Pariwisata Nias Butuh Tindakan Nyata, Diskusi Sudah Cukup!
Oleh Etis Nehe*
NIASSATU, JAKARTA – Akhir-akhir ini, soal pembangunan kepariwisataan kembali menjadi topik hangat di Nias. Kepariwisataan tiba-tiba menjadi pusat perhatian, yang dipersepsikan sebagai solusi penting – beberapa bahkan mempersepsikan seolah-olah kepariwisataan itu solusi utama – untuk memajukan Nias dan memperbaiki kehidupan di sana.
Salah satunya, tidak terlepas dari penyelenggaraan Lokakarya Nasional Pembangunan Kepariwisataan Kepulauan Nias di kantor Bupati Nias pada Selasa-Rabu, 17-18 Juni 2014 lalu. Acara itu dihadiri oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamen Parekraf) Sapta Nirwandar, Wamen Kementerian Pekerjaan Umum Hermanto Dardak dan Staf Ahli Menteri Perhubungan Agus Edy Susilo. Acara yang digagas oleh Nias Diaspora tersebut juga menghadirkan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Suahasil Nazara, Ph.D. sebagai pembicara.
Kegiatan tersebut patut dihargai. Setidaknya, ikut memberi warna pada upaya memperkaya alternatif solusi dan pemikiran untuk memajukan Nias.
Tapi sejatinya, itu bukanlah hal baru. Pemikiran-pemikiran bahwa pariwisata itu perlu dibangun, sudah berdekade jadi bahan omongan, diskusi dan juga ‘proyek’ oleh beberapa pihak. Tapi sejatinya juga, selama berdekade pula, kepariwisataan tidak mencapai seperti yang diharapkan. Bahkan, data-data menunjukkan, kondisi kepariwisataan, salah satunya diukur dari tingkat kedatangan dan kedatangan kembali turis, makin merosot.
Kalau mau lebih praktis lagi, sederhana saja cara mengujinya. Lihat saja seperti apa kinerja dinas pariwisata dan kebudayaan di lima daerah di Nias. Lalu, lihat juga berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk kepariwisataan dan kebudayaan ataupun anggaran yang secara tidak langsung mendukung kegiatan itu.
Lihat juga seberapa banyak dan seberapa baik kapabilitas para personilnya dalam kegiatan terkait pembangunan kepariwisatan dan kebudayaan. Tidak sulit menebak hasilnya. Pariwisata dan kebudayaan, bukanlah hal penting bagi Pemda-Pemda di Nias yang notabene anggaran tahunannya habis rata-rata lebih 50% untuk menggaji pegawainya. (Bayangkan kira-kira berapa anggara untuk kegiatan kebudayaan dan kepariwisataan dari anggaran tersisa yang dibagi-bagi ke puluhan SKPD, terutama SKPD-SKPD prioritas).
Sebagai perbandingan saja. Bisa dikatakan, kepariwisataan dan kebudayaan di Nias itu selama ini identik dengan Nias Selatan. Itu pun tidak seluruh wilayah Nias Selatan. Cuma Desa Bawömataluo dan Pantai Sorake/Lagundri serta situs megalitikum di Gomo. Kalau selama ini dunia mengenal Pulau Nias, maka diakui atau tidak, beberapa tempat di Nias Selatan itulah yang berperan besar untuk itu.
Namun, perhatikan seperti apa nasib kepariwisataan dan kebudayaan di sana. Data menunjukkan, selama beberapa tahun terakhir, jumlah turis, terutama turis mancanegara yang ke Nias Selatan merosot drastis. Jadi, coba bayangkan. Daerah yang memang memiliki ‘jualan tetap bernilai tinggi’ dan telah dikenal dunia itu saja, kini hampir jadi ‘rongsokan’ karena tak lagi ramai dikunjungi. Tidak lagi jadi rujukan utama dalam bisnis kepariwisatan dan kebudayaan.
Baru-baru ini, seorang rekan yang jauh-jauh dari Jakarta bersama keluarganya datang ke Sorake mengaku kecewa. Keadaan di sana tidak seperti yang dibayangkannya sebelumnya. Bukan karena Sorake/Lagundri telah kehilangan keunikan dan keindahan ombaknya. Tapi lebih karena melihat kondisi di wilayah itu yang tidak mendukung sama sekali untuk jadi destinasi wisata, seperti seharusnya.
“Jujur, meski saya orang Nias, untuk saat ini, saya tidak berani merekomendasikan orang lain ke sana. Kondisinya sangat buruk. Tampak seperti tidak terurus. Fasilitas penunjang tidak mendukung. Entah apa kerja Pemda di sana selama ini,” ujar pria yang dikenal sebagai pembicara internasional ini.
Demikian juga dengan Desa Bawömataluo. Selama bertahun-tahun jalan menuju desa itu hancur tak karuan. Setelah semua berteriak, Pemda mulai membangun jalan. Itu pun tak ubahnya tambal sulam belaka. Sejauh ini, nasib Desa Bawömataluo, sedikit lebih baik. Bukan karena kontribusi pemda. Tapi, lebih karena: nilai jual tinggi keunikan desa itu, dua kali menyelenggarakan sendiri pagelaran budaya dan adanya perhatian dengan hadirnya tim Jepang dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang membantu kegiatan riset mendukung desa itu menjadi Warisan Dunia (World Heritage) di Unesco.
Jadi, kalau di Nias Selatan saja seperti itu keadaannya, terlebih lagi di empat daerah lainnya yang sebenarnya, harus diakui sejauh ini tidak punya ‘jualan’ yang bernilai tinggi seperti halnya di Nias Selatan. Kalau pun ada, masih jauh dari dikenal publik. Masih butuh waktu panjang untuk membuatnya menjadi jualan bernilai tinggi. Sederhananya, belum siap jual. Bisa karena sebenarnya tidak bernilai jual, atau karena belum adanya upaya sistematis membuatnya layak masuk pasar industri pariwisata.
Karena itu, juga harus dipertimbangkan ulang, apakah benar, semua daerah di Nias itu punya potensi wisata, apalagi yang berkelas dunia sehingga layak menjadikan pembangunan kepariwisataan sebagai prioritas agenda pembangunannya. Sebagai motor untuk memacu pembangunan di wilayahnya. Saya kuatir, jangan-jangan banyak yang cuma ikut-ikutan atau kehilangan orientasi memahami potensi dan prioritas pembangunan di daerahnya sehingga semua tereduksi pada urusan kepariwisatan belaka. Meyakini bahwa dengan memiliki ‘bisnis’ kepariwisatan di wilayahnya, maka wilayahnya akan maju dan lebih cepat maju dari biasanya.
Sebelum terlalu jauh, berikut ini beberapa alasan bahwa saatnya kini bertindak nyata. Bekerja.
Pertama, tidak semua daerah di Nias punya potensi wisata berkelas nasional apalagi dunia. Kalau pun ada, tidak semuanya layak jadi destinasi wisata. Karena itu, tidak serta merta kepariwisataan pasti solusi prioritas bagi semua daerah. Masih banyak masalah mendasar yang memerlukan perhatian utama dibanding kepariwisataan. Jangan sampai daerah memaksakan diri bahwa kepariwisataan itu adalah masalah utama bagi daerahnya.
Sekadar pertimbangan. Tidak setiap pantai indah, air terjun atau apapun itu namanya serta merta layak disebut sebagai destinasi wisata. Mungkin saja hanya layak jadi tempat rekreasi biasa, terutama untuk konsumsi lokal. Bahkan kalau pun layak disebut sebagai objek wisata, maka juga harus ditakar nilai jualnya. Apakah itu destinasi wisata lokal tingkat kabupaten/kota, provinsi atau nasional.
Tentu saja, perbedaan tingkatan itu juga menyangkut kondisi sebenarnya dari apa yang disebut sebagai destinasi wisata itu. Objek wisata biasa saja yang bisa ditemukan dengan mudah di tempat lain atau memang hanya ada di situ dan memiliki keunikan yang tiada duanya sehingga menjadi satu-satu-satunya tempat di dunia dimana bisa menemukannya.
Kedua, potensi-potensi destinasi wisata yang bernilai jual tinggi justru tidak mendapat perhatian. Jadi. Kalau mau serius, ya tunjukkan saja dulu dengan membenahi dan menjual dengan baik potensi yang ada itu.
Ketiga, ada kesan, para kepala daerah di Nias baru tahu apa yang bisa dan seharusnya mereka lakukan setelah ada kegiatan lokakarya itu. Padahal, selama ini tersedia prosedur baku bahkan informal yang bisa ditempuh guna melakukan apa yang semestinya dilakukan selama ini untuk pembangunan kepariwisataan. Sebenarnya ini menunjukkan bahwa memang kepala daerah selama ini tidak menganggap kepariwisataan itu sebagai hal penting dan perlu menjadi prioritas.
Keempat, dalam lokakarya itu, disepakati dua nota kesepahaman. Yakni, antar ke lima Pemda di Nias dan antara para pemda di Nias dengan Kemenparekraf, KemenPU dan Kemenhub. Sayang sekali, tampaknya kita tidak bisa berharap banyak dari kesepakatan itu. Selain membutuhkan aturan lebih detil untuk operasionalisasi kesepakatan itu, juga karena para pimpinan kementerian itu akan segera berganti dengan bergantinya kepala negara.
Sudah jadi pengetahuan umum, ganti pejabat, ganti prioritas pembangunan. Lebih dari itu, biasanya setiap kementerian itu sudah memiliki mekanisme sendiri bagaimana menempatkan program pembangunan baik dari sisi item program maupun wilayahnya yang tidak serta merta bisa dipotong kompas dengan sekedar penandatanganan MoU.
Kelima, pada 2016, Nias kembali memasuki masa suksesi kepemimpinan berupa pergantian kepala daerah. Berdasarkan kelaziman, setidaknya dua tahun sebelum waktu pemilihan itu, para kepala daerah yang berniat maju lagi sudah melakukan ancang-ancang untuk mengumpulkan ‘modal’. Hal itu juga akan memengaruhi kebijakan anggaran para kepala daerah itu. Biasanya, mereka akan memilih program-program yang populis dan umumnya yang berdampak sosial tinggi. Hampir bisa dipastikan, soal kepariwisatan tidak akan jadi prioritas.
Keenam, apakah Nias akan menjadi Kawasan Destinasi Wisata Nasional? Hmmm… jangan terlalu terburu-buru. Tidak mudah menentukan sebuah wilayah menjadi Kawasan Destinasi Wisata Nasional. Sesuai UU Kepariwisataan Nomor 9 Tahun 2010, setiap pemda wajib memiliki di antaranya Perda terkait kepariwisataan, membuat master plan atau rencana induk pengembangan kepariwisataan. Sampai saat ini, belum ada satu daerah pun di Nias yang memiliki semua yang dituntut oleh UU itu.
Ketujuh, informasi dari salah satu pejabat di Disbudpar di Nias, dalam berbagai pertemuan membahas pembangunan kepariwisataan di Nias, ternyata banyak yang terbengong-bengong ketika pembahasan. Maklum seperti selama ini jadi rahasia umum, banyak pejabat di Nias itu karena keterbatasan SDM ditempatkan tidak sesuai dengan bidangnya. Para kepala daerah pun demikian. Lebih senang bicara proyek dan soal politik. Akibatnya, acap kali kegiatan yang dilakukan, entah di Nias atau di luar Nias sebenarnya cuma buang waktu dan juga tentu saja buang-buang anggaran daerah untuk membiayai kegiatan ataupun para pejabat yang mengikuti kegiatan itu.
Catatan kritis ini tidak bermaksud mematahkan semangat ataupun tidak menghargai upaya yang sedang dilakukan untuk membangkitkan kembali sebuah gerakan kesadaran bersama untuk membangun kepariwisataan Nias atau membangun Nias melalui kepariwisataan.
Tulisan ini, sekedar membawa setiap yang terlibat, tepatnya masyarakat Nias dan terutama para pejabatnya, realistis mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang bisa dilakukan tanpa harus menghabiskan waktu dan dana untuk berbagai kegiatan yang diulang-ulang namun sebenarnya muaranya ke situ-situ juga, yakni tindakan nyata yang tidak kunjung jadi kenyataan.
Lebih baik lakukan upaya-upaya kecil namun jelas. Desa Bawömataluo telah melakukan itu. Sebaiknya para pemda di Nias belajar ke sana saja. Tinggal melakukan. Tidak perlu diseminarkan. (Baca: Prof. Suahasil Nazara: Pariwisata itu Soal Jualan Ide, Cerita dan Citra ). (NS1)
* Etis Nehe, Pemimpin Redaksi situs berita www.NiasSatu.com, pemerhati pariwisata Nias, tinggal di Jakarta.
Yup…setujuh butuh realisasi dan yang terpenting adalah kesadaran individu – individunya baik yg ada di lembaga yg terkait maupun penduduk setempat.
2 tahun lalu saya sempat berkunjung kesana, miris sekali..sarana dan prasarananya masih kurang memadai…kebersihannya juga masih kurang…kurang asri (agak sedikit gersang) dan SDM yang kurang mendukung…dan keamanan juga masih kurang mendukung.
Tulisan yg cerdas. Enak dibaca dan perlu sekali. Mewakili kegalauan umat Nias. Mudah2an para KDH di Kep. Nias bersedia meluangkan waktu membaca dan merenungi pikiran dan pendapat Bung Etis Nehe ini.
Saya senang skli membaca artikel pak etis nehe.. Semua yang di tulis diatas benar dan fakta. Contohnya ttg keindahan sorake, di you tube sorake tu bagus dan indah sprt tidak ada kelemahannya.
Saya sedikit serita (maaf bukan menjelek2 Nias) pada saat tu saya membawa rombongan dari belanda menuju sorake dan tempat lompat batu (hombo batu), rombongan tu sangan kecewa, pertama: ttg sorake, apa yg di post di internet ttg sorake tdk sesuai dgn fakta, dan website dinas pariwisata nias selatan tidak update sehingga para wisatawan yg berkunjung susah menanyakan objek2 trsb. Kedua di daerah hombo batu, disana rombongan yg saya bawa tu tdk nyaman di sebabkan banyak anak2 yg menawarkan souvenir kepada wisatawan yg berlebihan, ( tidak tempatkan di posisi yg baik oleh dispur ). Dan jg sy membawa org amerika merasa kecewa dengan pariwisata nias, mereka sulit mencari kantor dinas pariwisata nisel. Rata2 yg pernah saya bawa: tdk puas sama sekali di objek tersebut. Baik tu informasi, pelayanan, akomodasi, terlebih fasilitas yg tdk memadai sama skli. sy brhrp dispar bisa mengatasi hal ini. Maaf jk da kata2 yg slh.
Jempol untuk tulisan pak Nehe, saya setuju!…… untuk memebangun Pulau Nias perlu tindakan yang tepat, masyarakat Nias perlu pemimpin yang kreatif, jujur, cerdas dan adil tentunya untuk semua daerah bukan hanya sebagian daerah saja……
Benar “Bukanlah hal baru”, persoalaan pariwisata di ulang bicara lagi, tapi apakah sama hasilnya dengan seblumnya?
Whats going on in Nisel
lima tahun anak TK bisa saja bertamat!
Hal semacam ini sungguhlah sudah menjadi makanan kami sehari hari, complain dari tamu disetiap kali kunjungan ke tempat destinasi pariwisata di nias selatan selalu kami temui, seolah tidak ada pemecahan atau solusi dari masalah yg di hadapi pada industri pariwisata kep.nias. sangat disayangkan ide ide hanya sebatas karya khayalan saja tanpa ada aplikasi real. Penyelenggaraan Lokakarya Nasional Pembangunan Kepariwisataan Kepulauan Nias di kantor Bupati Nias pada Selasa-Rabu, 17-18 Juni 2014 lalu menghasilkan MOU yg hingga kini tdk terlaksana. Kepedulian dan kesadaran akan pentingnya sadar wisata seakan telah hilang dalam kehidupan masyarakat nias selatan atau nias pada umumnya.
Bila mau jujur, masyarakat nias yg berdomisili disekitar lokasi pariwisata tdk mau utk melestarikan lingkungan dan tdk mau menerima advise utk memajukan kepariwisatan disekitarnya. Bila ditegur terkesan tdk senang dan tdk sedikit yg mengambil sikap marah tak jelas. Huh… sebagai pelaku pariwisata yg menggantungkan hidup dari pariwisata, saya hy dapat mengelus dada saja… berharap pemerintah dpt mendengar dan membuka diri dalam rembuk kepariwisataan kep. Nias. Akhir kata, tetap optimis. Salam pariwisata – Salam pesona kep. Nias “Ya’ahowu”