Bila Ingin Lepas dari Keterbelakangan, Binalah Generasi Muda

Adrianus Aroziduhu Gulo | Dok. Pribadi

Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö*

Pepatah Tiongkok mengatakan, “Bila ingin sukses satu tahun tanamlah padi, bila ingin sukses 10 tahun tanamlah kayu, bila ingin sukses 100 tahun binalah generasi muda.”

Pepatah ini bukanlah sesuatu yang sulit dipahami, melainkan sangat dekat dengan pengalaman hidup  sehari-hari, kecuali ucapan “100 tahun” menantang akal sehat, karena jarang sekali manusia di dunia yang umurnya mencapai 100 tahun. Sementara harapan hidup masyarakat Indonesia belum mencapai umur tersebut, sebagaimana Menteri Kesehatan Nilla Moeloek mengatakan, bahwa untuk lali-laki 69 tahun sedangkan usia perempuan  lebih tinggi, yaitu 74 tahun atau rata-rata mencapai 71 tahun (Tribunnews.com,  12 maret 2019 pukul 19.06).

Pernyataan 100 tahun dalam pepatah di atas hendaknya jangan diartikan secara harafiah, melainkan memahaminya dari segi filosofis yang dimaknai sebagai “masa depan”, yaitu masa yang penuh tantangan, perjuangan, dinamika dan problematika.

Oleh karena itu perlu didesain, direncanakan, dipersiapkan secara sistematis dan terukur oleh pribadi, kelompok, masyarakat, lembaga swasta maupun lembaga negara agar masa depan tidak hanya sebatas waktu dan ruang yang harus dilewati, melainkan waktu seseorang/kelompok/masyarakat/negara mencapai kesuksesan dengan gemilang.

Ironisnya, ada pihak yang menganggap bahwa kesuksesan itu suatu takdir. Karena itu tidak perlu dicari, akan datang dengan sendirinya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh pemberi takdir. Pendapat ini tidak perlu diadili, biarlah perjalanan waktu yang akan menjawabnya.

Akan tetapi Penulis punya keyakinan, bahwa keberhasilan masa depan harus dipersiapkan dan direncanakan dengan benar sedini-dininya. Salah satu persiapannya adalah dengan “pembinaan generasi muda” melalui pendidikan formal maupun nonformal. Mengapa? Karena masa depan generasi muda sangat ditentukan oleh masa kini.

Sebagai bahan perbandingan, kendatipun tidak persis sama, di bawah ini penulis cerita tentang  pengalaman emperis yang saya alami sendiri saat muda. Singkatnya begini. Sejak duduk di bangku SMA saya bercita-cita meneruskan sekolah pada perguruan tinggi, dengan harapan bisa mengubah nasib dari kemiskinan tradisional menjadi  hidup layak dan manusiawi, seperti teman-teman yang lain.

Namun apa mau dikata, setelah tamat SMA cita-cita itu layu sebelum mekar, karena ketidakmampuan ekonomi orang tua. Maklum orang tua hanya petani tradisional yang masih bergantung pada alam. Apabila bercocok tanam di sawah menunggu hujan turun, sebaliknya jika ingin bercocok tanam di ladang menunggu musim kemarau datang. Kondisi ini membuat hasil panen sangat terbatas.

Bukan menyerah, tetapi ini kenyataan dimana saya harus pulang kampung menolong orang tua bekerja di sawah/ladang dan pagi subuh menderes karet/getah. Saya menjalani rutinitas tersebut selama dua tahun dengan tidak bersungut-sungut. Pada tahun ketiga, seorang Pastor menawarkan saya untuk menjadi asistennya. Setelah satu tahun menjadi asisten Pastor, kemudian beliau mengusulkan kepada Uskup Sibolga untuk menyekolahkan saya di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarata dan saya menamatkan Sarjana Muda pada 1979.

Berkat Tuhan yang tidak terhingga pada akhir tahun 1982, saya lulus testing Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) dan dilantik menjadi perwira pada 20 Mei 1983. Dari situlah saya menitik karir  secara pelan-pelan namun pasti. Dan akhirnya tahun 2011-2016 saya menduduki jabatan strategis sebagai Bupati Kabupaten Nias Barat.

Belajar Dari Pengalaman

Kata-kata bijak populer mengatakan, ”Pengalaman adalah guru yang baik.” Akan tetapi kata-kata bijak ini mestinya disempurnakan dan dilengkapi dengan beberapa kata lagi menjadi sebagai berikut: “Pengalaman bukanlah guru yang baik, jika pengalaman itu belum dievaluasi.” Mengapa? Pengalaman seseorang belum tentu berlaku secara universal. Agar pengalaman seseorang bisa berlaku umum atau sekurang-kurangnya bagi sebagian orang, maka pengalamn tersebut perlu dievaluasi dan uji.

Mengevaluasinya tidak perlu diseminarkan, melainkan pengalaman tersebut ditransformasikan kepada orang lain dengan keteladanan dan  tindakan nyata. Misalnya, kalau dulu tidak bisa meneruskan studi karena ketidakmampuan keuangan orang tua, setelah menjadi “pejabat” pikirkan masa depan anak-anak dari keluarga tidak mampu agar mereka bisa melanjutkan studi.

Berdasarkan pengalaman emperis Penulis dan dikaitkan dengan pesan pepatah Tiongkok di atas, maka selama menjabat sebagai Bupati Nias Barat pada 2011-2016 Penulis menyadari bahwa sumber daya manusia masih rendah. Atas permasalahan ini Penulis mengambil solusi berupa pemberian memberi beasiswa kepada siswa-siswi, terutama dari keluarga tidak mampu untuk melanjutkan studi pada perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Juga, bagi ASN yang berprestasi diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (S1, S2). Pemberian beasiswa kepada lulusan SMA/SMK di wilayah Nias Barat saat itu, mempersyaratkan yang ikut seleksi hanya para siswa/i yang berprestasi di sekolah, yaitu peringkat 1 – 10. Sedangkan penentuan kelulusan diserahkan penuh kepada perguruan tinggi yang telah kerja sama.

Adapun perguruan tinggi negeri yang dijalin kerja sama dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU), yaitu, Pertama, Universitas Sumatera Utara (USU – Medan) untuk progaram S2. Kedua, UNIMED untuk program S1 bagi guru-guru yang belum S1. Perkuliahan dilaksanakan di Nias Barat dengan dosen datang dari Medan dan hanya uang kuliah yang ditanggung oleh Pemda. Ketiga, UGM untuk program dokter spesialis.  Keempat, STKS Bandung untuk program S1.

Kelima, Politeknik Negeri Medan untuk program D3/S1. Keenam, STTP Medan. Ketujuh, Akademi Pariwisata Medan, dll. Sedangkan perguruan tinggi swasta, yaitu : Pertama, Universitas Sanata Dharma -Yogyakarta untuk program S1 keguruan. Kedua, Unika St. Tomas – Medan untuk program S1 keguruan. Ketiga, Unpar Bandung untuk program S1 dari berbagai disiplin ilmu dan biaya ditanggung sepenuhnya Oordo OSC. Keempat, Universitas HKBP Nomensen – Medan untuk program kedokteran umum, dll.

Pada rentang 2012-2o15 (belum termasuk data tahun 2016 karena seleksi sudah bukan pada masa Penulis menjabat) biasiswa yang telah diberikan kepada kepada ASN dan umum sebanyak sebagai berikut: Pertama, USU – Medan program S2 sebanyak 18 orang (ASN). Kedua, Unimed bagi guru-guru yang belum S1 sebanyak 277 orang (ASN). Ketiga, UGM – Yogya untuk program dokter spesialis sebanyak 2 orang (ASN).

