Merayakan Pemilu yang Jujur dan Adil
Oleh Visensius Manuela*
Hampir semua negara modern mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi. Salah satu ciri utamanya adalah penyelenggaraan Pemilu untuk memilih wakil rakyat, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif berdasarkan program yang diajukan peserta Pemilu. Namun demikian tidak dengan sendirinya setiap negara demikian itu dapat disebut sebagai negara demokratis. Begitu pula tidak setiap Pemilu dapat dikatakan sebagai Pemilu yang demokratis.
Pemilu dibutuhkan sebagai salah satu mekanisme mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang akan menjadi kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu tujuan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang sesuai dengan pilihan rakyat.
Pemilu yang tidak mampu mencapai tujuan itu hanya akan menjadi mekanisme pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Dalam banyaknya kasus korupsi dari mereka yang terpilih lewat Pemilu, maka Pemilu dapat diartikan sebagai mekanisme legitimasi para perampok uang rakyat melalui pemilihan secara langsung. Pemilu demikian adalah Pemilu yang kehilangan roh demokrasinya.
Untuk mencapai tujuan itu, Pemilu harus dilaksanakan menurut asas- asas tertentu. Asas-asas itu mengikat keselurohan proses Pemilu dan semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih bahkan pemerintah. Undang-undang dasar 1945 menentukan bahwa Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Roh Demokrasi
Bagi bangsa Indonesia, Pemilu merupakan agenda ketatanegaraan yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sejak masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, asas Pemilu sebatas pada langsung, umum, bebas, dan rahasia. Asas itu lebih diorientasikan pada cara pemilih menyampaikan suaranya. Yaitu, harus langsung tanpa diwakilkan, berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Dengan demikian asas-asas tersebut hanya menjadi dasar pengaturan mekanisme pelaksanaan pemilihan atau pemungutan suara.
Sedangkan terhadap penyelenggara Pemilu dan peserta Pemilu tidak ada asas yang harus dipatuhi. Salah satu akibatnya adalah terjadinya pengingkaran roh demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu, baik oleh penyelenggara maupun peserta. Dalam praktiknya penyelenggaraan Pemilu menjadi legitimasi bagi pihak yang berkuasa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, di samping harus langsung, umum, bebas dan rahasia, maka penyelenggaraan Pemilu juga harus dilakukan secara jujur dan adil. Asas jujur mengandung arti bahwa Pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang berhak, dapat memilih sesuai dengan kehendaknya.
Selain itu, setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat. Sesuai dengan asas jujur tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Sedangkan asas adil adalah perlakuan yang sama pada peserta Pemilu dan pemilih tanpa ada pengistimewaan maupun diskriminasi.
Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta Pemilu tetapi juga pada penyelenggara Pemilu. Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara, peserta Pemilu, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian asas jujur dan adil menjadi spirit keselurohan pelaksanaan Pemilu.
Asas Jujur dan Adil
Asas jujur dan adil diimplementasikan pada 2 tataran, yaitu tataran normatif dan tataran moralitas pelaksanaan Pemilu. Tataran aturan normatif sendiri terdiri dari dua jenis, yakni aturan yang bersifat preventif dan aturan yang bersifat represif . Aturan preventif berisi ketentuan tentang tindakan-tindakan yang harus dan yang tidak boleh dilakukan dalam keselurohan tahapan Pemilu. Aturan preventif juga mengatur mekanisme penyelesaian apabila ada sengketa yang melanggar asas jujur dan adil.
Sedangkan aturan represif adalah ketentuan yang memberikan ancaman hukuman kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran karena bertentangan dengan asas jujur dan adil. Oleh karena itu, dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan yang memberikan ancaman sanksi administrasi dan sanksi pidana Pemilu baik kepada pemilih, peserta, penyelenggara, bahkan pejabat pemerintah.
Salah satu mekanisme untuk memastikan bahwa setiap suara rakyat dalam Pemilu tidak di manipulasi adalah Peradilan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) yang kini menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. PHPU bukan sekedar mekanisme penyelesaian perbedaan perhitungan suara antara KPU dengan peserta Pemilu. PHPU bukan sekedar merupakan mekanisme untuk memastikan bahwa tidak ada satu suara pemilih pun yang di manipulasi. Tidak ada calon yang terpilih karena mengambil suara dari peserta lain atau calon yang menang karena melambungkan perolehan suara.
Mekanisme perhitungan suara ditentukan secara berjenjang mulai dari tingkat TPS hingga rekapitulasi suara secara nasional oleh KPU. Pada setiap tingkatan perhitungan dan rekapitulasi dilakukan secara terbuka yang dihadiri para saksi peserta Pemilu dan pemantau. Bahkan penyelenggara Pemilu juga harus memberikan salinan berita acara dan salinan penghitungan (rekapitulasi) kepada setiap saksi peserta Pemilu.
Dengan demikian sesungguhnya sangat kecil kemungkinan terjadinya perbedaan penghitungan antara KPU dengan peserta Pemilu. Apabila terjadi perbedaan kemungkinan terbesar adalah karena adanya pelanggaran dengan manipulasi suara Pemilu. Hal itu jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap asas jujur dan adil.
Lebih dari itu hasil Pemilu yang tidak sesuai tidak hanya terjadi karena manipulasi suara pada saat penghitungan tapi juga karena pelanggaran yang meluas sistematis dan terstruktur yang mencederai asas jujur dan adil. Pemilu yang demikian adalah Pemilu yang mengingkari prinsip kedaulatan rakyat sebagai roh konstitusi. Melalui wewenangnya MK memastikan bahwa hasil Pemilu yang diumumkan oleh KPU merupakan hasil Pemilu yang benar-benar demokratis sesuai dengan asas jujur dan adil.
Merayakan Pemilu Jujur dan Adil
17 April 2019 besok adalah waktu merayakan kedaulatan rakyat tersebut melalui pemberian suara. Dalam konteks Kepulauan Nias, Pemilu ini dapat dimaknai sebagai momentum untuk mengkaji jalannya pemerintahan dan Program yang ditawarkan oleh para kandidat. Seyogianya, partai dan calon yang berhasil membuktikan dan menyampaikan visi dan misi pembangunan sepantasnya untuk diberikan amanah untuk menjalankan pemerintahan.
Masyarakat Nias wajib kritis terhadap setiap calon yang berkontestasi, terlebih terhadap realitas marak nya politik uang. Masyarakat Nias harus berani memutus mata rantai lingkaran sesat yang membuat kedaulatan rakyat diobral tidak berharga. Sudah saatnya masyarakat berani untuk bersikap obyektif pada setiap calon agar menghasilkan perwakilan yang amanah.
Menjadi pemilih cerdas adalah satu-satunya jalan merayakan Pemilu yang jujur dan adil. Jika setiap orang sadar tentang pentingnya satu suara untuk mengubah masa depan daerahnya. Tidak hanya untuk tahun 2019 ini tentunya, namun mendorong harapan bahwa perubahan itu mungkin untuk dilakukan, itu nyata. Mari merayakan demokrasi dengan kegembiraan. Mari belajar jujur dan adil. Mari mewariskan budaya yang baik untuk generasi bangsa masa depan. (ns1)
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Pemuda Nias Indonesia