Masa Jabatan Anggota Legislatif Harus Dibatasi

Adrianus Aroziduhu Gulö | Dok. Pribadi

Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö*

Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 (perubahan pertama) pasal 7 menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dengan pasal yang cukup jelas ini, membuat para mendukung Jusuf Kalla (JK) yang ingin mencalonkannya lagi sebagai Wakil Presiden harus mengurungkan niat mereka. Karena JK sudah dua kali menjabat Wakil Presiden RI. Kecuali kalau mereka mendorong JK menjadi calon Presiden, karena itu masih sangat memungkinkan menurut UUD.

Demikian juga jabatan kepala daerah telah diatur masa jabatannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 60, yang menyatakan: ”Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dalam pasal 59 ayat(1) adalah selama 5(lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Dalam bagian penjelasan pasal 60 di atas disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “dalam  jabatan yang sama” dalam ketentuan ini adalah jabatan bupati sama dengan jabatan walikota. Ketentuan ini membatasi secara tegas masa jabatan kepala daerah hanya dua periode, sesudah itu tidak diperbolehkan. Padahal ada beberapa kepala daerah yang ingin dan berambisi mencalonkan diri untuk periode ketiga, keempat, dan seterusnya. Mengapa? Jabatan kepala daerah menurut mereka enak, semua fasilitas lengkap. Namun, karena dirinya tidak bisa maju lagi, ia mencari akal yang tidak dilarang undang-undang dengan mendorong isteri atau anaknya maju sebagai kepala daerah, sehingga ia tetap punya peran dan menikmati segala fasilitas dari negara. Ambisius, itulah label yang cocok untuk  orang seperti itu.

Berikut ini beberapa contoh kabupaten/kota diman kepala daerahnya mendorong isterinya menggantikannya sebagai kepala daerah dan berhasil. Yaitu, 1. Bupati Klaten- Jawa Tengah Haryanto Wibowo digantikan oleh isterinya Sri Hartini periode 2016 – 2021. Namun, pada 2017, Sri ditangkap KPK dengan tuduhan Korupsi. 2. Bupati Kabupaten Bantul, Yogyakarta Idham Sawani digantikan isterinya Sri Surya Widati. 3. Walikota Bontang, Kaltim  Andi Sofyan Hasdam (2001-2011) digantikan isterinya Neni Moermieni (2016 – 2021). 4. Bupati Kabupaten Kediri Sutrisno (1999 – 2009) digantikan isterinya ibu Haryanti (2010-2015  dan 2016 – 2021). 5. Bupati Kabupaten Indramayu Irianto MS Syafiudin (2000-2010) digantikan isterinya ibu Anna Sophanah (2010-2015) (Sumber: Brilio.net)

Bagaimana tanggapan masyarakat? Ada pro dan kontra.  Pada umumnya yang kontra mengatakan, bahwa politik oligarki rupanya masih kental dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, yang akhirnya menciptakan dinasti-dinasti kecil. Apa pun komentar para pakar,  yang terjadi di atas sulit dihindari, karena undang-undang tidak melarang. Hal ini hanya bisa dikurangi apabila seseorang menyadari bahwa jabatan, kekuasaan bukan untuk selamanya dan diwariskan kepada keluarga. 

Namun yang mengherankan, apabila dibandingkan dengan masa jabatan/periode DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, belum ada undang-undang yang mengaturnya, termasuk UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dianggap sebagai produk hukum legislatif dan eksekutif yang paling baik pada tahun tersebut. Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan masa jabatan/periode DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak terbatas, boleh beberapa periode. Ada beberapa orang sesumbar mengatakan, “Terserah mereka atau suka-suka mereka. Yang penting mereka mau, masih kuat, masih sehat. Ya, silahkan sampai tua, sampai bosan, sampai kapok dan sampai tidak dipilih lagi oleh masyarakat.”

Pembatasan periodisasi jabatan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah diatur. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 10 ayat(9) disebutkan, bahwa ”Masa jabatan keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota adalah selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama.”

Pasal di atas menuntut kita bertanya lagi. Mengapa masa jabatan keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/kota, malah sampai PPK dibatasi hanya 2 (dua) periode, sedangkan masa keanggotaan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak dibatasi? Padahal Undang-Undang tersebut dibahas oleh anggota DPR yang sama dan ditetapkan dalam undang-undang yang sama. Lagi-lagi, akal sehat tidak mampu menjawabnya. Yang bisa menjawabnya hanya mereka yang ikut membahas, menyetujui dan menetapkan Undang-Undang Pemilu tersebut.

Pembatasan Demi Regenerasi

Jauh sebelum penetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhamad Qodari pernah mengatakan kepada Jurnal Parlemen (6 Mei 2013) sebagai berikut: ”Pembatasan periodisasi anggota legislatif perlu diatur dalam bentuk undang-undang. Hal ini mengingat tidak sedikit anggota DPR yang menjabat lebih dari dua periode, dengan pertimbangan kompensasi yang dimilikinya dan sebagainya. Namun, kendati hal tersebut merupakan hal internal partai politik, aspek regenerasi juga seyogyanya tidak dilupakan.”

Gagasan di atas sempat menjadi polemik para pakar di media. Pun pula di gedung DPR RI sempat dibahas sebelum dan saat pembahasan Undang-Undang Pemilu. Akan tetapi pembahasannya tidak sepanas dan sealot definisi terorisme. Pembahasannya hanya sebatas respons atas aspirasi dan wacana yang berkembang di masyarakat, sehingga tidak begitu didalami dan akhirnya tidak diakomodir dalam Undang-Undang Pemilu.

Hal ini bisa dipahami, karena para anggota legislatif yang membahas, menyetujui dan menentapkan Undang-Undang Pemilu ingin lebih dua periode. Mereka menganggap itu hak azasi manusia yang melekat pada dirinya. Hal itu menimbulkan pertanyaan. Mengapa kepala negara dan kepala daerah dan jabatan-jabaatan publik yang lain dibatasi hanya dua periode? Apakah di situ tidak ada hak azasi manusia? Jawabannya, tergantung kepentingan.

Menjabat lebih dari dua periode tidak hanya di DPR RI. Pada DPR Provinsi,DPRD Kabupaten/Kota, juga demikian. Contoh di Kepulauan Nias ada beberapa anggota DPRD yang sudah 4 (empat) periode dan menuju 5 (lima) periode jika mereka menang/duduk lagi sebagai anggota legislatif pada tahun Pileg 2019. Mereka masuk anggota DPRD Kabupaten sejak tahun 1999 dan tidak putus-putus sampai sekarang. Anggota DPRD yang 5 (lima) periode, masa masa jabatannya beda-beda tipis dengan masa periode Presiden RI ke-2 Soeharto. Saat itu kita kritisi, ribut, unjuk rasa, dll. Sekarang? Banyak yang diam, pura-pura tidak tahu, pura-pura lupa. Mengapa? Hanya pembuat undang-undang yang bisa menjawabnya.

Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof. Dr. H. Imam Suprayogo mengatakan, ”Sering kali saya mendengar bahwa masa jabatan yang terlalu lama akan cenderung melakukan sikap otoriter, hegemonik, korup. Oleh karena itu masa jabatan harus dibatasi. Siapapun tidak boleh menjabat terlalu lama, agar tidak merugikan bagi siapa pun. Sesungguhnya apapun yang disebut terlalu lama, tidak baik, termasuk terlalu lama memegang jabatan tertentu. Jika jabatan itu terlalu lama, maka akibatnya, baik yang menjabat maupun yang menjadi bawahan akan mengalami kebosanan (www.imamsuprayogo.com). 

Sejatinya, jabatan-jabatan politik, termasuk masa jabatan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota harus dibatasi. Pengaturan masa jabatan tersebut seharusnya menjadi instrumen pendidikan politik yang cerdas, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Salah satu indikator dalam pembangunan politik adalah adanya rotasi dan pembatasan kekuasaan. Dalam demokrasi, pembatasan masa jabatan dan kekuasaan harus ada dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.

Seyogyanya kalau masa jabatan Kepala Negara, Kepala Daerah, KPU atau jabatan-jabatan publik yang lain hanya 2(dua) periode, maka semestinya, sepantasnya, seharusnya dan/atau idealnya masa jabatan DPR, DPRD Provisi, DPRD Kabupaten/Kota, juga hanya 2 (dua) periode, sehinga semua orang di hadapan hukum sama dan tidak ada diskriminasi hukum. 

Salah satu usul yang dari masyarakat yang mencuat seputar pembatasan periode keanggotan legislatif adalah masa keanggotan legislatif tidak pelu di atur dalam undang-undang, melainkan cukup diatur oleh partai politik. Usul tersebut sangat mustahil (imposibble0 dilakukan. Mengapa? Seseorang bila tidak diusulkan partainya lagi menjadi caleg, ia akan pindah pada partai lain. Partai tersebut pasti menerima, sebab ia dianggap berpengalaman, punya modal, populer, dll.

Sebagai contoh, ada beberapa orang anggota DPRD di kepulauan Nias. Tanpa menyebut nama dan partai asalnya, sebut saja namanya Ucok. Pada 1999 ia menjadi caleg  dari partai A dan menang; pada 2004 ia menjadi caleg dari partai B dan menang; pada 2009 ia menjadi caleg dari partai C dan menang; pada 2014 ia caleg dari partai D dan menang. Sedangkan pada 2019 belum ada informasi dia akan menjadi caleg dari partai mana.

Yang ingin penulis sampaikan melalui contoh di atas, bahwa pengaturan masa keanggotaan DPR, DPRD Provinsi,DPRD Kabupaten/Kota tidak bisa hanya diatur di internal partai politik, melainkan harus diatur melalui undang-undang agar dasar hukumnya kuat. Dan  pembatasan tersebut merupakan suatu kebutuhan dan mendesak, agar tidak terjadi abuse of power. Semoga. (ns1)

*) Penulis adalah Pemerhati Birokrasi di Pulau Nias; Bupati Kabupaten Nias Barat periode 2011-2016     

About the Author
  1. Daniel Hia Reply

    Seharusnya masa jabatan dpr, dprd prop dan dprd kab/kota harusnya 2 periode.
    Ketidak adilan ini harus di gugat di MK, terutama generasi muda.

Leave a Reply

*

Translate »