Keempat, STKS  Bandung sebanyak 14 orang. Kelima, Politeknik Negeri Medan sebanyak 40 orang. Keenam, STTP -Medan sebanyak 4 orang (ASN). Ketujuh, Akademi Pariwisata Medan sebanyak 9 orang. Kedelapan, Universitas Sanata Dharma – Yogya sebanyak 45 orang. Kesembilan, Unika St. Tomas – Medan sebanyak 25 orang.  Kesepuluh, Unpar Bandung sebanyak 24 orang. Kesebelas, Universitas HKBP Nomensen Medan khusus kedokteran umum sebanyak 13 orang.  

Penulis akui minat belajar ASN yang bertugas di Nias Barat sangat tinggi dan terus terang, Pemkab juga tidak sanggup memenuhinya karena keterbatasan anggaran APBD. Apalagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) saat itu masih rendah, sekitar Rp 16 miliar  per tahun. Solusi yang ditempuh adalah memberikan kemudahan ijin belajar bagi ASN yang ingin studi dengan biaya sendiri.

Peluang ini pun direspons positif olah para ASN dengan  kuliah di Universitas Tebuka, UNH – Medan (khusus program S2), STIKES Medan, Universitas Sarimutiara Medan (khusus bagi tenaga kesehatan yang belum S 1 seperti perawat/bidan).  Pemberian ijin belajar/kuliah cukup selektif, hanya diberikan bagi mereka yang kuliah di perguruan tinggi yang keberadaanya diakui Kopertis Wilayah I Medan.

Pemberian biasiswa di atas tidak lepas dari berbagai masalah seperti: Pertama, saat pembahasan anggaran di DPRD beberapa anggota DPRD tidak setuju atas program tersebut dan  sering memotong anggaran yang diusulkan TAPD. Kedua,  keterbatasan anggaran sehingga tidak semua siswa berprestasi dan dari keluarga tidak mampu mendapat beasiswa.

Ketiga, ada beberapa orang yang mendapat beasiswa tidak serius belajar dan akhirnya DO (Droup Out). Malahan ada seorang mahasiswi pada semeter 4 dikeluarkan oleh perguruan tinggi karena melangsungkan perkawinan tanpa pemberitahuan kepada pembkab Nias Barat dan perguruan tinggi tempatnya kuliah.

Namun jumlah mereka yang tidak serius tersebut tidak sampai 10%. Sedangkan lainnya menyelesaikan studi tepat waktu bahkan yang punya IP 3,94. Diantara mereka yang sudah lulus telah menjadi ASN pada penerimaan CPNS 2018 dan paling lama satu tahun lagi mahasiwa fakultas kedokteran Nomensen yang telah lulus sarjana kedokteran dan sekarang mengikuti program co-ass akan dilantik menjadi dokter umum.

Penulis yakin, dengan memberi beasiswa kepada siswa-siswi dan ASN serta memudahkan ijin belajar bagi ASN di wilayah Nias barat, walaupun jumlahnya sangat terbatas, dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama generasi muda dan menjadi aset dan modal utama untuk membangun Nias Barat  ke depan. Cara ini pelan-pelan, tetapi pasti.

Tidak bermaksud untuk menggurui, mudah-mudahan pemeritah daerah sekarang tetap meneruskan program ini dengan meningkatkan kuantitas tanpa melupakan kualitas. Apalagi pembangunan RSUD sedang dimulai dan jika RSUD teresebut mulai beroperasi, maka akan memerlukan penambahan tenaga kesehatan seperti medis, dokter umum dan dokter spesialis serta tenaga administrasi.

Penulis mengutip beberapa semboyan yang dulu pernah populer: Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Bersama kita bisa. Membangun dengan hati.

Semoga.

*) Penulis adalah Pemerhati Birokrasi di Pulau Nias; Bupati Kabupaten Nias Barat periode 2011-2016  

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »