Gerhana dan Kisah Konyol 33 Tahun Lalu yang Masih Tersisa

Etis Nehe | Dok. Pribadi

Etis Nehe | Dok. Pribadi

Oleh Etis Nehe*

11 Juni 1983. Itu adalah hari Sabtu.

Hari itu adalah hari “H” yang ditunggu-tunggu. Bukan karena sesuatu yang memang layak ditunggu karena merupakan kabar gembira atau kejutan luar biasa. Tapi justru ditunggu dengan harapan momen yang menegangkan itu segera berlalu.

Hari itu adalah hari terjadinya Gerhana Matahari Total (GMT). Saat itu saya berusia 6,5 tahun dan baru akan memasuki kelas 1 Sekolah Dasar (SD) sebulan kemudian. Usia yang hampir sama dengan anak sulung saya, Samuel yang saat ini duduk di kelas 1 SD.

Berada pada momen GMT yang historis 33 tahun lalu perbedaannya antara langit dan bumi dengan GMT pada 8 Maret 2016, hari ini.

Di desa kelahiran saya dan tempat saya dibesarkan, Desa Bawömataluo, saat itu, suasana begitu mencekam. Bukan hanya pada hari itu, tetapi beberapa minggu sebelumnya dan terutama beberapa hari dan beberapa jam memasuki tanggal 11 Juni 1983.

Meski masih kanak-kanak, saya tahu persis para orangtua berbicara dan saling mengingatkan mengenai hari “H”, 11 Juni 2016 tersebut. Mereka berbicara mengenai informasi, yang lebih tepatnya sebagai perintah untuk bersembunyi di dalam rumah saat GMT itu tiba. Lalu, mereka mulai mengkaji ini itu mengenai ‘makhluk’ bernama GMT dan dampak buruknya.

Ada yang mencoba menjelaskannya secara ‘ilmiah a la orang kampung’ dengan bahan yang pas-pasan. Maklum, saat itu, di desa didominasi orang dewasa dengan pengetahuan pas-pasan pula apalagi soal gerhana. Mereka umumnya tidak lulus SD. Itu pun sekolah zaman Belanda dan Jepang. Mereka generasi anak sekolahan yang masih memakai batu sebagai buku tulis mereka.

Ada juga yang menghubungkannya dengan mitos dan keyakinan mistis tertentu. Maklum lagi, saat itu, praktik mistis di kalangan masyarakat di desa saya masih hal lazim.

Seminggu menjelang hari “H”, suasana tampak semakin mendebarkan. Mencemaskan. Semua orang dewasa di desa telah bersiap-siap mempersiapakan semua upaya penyelamatan diri dan keluarga. Dimulai dari menyediakan karung, karung goni, terpal dan oloso (mirip terpal yang dianyam secara tradisional di Nias, khususnya di Nias Selatan. Biasa digunakan untuk alas menjemur padi, kacang atau hasil kebun lainnya. Bahan yang sama juga bisa dibentuk menjadi karung khas Nias).

Dilanjutkan dengan Famönö Salo’ö, sebuah kebiasaan masyarakat Nias dimana segala kebutuhan selama hari Minggu esoknya dan Senin pagi, lusanya, semua disiapkan pada hari Sabtu itu. Sebab, pada hari Minggu, seluruh warga tidak akan melakukan aktivitas selain pergi ke gereja dan berkumpul dengan keluarga dan kerabat se-kampung maupun mengunjungi kerabat di kampung lain. Namun karena keadaan genting saat itu, kegiatan famönö salö’ö dilakukan lebih cepat karena hari “H” GMT bertepatan pada hari Sabtu.

Sehari sebelum hari “H” dan hingga beberapa jam sebelum waktu itu tiba, warga ramai-ramai menutup semua celah di rumah. Menggunakan karung, goni, terpal, ataupun oloso tadi. Semua celah di dinding dan atap rumah disapu bersih untuk ditutup. Semua akses cahaya ke dalam rumah, misalnya atap plastik transparan atau kaca bening berukuran kecil di atap juga harus ditutup.  Semua celah ditutup berlapis-lapis.

Praktis rumah benar-benar gelap gulita. Panas dan menggerahkan. Tak hanya harus bersembunyi, juga tidak boleh berisik.

Meski seluruh rumah telah ditutupi, namun, rata-rata warga memilih tempat yang lebih tertutup lagi untuk tempat perlindungan teraman. Kamar tidur utama adalah pilihan terbaik. 

Makanan juga telah dimasak lebih banyak sejak pagi agar sepanjang hari tidak perlu keluar dari tempat persembunyian guna menghindari dampak buruk GMT.

Saat itu, kami bersembunyi di kamar tidur utama rumah sederhana kami. Termasuk adik saya yang baru berusia 4 bulan saat itu. Rumah kami saat itu masih dalam keadaan ‘asal bisa jadi tempat berteduh sementara’. Pembangunannya belum selesai. Lantainya sebagian besar masih tanah yang sudah dikeraskan. Masih bolong besar di sana-sini. Yang lengkap cuma atapnya saja. Sebagian rumah bahkan belum ada pintu dan jendelanya sehingga perlu upaya ekstra menutup seluruh rumah.

Beberapa hari sebelumnya, petugas ronda tradisional yang secara tradisional disebut Sana’a, saban hari dan malam selalu ‘berteriak’ keliling kampung mengingatkan agar semua mempersiapkan diri menghadapi hari “H” GMT. Sana’a ini adalah tim ronda tradisional yang sudah ada sejak berabad-abad lalu, yang dilakukan bergantian berdasarkan kelompok-kelompok yang diatur melalui sistem adat. Mereka ini mirip pecalang di Bali.

Pada hari “H”, merekalah orang terakhir yang berani berseliweran di luar rumah mengingatkan warga di detik-detik terakhir untuk bersembunyi. Setelah memastikan semuanya sepi, tidak ada lagi yang berada di luar rumah, mereka baru ke rumah masing-masing untuk bersembunyi bersama keluarganya.

Tidak ada yang tahu pasti berapa lama mestinya bersembunyi. Tapi yang jelas rata-rata orang desa bersembunyi waktu itu lebih dari satu jam. Bahkan ada yang lebih dari 3-4 jam. Mereka baru keluar rumah setelah mendengar suara para Sana’a memberi kabar bahwa keadaan sudah aman untuk keluar rumah.

Cuplikan gerhana di berbagai wilayah, Rabu, 9 Maret 2016 | Metro Tv

Cuplikan gerhana di berbagai wilayah, Rabu, 9 Maret 2016 | Metro Tv

Ragu, Penuh Tanya

Saat itu, sepanjang proses persembunyian itu saya terus bertanya-tanya kepada kedua orang tua saya apa sebenarnya yang terjadi; apa yang sedang dihindari; apa dampaknya sehingga kami harus seekstrim itu melakukan upaya penyelamatan diri.

Bapak dan mama saya juga tidak bisa menjelaskan dengan baik apa sebenarnya yang sedang terjadi. Hanya menjelaskan bahwa, “Akan terjadi yang namanya gerhana. Dan sesuai fareta (perintah) dari Famareta (Pemerintah) semua orang harus bersembunyi supaya tidak mengalami akibatnya,” jelas Bapak saya.

Ketika saya tanya kenapa sampai seperti itu, Bapak hanya menjelaskan bahwa, “Katanya gerhana itu bisa merusak, berbahaya. Katanya bisa bikin buta.”

Saya terus bertanya, kalau cuma bisa bikin buta, kenapa harus menutup rumah sampai seperti itu. Bukankah cara terbaik dan praktis untuk melindungi diri adalah dengan tidak melihat matahari? Dari penjelasan kedua orangtua saya, maupun para orang dewasa di kampung saat itu, tak cuma hanya melihat mataharinya saat gerhana yang berbahaya. Akan tetapi, juga tidak boleh melihat cahaya sama sekali selama masa tertentu itu. Itu sebabnya kenapa semua akses cahaya ke dalam rumah harus ditutup rapat.

Selama dalam persembunyian itu, bapak mama meminta kami untuk tidur. Itu salah satu strategi agar kami lebih aman. Dengan tidur, maka kami tidak perlu diawasi atau berpotensi lolos dari pengawasan mereka dengan menerobos keluar rumah di saat GMT terjadi. Karena keingintahuan dan sekaligus ketidakpercayaan dengan apa yang sedang kami jalani saat itu, saya hanya meringkuk di balik selimut tebal dan tidak tidur. Ya, meski sudah di dalam rumah yang gelap gulita, kami pun masih harus membungkus diri dengan selimut hingga kepala agar terhindar dari melihat cahaya yang dikatakan berbahaya itu.

Selama meringkuk di balik selimut itu saya terus bertanya. Ada apa sebenarnya yang terjadi. Saya bingung karena tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Saya baru tahu jawabannya hingga sebulan lalu, atau 33 tahun kemudian, ketika mulai ramai pemberitaan mengenai GMT yang terjadi hari ini. Yaitu, dampaknya pada mata, yang bisa menyebabkan kebutaan bila melihat matahari pada masa transisi menuju dan setelah gerhana total.

Dan yang lebih menggembirakan, seiring dengan heboh GMT hari ini, saya juga menemukan penjelasan mengenai kekonyolan 33 tahun lalu itu dari berbagai pemberitaan dan artikel ilmiah yang sempat saya baca.

Dalam beberapa pemberitaan, media dan berbagai pihak mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kekonyolan pada 33 tahun lalu itu pada momen GMT tahun ini. Dan gayung bersambut, pemerintah pun, setidaknya yang saya tahu, Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengulangi kesalahan pada tiga dekade lalu itu. Sebaliknya yang dilakukan adalah melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai apa itu gerhana matahari total, apa manfaat yang bisa diperoleh dari momentum itu (khususnya di bidang pariwisata), apa bahayanya bila melihat langsung gerhana pada waktu tertentu dan bagaimana mengantisipasinya.

Usut sana-sini, ternyata, perintah agar seluruh rakyat negeri kala itu agar menyembunyikan diri dari menyaksikan keindahan alam dan keajaiban karya Tuhan itu datang dari Presiden Soeharto langsung. Melalui para menteri dengan corong utama Menteri Penerangan Harmoko (yang kemudian ketika saya kelas 5 SD ikut berbaris menyambutnya ketika berkunjung di desa saya itu) mengintensifkan penyebarluasan pesan menakutkan itu kepada masyarakat. Dari beberapa informasi menyebutkan, polisi dan tentara digerakkan untuk memastikan perintah itu dilakukan seluruh rakyat.

Lebih lengkap mengenai kisah pada dibalik 11 Juni 2016 tersebut bisa dibaca di antaranya di sini: Gerhana Matahari Total dan Paranoia Penguasa Orba; dan Kenapa Gerhana Matahari Total 1983 Dianggap Mengerikan?

Tak heran bila Pulau Nias yang masih sangat terpencil dan terisolir saat itu, bahkan hingga pelosok desa semua warga tahu dan begitu responsif menyikapi perintah itu. Tanpa banyak tanya dan tanpa basa-basi langsung mempersiapkan upaya penyelamatan diri dan keluarga masing-masing.

Ironisnya, seperti dalam catatan sejarah, ternyata pada saat GMT 1983 itu, justru para ahli dari luar negeri berbondong-bondong menyaksikan, mendokumentasikan dan menyiarkan momen yang sangat langka itu. Sebaliknya, rakyat Indonesia, selain disuruh meringkuk dalam kegelapan di rumah masing-masing, hanya disajikan tayangan play back melalui satu-satunya stasiun televisi saat itu, TVRI yang terkenal dengan slogannya, “Menjalin Persatuan dan Kesatuan” itu.

Kami yang di Pulau Nias kala itu, bahkan bisa dihitung dengan jari rumah yang memiliki televisi yang biasanya berukuran besar karena diletakkan dalam kotak kayu khusus. Televisi tabung itu juga masih hitam putih. Layanan listrik juga saat itu sangat terbatas, termasuk di desa saya. Listrik dan televisi saat itu baru dinikmati di Kota Gunungsitoli, Ibukota Kabupaten Nias kala itu, yang berjarak 130 km dari desa saya. Itu pun tidak semua warga bisa menikmati listrik di rumah. Jalan raya yang ada pun sangat terbatas. Dan kalau ada, lebih banyak berupa jalan dengan pengerasan saja.

Meski begitu, kegentaran akibat informasi GMT itu menusuk hingga ke sumsum. Dan itu sangat membekas di ingatan saya dan banyak rekan sebaya sampai kini. Beberapa teman sebaya saya juga masih mengingat hal itu dengan sangat baik. Mereka masih sangat ingat momen sembunyi di kolong ranjang di rumah masing-masing. Ah, benar-benar konyol setiap kali mengingatnya.

Hari ini, anak saya, Samuel yang berusia hampir sama dengan saya pada momen 33 tahun lalu itu, bertemu dengan momentum GMT itu kembali. Tidak di Desa Bawömataluo yang kini sudah dijejali jaringan listrik dan televisi. Tetapi, di Jakarta, Ibukota negara.

Saya tidak bisa membawanya ke tempat dimana GMT itu bisa dinikmati dengan penuh, di 8 titik di Indonesia. Seperti di Palu, Poso, Ternate, Belitung dan Kalimantan Tengah.

Dua hari lalu, dia sudah bertanya-tanya mengenai apa itu gempa. Kini saya bisa menjelaskannya dengan baik kepadanya. Saya menggambarkannya di papan tulis kecil di rumah. Setelah dia mengerti, giliran dia berkali-kali menguliahi kami di rumah mengenai apa itu gerhana, terakhir tadi pagi sebelum puncak GMT. Juga dengan cara menggambar di papan tulis dan menunjukkan gerak rotasi bulan dan bumi yang berkenaan dengan terjadinya gerhana tersebut.

Kami menyaksikan GMT hari ini secara langsung. Ya, langsung yang tak langsung. Kami menyaksikannya melalui siaran langsung dari televisi di rumah. 😀 Di luar rumah, kami memang bisa melihat matahari tanpa terganggu awan. Tetapi, kacamata hitam yang kami punya tidak memenuhi standar untuk bisa melihat langsung ke matahari. Karena berisiko, akhirnya kami memutuskan hanya menonton siaran langsung dari televisi.

Setidaknya, saya telah memastikan, bahwa ketiga anak kami, termasuk yang baru berusia 4 bulan empat hari lalu juga menyaksikan momentum GMT hari ini. Saya mengabadikannya melalui beberapa foto yang akan menjadi kenangan bagi mereka kelak, ketika dewasa, bahkan ketika memiliki anak-anak juga untuk mereka ceritakan pengalaman langka ini. Juga menceritakan pengalaman konyol kami ketika kecil kepada anak-anak mereka kelak. Dengan harapan, mereka tidak mengulangi kekonyolan yang kami pernah rasakan.

Semalam, ada dua momen penting yang harus ikut saya tulis di sini. Ketika berdoa saat kami makan malam, Samuel meminta kepada Tuhan agar menolong dan menjaga kami sepanjang malam hingga esok (hari ini) agar bisa menyaksikan gerhana matahari. Saya terharu – dan senyum-senyum – mendengar doa tulusnya itu.

Dan yang paling penting, istri saya memberitahukan kepada saya pagi tadi, isi pembicaraan ketika Bapak saya menelpon dari kampung semalam. Pesan singkat dari Bapak dalam percakapan singkat itu adalah: “Kalian jaga baik-baik itu anak-anak besok saat terjadi gerhana ya. Kalian jangan keluar rumah.” Tak cuma kami, adik-adik saya yang lain juga ditelpon dengan pesan yang sama.

Rupanya Bapak masih terpengaruh kuat oleh horor 33 tahun lalu itu. 😀

*Penulis, warga Nias tinggal di Jakarta.

About the Author
  1. alex Reply

    Sebenarnya gerhana 33 tahun yang lalu itu memang berbahaya juga kalau tidak dihindari. Mengapa pemerintah menyuruh untuk tidak keluar rumah? Karena pemerintah kawatir, rasa keingintahuan masyarakat terlalu tinggi terhadap gerhana yang membuat akibat fatal jika dilihat. Meskipun diizinkan keluar rumah dan melarang untuk melihat matahari, namun namanya manusia karena keingintahuannya terlalu tinggi, pasti akan dilihat juga, apalagi pada saat gerhana matahari total terjadi kegelapan. Jadi otomatis lebih bagus disuruh istrahat dirumah saja daripada pemerintah juga yang disalahkan nantinya kalau terjadi yang tidak diinginkan.

  2. Godok Reply

    Itulah masyarakat kita ini… semua serba salah… disuruh itu katanya ini… disuruh ini, katanya itu… dan semuanya salah pemerintah yang dulu, sekarang dan nanti… hahahahaha….

Leave a Reply

*

Translate »