Angkat Tradisi Fondrakö Untuk Peradilan Anak, Beniharmoni Harefa Raih Gelar Doktor dari UGM

Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., M.Hum. | Dok. Pribadi

NIASSATU, YOGYAKARTA – Tradisi fondrakö sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Kepulauan Nias diangkat dan diusulkan menjadi rujukan dalam perumusan kembali beberapa normal dalam Undang – Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Hal itu mengemuka dalam disertasi doktoral yang diangkat oleh Beniharmoni Harefa yang dinyatakan lulus pada sidang terbuka program doktoral di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (24/1/2019).

“Beberapa norma dalam UU No. 11 tahun 2012 perlu diperbaiki untuk mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal di masing-masing daerah Indonesia. Salah satu yang bisa menjadi rujukan adalah nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Nias dengan musyawarah berdasarkan fondrakö,” demikian kesimpulan dari disertasi tersebut.

Sidang terbuka disertasi tersebut dihadiri oleh para penguji yang diketuai oleh Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M.. Sedangkan penguji sebagai anggota adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D., Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum., Dr. Djoko Sukisno, S.H., CN., Dr. Rikardo Simarmata, S.H., Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M (HR)., Ph.D., dan Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D.

Adapun promotornya adalah Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, SH. M.Hum. dan Ko-promotor Prof. Dr. Edward OS. Hiariej, S.H., M.Hum. Juga dihadiri oleh keluarga, orangtua dan rekan-rekannya yang diundang khusus pada acara itu.

Dalam ujian terbuka disertasi berjudul Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Nias Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak Dan Relevansinya Dengan Pembaharuan Sistem Peradilan Anak di Indonesia tersebut Beni dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan dan berhak menyandang gelar Doktor. Sekaligus menambah daftar jumlah putra Nias yang telah berhasil menyandang gelar akademik tertinggi tersebut.

Dalam disertasinya, Beni yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta tersebut membuktikan bahwa fondrakö dalam tradisi masyarakat Nias bisa mengatasi berbagai kelemahan pengalihan penyelesaian perkara anak dari prores peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana atau diversi.

Menurut dia, nilai-nilai musyawarah fondrakö yang dapat memberikan kontribusi bagi pembaharuan pengaturan diversi adalah mencakup nilai dari tunöfö (laporan/pengaduan). Yakni, bahwa korban menyerahkan penyelesaian perkaranya sepenuhnya kepada forum musyarawarah fondrakö.

Dia juga meyakini, penerapan penyelesaian perkara menggunakan musyawarah fondrakö tidak akan disalahgunakan. Bahkan, justru akan menjadikan pemantauan keseharian anak pascadiversi menjadi lebih optimal.

“Nilai dari bukti tidak akan disalahgunakan, bahwa tidak fair atau tidak adil, atau bukti yang telah terungkap di sidang adat akan digunakan untuk menjerat anak dalam proses peradilan lainya. Sebab, kesepakatan yang telah diputuskan bersama menjadi tanggung jawab bersama,” jelas dia.

Dia juga mengatakan, hukum asli masyarakat akan lebih efektif dalam menjawab kelemahan-kelemahan proses peradilan pidana fromal. Karena itu, dia meminta aparat hukum perlu mengefektifkan hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana anak.

“Hukum pidana adat lebih bersifat korektif, rehabilitatif, dan restoratif,” tegas dia. (ns1/*)

 

Catatan Redaksi:
Ringkasan disertasi tersebut di atas akan ditayangkan pada artikel terpisah.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »