DAMPAK LONGSOR

7 Rumah Adat Berusia Ratusan Tahun di Nias Selatan Dibongkar

Salah satu rumah adat di Desa Hiliamaetaniha, Kec. Luahagundre, Nias Selatan yang terpaksa dibongkar akibat longsor di desa itu | Dok. Kornelius Wau

NIASSATU, NIAS SELATAN – Imbas dari cuaca buruk yang menyebabkan hujan berlarut-larut dalam dua bulan terakhir di Pulau Nias terus menimbulkan kerugian. Tak cuma kerugian material maupun sosial akibat terjadinya pengungsian warga, tetapi juga kerugian dari sisi sejarah dan budaya karena menyebabkan sejumlah rumah adat harus dibongkar.

Pembongkaran rumah adat tersebut terjadi di Desa Hiliamaetaniha, Kecamatan Luahagundre. Longsor di desa tersebut terjadi sejak 8 November 2017.

“Total yang sudah dibongkar sebanyak delapan rumah. Dan masih ada tiga lagi yang akan dibongkar. 10 lainnya dibongkar separuh saja. Dari total rumah yang dibongkar itu tujuh di antaranya adalah rumah adat,” ujar Ketua Posko Bencana Longsor Desa Hiliamaetaniha, Kecamatan Luahagundre Kornelius Wau kepada Nias Satu melalui telpon selulernya, Senin (11/12/2017).

Dia mengatakan, selain tujuh rumah ada yang sudah dibongkar, masih ada satu lagi rumah adat yang secara visual perlu dibongkar. Namun, sampai saat ini belum diputuskan untuk dibongkar.

“Untuk yang satu lagi, masih dikoordinasikan. Tadi juga Kadis Budpar Nias Selatan mengatakan akan dikonsultasikan dulu kepada para ahli apakah rumah itu perlu dibongkar selain juga mempertimbangkan keluarga yang tinggal di dalamnya sebanyak empat keluarga. Tetapi, bagian belakang rumah itu memang sudah longsor,” jelas Kornelius.

Pembongkaran dilakukan selama beberapa hari, mulai dari Selasa (5/12/) sampai Sabtu (9/12).

Dia menjelaskan, keputusan pembongkaran rumah-rumah tersebut, termasuk rumah-rumah adat diambil dalam musyawarah desa guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bila bangunan-bangunan tersebut tidak dibongkar.

“Kalau tidak dibongkar, membahayakan bagi penghuni dan juga bagi rumah-rumah di sebelahnya,” tutur dia. Dia mengatakan, proses pembongkaran juga melalui prosesi adat, di antaranya dengan pemotongan babi dan pelaksanaan doa.

Dia memastikan tidak ada korban jiwa akibat imbas dari longsor dan pembongkaran rumah-rumah tersebut.

Khusus rumah-rumah adat yang dibongkar, dia mengatakan, 80% masih bisa digunakan kembali bila rumah-rumah itu didirikan kembali. Saat ini, bongkaran rumah-rumah tersebut diamankan menggunakan tenda-tenda yang disumbang oleh Keuskupan Sibolga melalui Komunitas Caritas Gunungsitoli.

“Dari Carita ada bantuan tenda. Selain digunakan untuk warga yang mengungsi, juga dipakai untuk mengamankan bongkaran bangunan rumah. Dengan tenda itu diperkirakan bisa bertahan sampai dua bulan. Tetapi setelah itu, kita tidak tahu akan seperti apa,” papar dia.

Dia mengatakan, tim dari Dinas PU Pemda Nias Selatan juga sudah datang untuk melihat seperti apa kondisi longsor dan apa yang menjadi penyebabnya.

“Untuk longsor itu, Dinas PU akan menilai. Bila tidak membahayakan, maka bisa ditimbun dan dipasangi penguat lainnya. Setelah itu selama satu tahun ke depan akan dilihat apakah lokasi tersebut masih aman untuk dibangun atau rumah-rumah tadi didirikan kembali atau perlu direlokasi. Cuma untuk relokasi, itu wewenang dinas terkait lainnya nanti,” tambah dia.

Selain itu, kata dia, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nias Selatan juga sudah datang dan berkomitmen untuk menindaklanjutinya kepada pihak-pihak terkait.

“Jadi, kita tunggu follow-up-nya,” tutup dia.

Pertapakan Rumah Beton yang telah dibongkar di Desa Hiliamaetaniha, Kec. Luahagundre, Nias Selatan | Dok. Kornelius Wau

Untuk diketahui, Desa Hiliamaetaniha adalah salah satu perkampungan tradisional yang masih mengoleksi banyak rumah tradisional khas Nias Selatan yang rata-rata telah berusia ratusan tahun. Rumah-rumah tersebut seperti juga rumah di desa-desa tradisional lainnya didesain dengan kemampuan tahan gempa.  

Desa Hiliamaetaniha merupakan daerah perbukitan yang berdampingan dengan wilayah Pantai Lagundri dan Pantai Sorake yang terkenal sebagai salah satu tempat selancar terbaik di dunia. Keberadaannya di perbukitan dekat pantai tersebut membuat Desa Hiliamaetaniha menjadi salah satsu tempat terbaik menikmati pemandangan laut maupun untuk menginap bagi para turis. Namun, letak geografis desa itu dan intensitas hujan yang ekstrim dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan dana di tempat itu labil dan mengalami longsor.

Warga desa banyak yang terpaksa mengungsi. Selain itu, mereka juga membutuhkan biaya untuk kebutuhan dalam pengungsian dan pembangunan kembali rumah mereka. Biaya yang jauh lebih besar biasanya diperlukan untuk mendirikan ulang rumah adat tersebut karena selain kerumitannya juga membutuhkan tukang-tukang yang ahli di bidang itu rumah tradisional Nias Selatan tersebut. (ns1)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »