Saönigeho, Simbol Perlawanan Masyarakat Nias
Oleh Samuel Novelman Wau*
Pendahuluan
Kematian. Setiap orang punya pandangan tersendiri tentang takdir tak terhindarkan ini. Ada yang mengutukinya sebagai akhir dari segalanya, dan tidak sedikit yang mensyukurinya sebagai awal hidup baru memasuki keabadian. Semua pandangan ini dibentuk oleh latar belakang dan keyakinan yang dianut.
Saönigeho yang hidup pada akhir abad 19 ketika kepulauan Nias khususnya wilayah Nias bagian Selatan masih terjebak dalam banyak perang punya pandangan tersendiri tentang kematian. Memang tidak ada pernyataan langsung darinya tentang apa itu kematian namun akhir hidup dan cara pemakamannya meninggalkan satu pesan kuat di sana. “Kematian adalah puncak dari perjuangan.” Kira-kira itulah kalimat yang bisa dirumuskan sebagai pandangan seorang Saönigeho. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakangnya yang hampir seumur hidup terlibat dalam banyak perang khususnya melawan Belanda.
Konteks Perang Nias
Sejak awal orang Nias sudah dikenal sebagai suku kesatria yang berani bertarung secara terbuka. Fakta ini dapat dibaca dalam sejumlah literatur yang dicatat oleh orang asing. Jejak warisan budaya suku ini ikut pula bertutur tentang siapa sebenarnya mereka. Tradisi lompat batu dan tari perangnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa di masa lalu suku Nias punya sejarah panjang terlibat dalam banyak peperangan. Budaya itu hanya mungkin lahir dari tengah-tengah komunitas petarung.
Perang terjadi karena beberapa alasan khusus. Pertama, alasan religi. Sebelum kekristenan tiba pada tahun 1865, nenek moyang suku Nias menganut kepercayaan animisme. Selama ratusan tahun kepercayaan ini telah melebur menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya setempat sehingga sulit membedakan mana praktik agama dan mana tradisi. Salah satu bagian dari kepercayaan animisme ini adalah ritual mempersembahkan kepala manusia (binu) – nyaris tidak ada ritual sakral dalam tradisi mereka yang tidak meminta tumbal kepala. Untuk memenuhi tuntutan kepercayaana kuno ini para prajurit Nias harus berburu menerobos jauh ke dalam benteng pertahanan lawan. Ujungnya bisa ditebak yaitu perang sengit antara pemburu dan yang diburu.
Kedua, alasan memperluas wilayah kekuasaan. Sempitnya lahan memaksa setiap banua dari tahun ke tahun melakukan ekspansi membuka hutan di sekitarnya. Membuka hutan terus menerus tanpa mengancam hak hidup banua lain yang bertetangga menjadi hal yang mustahil di pulau yang luasnya memang sangat terbatas. Karena itu para prajurit Nias rela mempertaruhkan nyawa di medan perang demi misi memperluas wilayah kekuasaan atau sebaliknya mempertahankan tiap jengkal tanahnya.
Ketiga, alasan kehormatan. Kehormatan adalah hal yang sangat penting bagi suku Nias. Orang Nias tidak akan pernah rela bila kehormatannya diusik, dilecehkan oleh pihak lain. Apapun akan dilakukan termasuk perang terbuka demi membela kehormatan pribadi, keluarga, banua, terlebih kehormatan kaum bangsawannya (si’ulu). Sudah tidak terhitung berapa banyak darah tertumpah karena alasan yang sensitif ini.
Lebih jauh lagi peperangan demi peperangan yang pernah berkecamuk di daratan Nias tidak hanya membenturkan sesama penduduk pribumi saja, namun juga pernah memperhadapkan warga lokal dengan orang asing. Adalah gerombolan bajak laut Aceh dan pasukan kolonial Belanda yang pernah merasakan seberapa tajam tebasan pedang dan dalamnya tikaman tombak para prajurit Nias.
Ketika orang Aceh datang murni untuk berdagang mereka disambut dengan tangan terbuka. Namun saat mereka melakukan penculikan dan pembantaian, jelas membuat orang Nias marah lalu menyerang balik. Hal yang sama dialami oleh pasukan Belanda. Sejak menginjakan kaki di bumi Nias tahun 1693 hingga tahun 1840 tidak ada masalah berarti antara orang Nias dengan Belanda. Namun ketika mereka terang-terangan bermaksud menjajah, perlawanan berkobar dimana-mana dipimpin oleh para si’ulu.
Saönigeho dalam Perang Nias
Suku Nias punya kontribusi dalam perjuangan Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Komitmen, dedikasi dan pengorbanan orang Nias yang membuat penjajah sampai hengkang tidak lebih kecil dari apa yang dilakukan oleh suku-suku lain di Indonesia. Sekalipun keberadaan suku Nias terpencil jauh di ujung Sumatera namun perjuangan mereka terintegrasi dengan perjuangan saudara-saudara sebangsanya di daerah-daerah lain. Orang Nias tidak numpang merdeka di negeri ini. Darah putra-putrinya pernah tertumpah demi satu impian bersama yaitu merdeka dari penjajahan.
Saönigeho adalah salah seorang yang pernah mempertaruhkan nyawanya demi tanah kelahirannya, demi Tanö Niha dan muaranya demi Indonesia sekalipun pada masa itu konsep keindonesiaan belum ia kenal. Si’ulu yang bergelar Siliwugere ini pernah terlibat dan/atau memimpin langsung peperangan melawan Belanda sekitar tahun 1840 hingga tahun 1908. Itu dimulai sejak masih di Orahili lama. Di sana setidaknya ada tiga ekspedisi pasukan Belanda yang ia alami yaitu tahun 1847, 1856 dan 1863.
Dua ekspedisi awal berhasil dipatahkan sedangkan yang ketiga tidak terbendung sehingga Orahili lama dibumi hanguskan musuh. Bencana itu memaksa eks warga Orahili lama termasuk Saönigeho pergi membangun pemukiman baru yang dinamakan Hilifanayama dan belakangan oleh Laowö, ayahnya Saönigeho menamakannya Bawömataluo pada tahun 1887.
Trauma perang Orahili tidak melumpuhkan Saönigeho. Sebaliknya sebagai balöji’ulu kedua Bawömataluo yang menggantikan ayahnya, Saönigeho punya legitimasi sekaligus beban moril untuk meneruskan perlawanan mengusir musuh sekalipun saat itu Belanda sudah semakin berani menyatakan dirinya sebagai penguasa baru, setelah mereka mendapatkan momentum kemenangan tahun 1863.
Keteguhan hati putra sulung Laowö Fau dan Barasimbolono Dakhi ini dalam menentang Belanda terungkap dari hoho yang dilantunkannya: “Me tohare ndrawa, möi ba Danö Niha Hulandro, ahori ndröfa, a’oi mbolo, balö jo gumo tobai gumbe” (ketika orang asing tiba, Belanda datang, habislah segala-galanya, namun yang paling berharga tidak akan kuserahkan).
Sekalipun Saönigeho dan Bawömataluo punya rekam jejak untuk bisa berjalan sendiri melawan musuh namun sepertinya Saönigeho mencoba membangun koalisi dengan banua-banua lain. Hal itu dapat dibaca dari kebijakannya yang sedapat mungkin menghindari konfrontasi dengan sesama suku Nias. Kemudian walaupun tidak ada pernyataan eksplisit tentang alasan pernikahan putra-putrinya dengan anak-anak bangsawan di Hilisimaetanö, Hilimondegeraya dan Hilizondegeasi namun sepertinya itu tidak dapat dilepaskan dari upaya mengukuhkan tali kekerabatan antara Bawömataluo dengan daerah sekitarnya.
Dan dukungan penuhnya terhadap kesepakatan para si’ulu Maniamölö yang membentuk pakta pertahanan saat rapat akbar (mamagölö) di Lahusa Fau menunjukkan bagaimana Saönigeho menginginkan adanya pasukan koalisi masyarakat Nias. Atas dasar ini maka perjuangan Saönigeho tidak bisa dikatakan sebagai perjuangan pribadi atau Bawömataluo saja, tetapi ini adalah bagian dari perjuangan masyarakat Nias secara umum.
Pada bulan November 1908, dalam usianya yang sudah sepuh Saönigeho memimpin perang Hiligeho. Pemimpin yang juga bergelar Tuha Famaedodanö ini bersama para si’ulu Maniamölö dan prajurit Nias mengepung Hiligeho setelah mereka tahu pasukan Belanda masuk ke sana untuk mengadakan sensus. Aktivitas ini tidak bisa dipandang sederhana. Selain ini berguna bagi Belanda dalam memetakan kekuatan masyarakat Nias untuk memuluskan upaya penjajahannya, sensus juga cukup sensistif bagi warga pribumi karena itu menjadi simbol penaklukan.
Pengepungan Hiligeho didorong pula oleh rencana merebut gudang senjata musuh yang disimpan di sana. Namun sayangnya rencana itu gagal. Musuh terlanjur mengetahui keberadaan pasukan Nias dan bentrokan pun terjadi yang menewaskan beberapa orang. Singkatnya pasukan Nias menarik diri.
Perang Hiligeho harus dibayar mahal. Saönigeho ditawan di Gunungsitoli. Dan untuk pembebasannya Belanda meminta kepada keluarga Saönigeho imbalan 3.000 uang perak serta warga Bawömataluo membangun jalan raya yang menghubungkan kota Telukdalam dengan Lagundri.
Permintaan pun dipenuhi, uang sebanyak itu dibayarkan dan proyek jalan selesai dalam waktu 5 bulan yang berujung pada pembebasan Saönigeho. Dalam perjalanan pulang suami Sibolono ini berhenti di sungai Ho lalu memotong högö göndröra (hiasan cawat) miliknya yang terbuat dari emas sambil berkata: “Höli-höli Maniamölö” (tebusan Maniamölö) lalu membuangnya ke sungai.
Boleh dikatakan bahwa sosok Saönigeho merupakan mata rantai terakhir perjuangan masyarkat Nias. Alasannya bukan saja karena ia ada di pengujung masa konfrontasi bersenjata namun juga karena akhir perjuangannya menjadi titik yang menentukan perang Nias secara keseluruhan. Perang Hiligeho adalah perang terakhirnya karena tidak lama kemudian ia wafat. Sesudah itu gerakan perlawanan suku Nias meredup.
Sebaliknya ekspedisi Belanda yang melelahkan selama 68 tahun (1840-1908) digantikan dengan mulai efektifnya kekuasaan mereka di seluruh daratan Nias termasuk di bagian selatan yang sulit ditembus. Memang di beberapa tempat masih terjadi perlawanan rakyat namun sudah tidak mampu membendung dominasi kekuasaan Belanda.
Lagi pula tidak ada lagi tokoh perang yang setara dengan Saönigeho yang bangkit meneruskan perlawanan bersenjata. Ruyu pun putra bungsu sekaligus pengganti Saönigeho sebagai balöji’ulu tidak tertarik dengan konfrontasi fisik. Ia lebih memilih berjuang lewat jalur diplomasi dan pendidikan. Praktis sepeninggalan Saönigeho perang Nias yang sebenarnya berakhir.
Hal lain yang patut dicatat dari perjuangan Saönigeho adalah kekonsistenannya. Saönigeho sejak dari Orahili lama hingga di Bawömataluo, tidak sekalipun ia mau kompromi apalagi menyatakan takluk kepada musuh. Bahkan pada saat rekan-rekan seperjuangannya menunjukan sikap yang berubah-rubah menghadapi Belanda, Saönigeho tetap berdiri teguh mengobarkan api perlawanan. Hukuman kurungan selama 5 bulan di Gunungsitoli tidak membuatnya mengangkat bendera putih.
Kekonsistenan Saönigeho yang paling mengesankan dalam menentang Belanda adalah kematiannya sendiri. Kematian tidak membuatnya menyerahnya. Ia wafat dan dimakamkan (boleh jadi atas perintahnya) secara tradisional yaitu la’enu (peti mati bangsawan ditopang dengan tiang di atas tanah). Ini adalah simbol perlawanan terhadap Belanda yang melarang keras pemakaman demikian.
Sejak hari kematiannya hingga hengkangnya Belanda dari Nias makam Saönigeho terus-menerus mempertontonkan perlawanan, dan Belanda tak kuasa menurunkannya. Kini Belanda telah pergi namun makam balöji’ulu kedua Bawömataluo ini masih tegak berdiri sebagai monumen perlawanan atas penjajahan.
Penutup
Penulis menyadari bahwa Saönigeho tidak sendiran dalam perjuangan melawan Belanda namun namanya diangkat sebagai simbol perlawanan masyarakat Nias dengan beberapa pertimbanan yaitu: Pertama, data yang (lebih) lengkap. Informasi tentang Saönigeho masih jauh lebih lengkap dibanding tokoh lainnya. Mungkin saja sebelumnya ada tokoh lain yang lebih besar darinya, namun dalam hal kelengkapan data, Saönigeho lebih unggul.
Kedua, pengakuan publik. Pada tahun 1987, pemerintah Kabupaten Nias (sebelum pemekaran) pernah membentuk tim yang melakukan penelitian di 9 kecamatan representatif dari 13 kecamatan yang ada pada waktu itu. Hasil penelitian menempatkan Saönigeho di atas tokoh-tokoh lainnya dalam hal jejak sejarah, legalitas dan peristiwa pertempuran. Dan yang ketiga adalah kekonsistenan perjuangannya hingga akhir hayatnya.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya Nias.
Kisah hidup para pejuang seperti Saönigeho merupakan inspirasi agar tidak menyerah dalam perjuangan. Kadang saya pikir, Pulau Nias butuh Saönigeho lainnya, yang bukan hanya perkasa dalam perang, melainkan gigih dalam memajukan masyarakat. Seandainya saja ada anak-anak Nias yang berjuang seperti Saönigeho menjadi ilmuan di bidang sains, di bidang pertanian, komputer, dlsb. Hayo anak-anak Nias, coba deh buktikan kalau kamu bukan hanya jago dalam berperang, tetapi juga dalam meraih ilmu.