Kekerasan Terhadap Melindawati Zidömi dan Urgensi RUU PKS

Dr. Beniharmoni, S.H., LL.M.

Oleh Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M.*

Setelah kasus YY (14) yang diperkosa dan dibunuh di Bengkulu, kini kekerasan seksual disertai pembunuhan sadis terulang kembali. Kali ini korban bernama Melindawati Zidömi seorang calon pendeta asal Nias, diduga dibunuh di daerah Ogan Komering Ilir (OGI), Sumatera Selatan. Melinda yang sedang menjalani tugas sebagai calon pendeta, dicegat dalam perjalanan oleh pelaku. Sebelum dibunuh, Melinda diduga mengalami kekerasan seksual dari pelaku.

Polisi bertindak cepat. Dua orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan disertai kekerasan seksual terhadap Melinda ditangkap dan ditahan.

Pascakejadian meninggalnya Melinda, banyak pihak mendorong agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan. Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah apa relevansi kasus ini dengan pengesahan RUU PKS, serta bagaimana RUU PKS dapat dioptimalkan untuk mencegah, agar kejadian seperti yang dialami Melinda tidak terulang kembali?

Urgensi RUU PKS

RUU PKS diusulkan sejak 2014 oleh Komnas Perempuan bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil. Hal ini berawal dari semakin meningkatnya kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan pada 2018, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2017 meningkat sebesar 74% dibanding pada 2016.

Peningkatan itu disebabkan salah satunya karena keterbatasan pengaturan mengenai kekerasan seksual yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga keterbatasan dalam hal proses peradilannya, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keterbatasan yang dimaksud adalah terkait dengan tindak pidana, pemidanaan, pencegahan, proses penanganan (pemulihan) serta pembuktian terhadap tindak pidana kekerasan seksual.

Dalam hal tindak pidana, terdapat beberapa tindak pidana yang belum diatur dalam KUHP akan tetapi sudah diatur di RUU PKS. Misalnya, tindak pidana pelecehan seksual secara non-fisik dimana pasal 91 ayat 1 RUU PKS mengatur, bahwa “setiap orang yang melakukan pelecahan seksual non-fisik, yang mengakibatkan seseorang merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan, dipidana rehabilitasi khusus paling lama 1 bulan.” Apabila dikaitkan dengan kejadian yang menimpa korban kekerasan seksual, hal ini berarti bahwa ketika korban merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan saja oleh pelaku, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pelecehan seksual.

Dalam beberapa kasus, acapkali pelaku merupakan orang yang sudah kenal sebelumnya dengan korban, bahkan ada interaksi antara pelaku dan korban. Dalam proses interaksi tersebut, ketika korban atau calon korban merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan secara non fisik oleh pelaku, maka, berdasarkan RUU PKS korban sudah dapat melaporkan pelaku dengan dugaan tindak pidana pelecehan seksual.

Hal ini kemudian dapat menjadi bentuk pencegahan awal, agar korban tidak menjadi korban dari kekerasan pelaku, bahkan hingga kehilangan nyawa. Sejauh ini KUHP belum mengatur mengenai pelecehan seksual non-fisik dimaksud.

Substansi RUU PKS

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam membahas RUU PKS sehingga membedakannya dari KUHP dan Undang-Undang lainnya yang mengatur tentang kekerasan seksual. Catatan itu terkait dengan tindak pidana, pemidanaan, pemulihan, pemantauan dan pencegahan.

Dari sisi tindak pidana, pada pasal 11 ayat 2 RUU PKS mengatur, bahwa yang menjadi tindak pidana kekerasan seksual mencakup: a. pelecehan seksual; b. eksploitasi seksual; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan; f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h. perbudakan seksual; dan/atau i. penyiksaan seksual.

Pengaturan tentang tindak pidana ini, sebagai perluasan dari tindak pidana dari KUHP, dimana sebelumnya KUHP belum mengatur secara tegas beberapa tindak pidana dimaksud. Selanjutnya perihal pemidanaan, maka ancaman pidana terhadap pelaku lebih dioptimalkan sehingga tidak sama dengan ancaman pidana dalam KUHP.

Hal penting lainnya dalam RUU PKS, yakni terkait pemulihan. Bahwa korban selain mendapatkan hak penanganan dan perlindungan juga mendapatkan hak pemulihan (Pasal 22 ayat 1 RUU PKS). Pemulihan ini meliputi: fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, ganti kerugian (Pasal 26 RUU PKS).

Selain pemulihan, sorotan penting lainnya dalam RUU PKS, yakni perihal pemantauan. Pemantauan dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Bahkan dalam hal pemantauan dilaksanakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Pasal 81 RUU PKS).

Selain dari sisi hukum pidana materil (memperluas beberapa hal sebagaimana mana yang diatur dalam KUHP), RUU PKS juga mengakomodir beberapa hal yang belum diatur dalam hukum pidana formil (KUHAP). Terobosan lain RUU ini dalam pembuktian, yakni keterangan seorang saksi korban disertai dengan satu alat bukti lainnya dianggap cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah; keterangan saksi anak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan saksi/korban lainnya; keterangan orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan saksi/korban lainnya sesuai dengan ragam disabilitasnya; dan ketentuan saksi yang disumpah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dikecualikan terhadap keterangan korban atau saksi anak dan/atau orang dengan penyandang disabilitas di hadapan pengadilan.

Pro-Kontra RUU PKS

Sebagian pihak saat ini menilai, RUU PKS pro terhadap zinah, LGBT dan aborsi. Mungkin, karena didalam RUU PKS mengatur terkait perbuatan yang dapat dipidana, adalah perbuatan yang berbentuk kekerasan, sehingga apabila perbuatan dilakukan suka sama suka, lalu ditafsirkan sebagian pihak sebagai “pelegalan” terhadap zinah. Justru RUU PKS semakin mengakomodir berbagai bentuk tindak pidana yang dialami oleh korban yang selama ini belum diatur.

Perihal terkait LGBT, justru di dalam RUU PKS, diatur bahwa tidak hanya pihak yang berlawanan jenis kelamin yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, namun laki-laki yang melakukan paksaan terhadap laki-laki lain, juga dapat dimintai pertanggungjawaban, sama halnya perempuan dengan perempuan yang melakukan kekerasan seksual maka dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Perihal aborsi, RUU PKS sama sekali tidak melegalkan perihal aborsi. Khusus aborsi sudah diatur dalam KUHP, UU Kesehatan hingga PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Bahkan dalam RUU PKS ada perluasan pengaturan, yakni orang yang memaksa melakukan aborsi dapat dimintai pertanggungjawaban. Hal itu memperluas aturan terkait aborsi dalam KUHP.

Dengan memahami RUU PKS secara komprehensif dan membacanya secara utuh, maka akan menegaskan bahwa RUU PKS tidak pro terhadap perzinahan, LBGT dan aborsi. Tetapi maksud pembentuk RUU PKS adalah lebih kepada memberikan perlindungan yang optimal terhadap kepentingan korban kekerasan seksual.

Pro Perlindungan Korban

Menelaah hakikat dirumuskannya RUU PKS, menegaskan bahwa RUU ini memberikan perlindungan terhadap korban dan calon korban kekerasan seksual. RUU PKS lebih menekankan pada upaya-upaya preventif sehingga dapat mencegah dan meminimalisir terulangnya kasus seperti yang dialami YY dan Melinda di Sumatera Selatan.

Kita semua turut berduka, penegak hukum diharapkan menjatuhkan pidana seadil-adilnya kepada para pelaku. Kiranya kasus pemerkosaan dan pembunuhan Melinda, menjadi kasus terakhir yang terjadi, dimana pihak rentan (anak dan perempuan) harus mengalami kekerasan hingga kehilangan nyawa.

Kiranya polemik RUU PKS segera berakhir dan RUU ini segera disahkan demi perlindungan yang optimal terhadap korban dan calon korban kekerasan seksual di negeri ini. (ns1)

*) Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »