteman kepada orang baik-baik, ia akan mengajarkan kita kebaikan dan kearifan. Sedangkan, jika kita berteman kepada orang yang kurang baik/jahat, ia akan mengajarkan kita tentang kejahatan. Inilah yang sering disebut pengaruh lingkungan.
Tidak dalam posisi membela, ketiga teman kita Ono Niha atau teman mereka yang lain, sebelum menjadi anggota DPRD orangnya baik. Akan tetapi setelah masuk anggota DPRD mereka terpengaruh pada orang orang yang suka minta upeti atau sistem yang sedang berlaku saat itu. Peribahasa Jawa mengatakan: Sing julika mulia, sing jujur kojur. Artinya: Yang salah mulia, yang jujur hancur. Ada juga istilah: zaman edan ‘ ne ora melu edan ora keduman, artinya: kalau tidak ikut menjadi gila tidak akan bahagia. Namun, sebagai teman mengharapkan agar mereka tabah dan mengikuti proses hukum sampai selesai, sambil berdoa dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
Bagaimana di Kepulauan Nias?
Apa yang terjadi di DPRD Sumut ibarat gunung es di permukaan laut, puncaknya sangat jernih dan menyenangkan. Akan tetapi di bagian dalamnya, di bawah permukaan, sangat dahsyat dan berbahaya, malah bisa menghancurkan sekelas kapal Titanic. Itu sebabnya, para pengamat sering menggambarkan kasus korupsi seperti fenomena gunung es. Sebab, korupsi yang ketahuan dan diusut oleh penegak hukum hanya sedikit, sedangkan kasus yang belum terungkap lebih banyak dan masih tersembunyi.
Kita tidak menafikkan apa yang terjadi di DPRD Sumut, diduga terjadi juga di kepulauan Nias seperti gunung es. Bagi ASN terutama mereka yang menjabat kepala unit kerja, memahami betul bahwa pembahasan APBD dan PAPBD tiap tahun tidak mulus-mulus amat. Istilah politiknya tidak ada makan siang yang gratis. Demikian pula para rekanan dalam urusan proyek banyak pengalaman pahit di luar ketentuan yang mereka alami. Hanya tidak berani melapor karena takut tidak dapat proyek. Malahan orang berpendapat apa yang dialami beberapa anggota DPRD Sumut merupakan nasib sial saja.
Masyarakat akan tertawa dan tidak percaya, bila ada yang mengatakan di Kepulauan Nias tidak ada korupsi. Masyarakat akan bertanya, apakah pembahasan APBD dan PAPBD serta Perda lain selalu mulus, tanpa negosiasi? Apakah penempatan pada jabatan struktural dan fungsional berdasarkan kemampuan dan keahlian? Apakah pelaksanaan tender betul-betul sesuai ketentuan? Dan demikian seterusnya masih banyak hal yang bisa ditanyakan.
Kalau benar sudah sesuai ketentuan, lalu mengapa penetapan APBD dan PAPBD serta Perda lain sering terlambat? Kenapa ada ASN sudah S1, S2 dan sudah Spama, Spamen tidak diberi jabatan? Kenapa banyak proyek tidak selesai? Kenapa waktu pelelangan banyak sanggahan dan ribut? Kenapa ada oknun ASN pada unit kerja tertentu baru dinas 10 tahun sudah bisa beli mobil baru dan bangun rumah mewah? Kenapa ada oknum DPRD baru duduk 2 tahun sudah bangun rumah, padahal sebelum masuk DPRD hidupnya biasa biasa saja?
Tulisan ini tak bertujuan membahas masalah korupsi di Kepulauan Nias, melainkan agar apa yang terjadi di DPRD Sumut dapat menjadi pembelajaran bagi seluruh masyarakat Nias, terutama mereka yang ada dalam lingkaran pemerintahan. Suatu kali, Pak Fona Marunduri pernah mengingatkan saya dengan berkata, “Di kepulauan Nias ini para pejabatnya pun baik-baik semua. Tidak ada korupsi pun belum tentu maju. Apalagi kalau ada korupsi”.
Beliau meneruskan,”Tidak mudah menjadi pemimpin pada era sekarang. Hanya pribadi yang memiliki kejujuran, kerendahan hati sekaligus ketegasan yang mampu menjalaninya. Hanya sosok yang bisa ”melampaui” dirinya sendirilah, atau dengan kata lain pribadi yang sudah selesai dengan problem-problem pribadilah yang mampu menjadi pemimpin dimasa abnormal yang sedang kita alami kini. Dengan anggaran yang terbatas dari pusat dan sumber daya manusia yang kurang memadai serta perencanaan yang tidak fokus merupakan faktor terlambatnya pembangunan. Namun biar anggaran kecil, asalkan perencanaan fokus dengan tidak membagi-bagi dalam kegiatan/proyek kecil serta biaya operasional dikurangi. Yakinlah dalam tempo 10 tahun akan nampak hasilnya. Apabila kita anggap Kepulauan Nias rumah sendiri, milik sendiri. Maka hanyalah orang yang tidak waras dan rakus yang mencuri (korupsi) di rumahnya sendiri”.
Dengan demikian, diharapkan kasus korupsi “ketuk palu”, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota tidak lagi terulang. Semoga.
*) Penulis adalah Pemerhati Birokrasi di Pulau Nias; Bupati Kabupaten Nias Barat periode 2011-2016
Semoga kejadian di atas tidak terulang lagi