Mengenal Acara “Suno Zo’aya”
Oleh Pdt. Novelman Wau, S.Th.
NIASSATU, JAKARTA – Suno Zo’aya yang berarti “Pujilah Tuhan” adalah tema malam pujian dalam rangka syukuran satu tahun pelayanan BKPN (Banua Keriso Protestan Nias) di Jakarta pada 2018. Saat itu sejumlah lagu-lagu rohani berbahasa Nias dibawakan oleh Owo Voice, Fornisel, IWKN, Asio Star dan BKPN sendiri.
Acara ini awalnya dirancang hanya untuk sekali gelar saja. Namun melihat respon positif dari masyarakat Nias diaspora di Jabodetabek terhadap malam pujian ini maka BKPN Jakarta memutuskan untuk mengagendakannya sebagai event tahunan dengan nama Suno Zo’aya. Acara tahun lalu dianggap sebagai Suno Zo’aya 1 dan tahun ini Suno Zo’aya 2.
Suno Zo’aya berangkat dari satu keyakinan akan kualitas lagu-lagu rohani berbahasa Nias baik terjemahan dari lagu-lagu Eropa warisan para misionaris yang pernah melayani di Kepulauan Nias maupun lagu-lagu asli gubahan orang Kristen-Nias sendiri.
Menyanyikan lagu-lagu berbahasa Nias memberikan pengalaman tersendiri. Sebab selain warna nada-nadanya yang khas, juga pilihan kata-katanya yang mendalam dan hanya bisa dihayati kedalamannya bila dinyanyikan dalam bahasa ibu, bahasa Nias.
Namun sayangnya keyakinan ini tidak selaras dengan kenyataan. Banyak orang Nias diaspora yang telah sekian lama merantau, secara perlahan tercabut dari kekayaan rohaninya. Dari pengamatan kami setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan hal ini.
Pertama pemahaman yang tidak seimbang yang menganggap bahwa lagu-lagu dari Buku Zinunö dan lagu-lagu rohani berbahasa Nias lainnya sudah ketinggalan zaman, kelas kampung. Sebaliknya kami justru melihat kekayaan rohani ini telah berhasil melampaui lintas zaman sejak digubah di Eropa sana hingga dibawa ke daratan Nias oleh para misionaris.
Penyebab kedua adalah faktor lingkungan di perantauan membuat masyarakat Nias diaspora tidak selalu berkesempatan mendengar atau melantunkan syair-syair rohani dalam bahasa daerahnya.
Dan yang ketiga yaitu gempuran lagu-lagu pop rohani yang silih berganti datang dan pergi begitu cepat. Limpahan lagu-lagu kontemporer ini membuat lagu-lagu klasik termasuk yang dimiliki oleh suku Nias makin sulit mendapat ruang dalam memori jemaat.
Suno Zo’aya dirancang untuk menjawab tantangan di atas. Kami berusaha mempersiapkan acara ini sebaik mungkin (walau masih jauh dari sempurna) supaya menarik dan menggerakkan orang-orang Nias diaspora untuk menyisihkan sedikit waktunya yang demikian ketat di tengah-tengah kesibukan kota metropolitan.
Memori akan kenangan suasana ibadah di kampung halaman kami coba sentuh juga dalam pekerjaan ini. Namun itu bukanlah tujuan utama. Semuanya itu hanya alat untuk menghadirkan sesuatu yang jauh lebih berarti, yaitu kesadaran bersama akan nilai-nilai yang terkandung dalam lagu-lagu rohani berbahasa Nias – lagu-lagu yang pernah kita dengar di ruang-ruang Sekolah Minggu, lagu-lagu yang pernah menaburkan benih iman dalam hati kita.
Terlalu sayang bila warisan kekayaan ini habis ditelan zaman. Saatnya kembali orang Nias diaspora mencintai dan melantunkan syair-syair tradisionalnya di samping kumpulan lagu-lagu rohani berbahasa Indonesia dan Inggris yang bertaburan di sekitar kita.
Suno Zo’aya sebagaimana artinya “Pujilah Tuhan” berkomitmen menjadikan penyembahan kepada Allah sebagai tujuan akhir dari pekerjaan ini. Lewat acara ini kami mencoba menolong umat Tuhan masuk dalam satu pemahaman yang benar, yaitu puncak dari segala ibadah, bahkan hidup termasuk pengabdian kita adalah untuk kemuliaan Tuhan saja.
Bukan bagi manusia, bukan bagi (organisasi) gereja dan bukan pula bagi rohaniawan atau tokoh-tokoh tertentu. Karena itu Suno Zo’aya tidak sama dengan konser sekuler manapun. Ini bukan pertunjukkan, tetapi ibadah. Bila ada ada hal-hal unik yang ditampilkan itu tidak boleh menjadi fokus. Sebaliknya itu justru didedikasikan sebagai puji-pujian bagi Tuhan. Harapan kami kiranya setiap elemen menarik dalam malam pujian ini dapat menggemakan dua kata dalam hati hadirin: Suno Zo’aya!
Suno Zo’aya juga sebagai wadah oikumenis di antara masyarakat Nias diaspora. Nias termasuk suku kecil di negeri ini. Populasinya di Jabodetabek pun termasuk kecil dibanding suku-suku lain. Walaupun begitu, data ini tidak mencegah orang Nias membentuk kelompoknya masing-masing berdasarkan marga, asal kampung, öri, wilayah dan termasuk aras gereja. Keragaman ini patut dihargai dan didukung keberlangsungannya. Namun, keragaman tidak boleh membatalkan kenyataan utama bahwa kita sama-sama Ono Niha dari Hulo Niha.
Diharapkan melalui event Suno Zo’aya setiap orang Nias diaspora boleh berkumpul, bergandengan tangan untuk memuliakan Allahnya. Moga-moga pelayanan ini ikut berkontribusi dalam merekatkan kekerabatan masyarakat Nias diaspora. Selanjutnya pekerjaan Suno Zo’aya terlalu besar untuk dikerjakan sendiri karena itu kami membuka tangan lebar-lebar mengajak serta masyarakat Ono Niha melayani dan memuliakan Tuhan bersama-sama.
Konteks Suno Zo’aya ini adalah Nias. Konteks ini mendorong kami untuk lebih menghargai dan mau ambil bagian dalam upaya pelestarian kearifan lokal suku Nias. Penghargaan bukan hanya sebatas pemakaian bahasa daerah dan ornamen-ornamen khas Nias tetapi lebih jauh lagi elemen-elemen budaya eksotik seperti hoho dipersembahkan bagi Tuhan sembari tetap mawas diri akan bahaya sinkritisme.
Sekian lama kekayaan budaya Nias di masa lalu dicemari kekafiran. Saatnya mentransformasi warisan budaya leluhur dan mendedikasikannya bagi Allah, sang Tuan atas segala budaya umat manusia.
Mari bergabung bersama kami merayakan kasih Tuhan yang terbesar bagi manusia, dan menikmati kasih-Nya dengan memuji Dia dalam acara perayaan Natal BKPN Jemaat Persiapan Jakarta dan sekaligus malam pujian Suno Zo’aya pada:
Hari, Tanggal: Sabtu, 7 Desember 2019 Tempat : Aula H. S. Djayusman, Korlantas Polri, Jl. MT. Haryono Kav. 37-38, Jakarta Selatan Waktu : 17.00-20.00 WIB
Kami menanti kehadiran saudara-saudari.
Suno Zo’aya!
*) Penulis adalah Pendeta Jemaat gereja Banua Keriso Protestan Nias (BKPN) Jemaat Persiapan Jakarta.