Bukan Penganut 6 Agama Diakui, Bisa Cantumkan “Penghayat Kepercayaan” di KTP

NIASSATU, JAKARTA – Masyarakat Indonesia yang memiliki kepercayaan/agama di luar enam agama yang diakui pemerintah selama ini kini bisa mencatatkan pada kolom Agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka dengan keterangan Penghayat Kepercayaan. 

Terobosan baru tersebut menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, mengikat dan langsung berlaku yang dibacakan pada persidangan pada Selasa, 7 November 2017 di Gedung MK di Jakarta.

MK mengabulkan gugatan para pemohon yang merasa dirugikan dengan pengaturan terkait status keagamaan yang selama ini diberlakukan sesuai dengan UU Administrai Kependudukan dan Catatan Sipil. Selama ini, hanya identitas enam agama yang diakui yang bisa dicatatkan dalam kolom agama di KTP. Sedangkan bila tidak menganut keenam agama tersebut dipersilakan mengosongkan kolom agama.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan kata ‘agama dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’,” ucap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan dengan nomor Nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut.

Dalam penjelasannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, pembedaan terhadap para penghayat kepercayaan berdasarkan UU tersebut warga negara penghayat kepercayaan kesulitan memperoleh KK maupun KTP-el.

“Dengan dikosongkannya elemen data kependudukan tentang agama juga telah berdampak pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti perkawinan dan layanan kependudukan. Sehingga, penganut kepercayaan tidak mendapatkan jaminan kepastian dan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diperoleh warga negara lainnya. Pada saat yang sama, hal demikian merupakan sebuah kerugian hak konstitusional warga negara yang seharusnya tidak boleh terjadi,” jelas Saldi.

MK juga memutuskan bahwa penulisan keterangan agama para penghayat kepercayaan tidak perlu secara spesifik berdasarkan nama aliran kepercayaan yang dianut. Melainkan cukup dengan keterangan “Penghayat Kepercayaan” saja. 

“Bahwa untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud dan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain,” lanjut Saldi.

Merespons keputusan MK tersebut, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya akan menaatinya dengan melakukan penyesuaian untuk mengakomodir para penghayat kepercayaan. Pihaknya juga akan mendata aliran kepercayaan di seluruh Indonesia.

“Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan kementerian pendidikan untuk mendapatkan data kepercayaan yang ada di Indonesia. Kemdagri melalui Ditjen Dukcapil akan memasukan kepercayaan tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan,” ujar Mendagri Tjahjo.

Setelah mendapatkan data daftar kepercayaan tersebut, pihaknya akan memperbaiki database kependudukan dan juga aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

Selama ini, aturan terkait pencantuman identitas agama dalam KTP terus menjadi kontroversi. Ada yang menginginkan penghapusan kolom agama, juga ada yang mempertanyakan norma bahwa hanya enam agama yang diakui oleh negara saja yang bisa diisi pada kolom agama. Sebab, kebijakan tersebut dinilai diskriminatif terhadap masyarakat yang tidak menganut keenam agama tersebut atau yang lazim dikenal sebagai penghayat kepercayaan atau agama-agama tradisional yang lahir jauh sebelumnya dan dipraktikkan di Nusantara.

Pemerintah sempat membuat kebijakan agar bagi mereka yang tidak menganut salah satu dari keenam agama yang ada, agar mengosongkan kolom agama pada KTPnya. Namun, hal itu dinilai tidak menyelesaikan masalah karena membuat perlakukan diskriminatif dan adanya hak-hak masyarakat penghayat kepercayaan yang terganggu.

Dengan keputusan MK tersebut, maka negara mengakui status penganut agama-agama tradisional atau para penghayat kepercayaan kini memiliki status yang sama dengan penganut enam agama yang telah diakui sebelumnya. (ns1)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »