Bertabur Cinta Menghantar Kepergian ‘Ibu’ BKPN Pdt. Ibahati Manaö
Oleh Pdt. Novelman Wau, S.Th.*
Jumat, 31 Januari 2020 sekitar jam 8 pagi saya membuka handphone dan memeriksa pesan Whatsapp yang masuk. Dari WAG Pelayan BKPN saya membaca satu kabar duka yaitu Pdt. Ibahati Manaö telah meninggal dunia. Sesaat saya terdiam hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi sekalipun saya tahu dalam beberapa minggu belakangan ini beliau terbaring sakit karena menderita kanker.
Dalam keadaan masih penasaran, naluri menuntun saya ke sejumlah grup Whatsapp dan media sosial lainnya. Saya terkesima, ternyata belum sampai satu jam setelah kabar duka tersiar puluhan postingan dan ratusan komentar yang mengikutinya sudah bertebaran di dunia maya. Ungkapan kesedihan, rasa kehilangan, emoji tangisan, kutipan ayat Alkitab, ucapan terimakasih atas pelayanan almahrumah dan penghormatan dari para netizen dibagikan di dunia maya.
Tidak sampai di situ, sejumlah video dan foto memperlihatkan ratusan warga jemaat yang berdomisili di kota Telukdalam dan sekitarnya tumpah ruah di rumah duka menangisi kepergian pendetanya.
Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan semuanya itu kecuali cinta. Bertabur cinta dari orang-orang yang mengasihinya menghantar kepergian hamba Tuhan Pdt. Ibahati menghadap Tuhan Sang Pemilik hidup.
Pdt. Ibahati adalah seorang pendeta senior di gereja Banua Keriso Protestan Nias (BKPN). Wanita kelahiran 11 September 1956 di desa Orahili Fau, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan ini hingga akhir hayatnya telah mengabdikan hidupnya melayani Tuhan selama 30 tahun. Selama empat tahun ia melayani sebagai pendeta di gereja BNKP dan 26 tahun di gereja BKPN.
Keberadaan sejumlah misionaris wanita generasi terakhir dari lembaga misi Rheinische Missions Gesselschaf (RMG) – yang dalam bahasa lokal mereka lebih dikenal dengan sebutan ira gawe di asrama Nari-nari di kota Telukdalam – menjadi titik balik dalam hidup Pdt. Ibahati. Sama seperti masyarakat Kristen Nias dari berbagai pelosok desa, Pdt. Ibahati pun sering berkunjung ke Nari-nari mengikuti kegiatan kerohanian yang diselenggarakan secara berkala oleh ira gawe.
Selanjutnya dia memutuskan untuk mondok di sana, dibina dan pada akhirnya menjadi salah seorang tenaga pelayan penuh waktu. Untuk semakin memperlengkapi dirinya dalam melayani Tuhan, Pdt. Ibahati mengikuti pendidikan teologi di seminari Tanjung Enim, Palembang. Setelah menyelesaikan studi dia kembali ke tanah kelahirannya melayani sebagai Vikar dan kemudian ditahbiskan menjadi pendeta di gereja BNKP pada 22 April 1990.
Kebutuhan mendesak akan pelayanan rohani yang konsisten bagi masyarakat Nias di bagian Selatan yang pada masa lalu kerap disebut Niha Raya atau Niha Taludala mendorong Pdt. Ibahati untuk ambil bagian bersama tokoh-tokoh Kristen Taludala memulai pelayanan baru yang dilembagakan dalam satu sinode yang dinamakan BKPN pada tanggal 17 Mei 1994.
Sesungguhnya kehadiran sinode baru ini adalah jawaban dari kerinduan besar masyarakat Nias bagian Selatan sejak 1940 untuk mandiri. Sejarah mencatat nama Pdt. Ibahati sebagai salah seorang pendiri BKPN sekaligus pendeta wanita pertama diantara dua pendeta pria lainnya pada masa itu, yaitu Pdt. Foluaha Bidaya dan Pdt. Sarofanötöna Harita.
Keputusan memulai pelayanan di BKPN tidaklah mudah bagi seorang Pdt. Ibahati. Tetapi dia berani mengambil resiko. Betapa tidak, dia harus rela meninggalkan segala kenyamanan di tempat pelayanan lamanya dan pergi ke tempat baru yang tidak menjanjikan apapun kecuali harapan akan masa depan rohani yang lebih cerah bagi masyarakat Kristen di wilayah Selatan kepulauan Nias.
Tingkat pendidikan diploma, pengalaman pelayanan yang masih seumur jagung di tempat lama dan gender wanita lajang yang melekat dalam dirinya sepertinya akan menyulitkan pergerakan hamba Tuhan ini. Namun semangat juangnya membalikkan semuanya itu. Pdt. Ibahati mampu membuktikan dirinya sebagai pelayan yang berdedikasi. Tanpa kenal lelah dia terus berkeliling dari satu desa ke desa lain menguatkan warga jemaat BKPN yang masih baru.
Selama tiga dekade melayani wanita asli desa Orahili Fau ini telah meninggalkan kesan yang tak terlupakan di antara warga jemaat yang pernah dilayaninya. Ia menggembalakan umat Tuhan dalam kesetiaan. Tangannya senantiasa terbuka menyambut setiap jemaat yang datang untuk didoakan, dikuatkan dengan nasihat firman Allah.
Ia dekat dengan hampir semua jemaat mulai dari anak-anak Sekolah Minggu hingga kaum lansia. Langkahnya tidak berat untuk berkunjung ke medan pelayanan yang berat sekalipun. Bahkan sebulan yang lalu ketika tubuhnya sudah semakin lemah akibat digerogoti kanker ia masih mengunjungi beberapa jemaat dan rekan sepelayanan yang juga terbaring sakit.
Oleh warga jemaat dan rekan-rekan sepelayanannya, Pdt. Ibahati dikenal sebagai pengayom. Ephorus BKPN, yaitu Pdt. Aroziduhu Hulu dalam orahua-nya (musyawarah adat) mengatakan bahwa Pdt. Ibahati statusnya bukan hanya pendeta di BKPN tetapi juga ibu bagi BKPN. Sebutan ini tidaklah berlebihan bila rekam jejak beliau ditelisik. Sebagai ibu (gembala) sejak awal (1994) ia senantiasa memastikan kebutuhan rohani anak-anaknya cukup.
Baginya pelayanan adalah prioritas. Hatinya akan gusar sekali bila ada pelayanan yang terbengkalai. Peranan ini tidak hanya berlaku bagi warga jemat tetapi juga bagi rekan-rekannya sesama hamba Tuhan. Sekitar 60 orang Pendeta dan belasan Vicar di BKPN merasakan kasih yang sama. Dalam berbagai pertemuan para hamba Tuhan yang menyisakan pergumulan yang pelik, Pdt. Ibahati hadir menjadi jawaban. Kata-kata kekuatan, nasihat bahkan teguran keras berani diutarakannya demi kebenaran. Namun yang menarik, hardikan kerasnya selalu berujung dengan pelukan kasih. Dan dia tidak segan meminta maaf kepada para juniornya bila dia menyinggung perasaan mereka.
Kepribadian seperti itu menempatkan Pdt. Ibahati menjadi sosok hamba Tuhan yang dicintai dan kehadirannya selalu dirindukan. Hidupnya adalah khotbahnya. Hidupnya berbicara jauh lebih lantang dibanding suaranya di atas mimbar.
Pdt. Ibahati telah meninggalkan kita semua. Ucapan terimakasih dan hormat setinggi-tingginya untuk setiap pengabdiannya. Cinta yang tulus mengiringi perjalanannya menuju pangkuan Gembala Agung. Perenungan bagi kita semua: adakah cinta yang sama menyertai perjalanan kita ketika tiba saatnya menghadap Pencipta?
*) Penulis adalah Pendeta gereja BKPN Jemaat Persiapan Jakarta.