Rabu, LBH Laskar Dewa Ruci Gugat UU Pilkada ke MK
NIASSATU, JAKARTA – Gugatan atas UU Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai berdatangan. Salah satunya akan dilakukan oleh LBH Laskar Dewa Ruci yang mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/10/2014).
Gugatan mereka didasarkan pada perhatian atas berbagai kondisi yang berkembang, mulai dari pengusulan, perumusan, pengesahan hingga diajukannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas UU Pilkada itu.
“Memperhatikan kondisi tersebut, serta dinamika parlemen yang ada, serta menangkap keresahan-keresahan publik atas disahkannya UU Pilkada, maka kami dari LBH Laskar Dewa Ruci menyatakan perlu untuk segera mendaftarkan Judicial Review terhadap UU Pilkada ke MK karena UU Pilkada tersebut sangat bertentangan dengan Konstitusi dan perkembangan zaman. Kami berencana akan mendaftarkan gugatan tersebut ke MK, pada Rabu, 08 Oktober 2014 pukul. 11.00 dengan diantar oleh sekitar 5000 anggota Laskar Dewa Ruci dan Masyarakat,” seperti diungkapkan Sirra Prayuna, Presiden LBH Laskar Dewa Ruci dalam siaran pers yang diterima Nias Satu di Jakarta, Senin (6/10/2014).
Dalam penjelasannya, Sirra menjelaskan kronologis dan berbagai kejanggalan dalam proses terbentuknya UU Pilkada tersebut. Dia mengatakan, dari awal ketika masih dalam bentuk RUU sudah penuh dengan prp dan kontra.
Pada awalnya, dinamika di DPR mayoritas masih menginginkan Pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan. Namun, pasca-Pilpres, beberapa parpol yang semula mendukung pilkada langsung pindah haluan karena keterkaitan pada koalisi Merah Putih (KMP). Sementara partai Demokrat sebagai partai pemerintah yang semula mendukung pilkada tak langsung justru berbalik mendukung pilkada langsung dengan 10 syarat absolut untuk perbaikan.
“Dengan disahkannya UU Pilkada yang mengatur mekanisme pemilukada melalui DPRD jelas telah merampas hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dijamin oleh konstitusi kita,” kata dia.
Berbagai fakta politik yang terjadi akhir-akhir ini menurut dia amatlah berbahaya karena pembentukan sebuah UU, yang sejatinya untuk mengatur dan memberikan kepastian hokum berbangsa dan bernegara, tetapi justru dipermainkan demi kepentingan sesaat dan jangka pendek oleh para pembuatnya. Harusnya para pengambil kebijakan berpegang teguh pada aturan main dan konstitusi serta falsafah bernegara yakni Pancasila.
Dia juga menilai Perppu yang diterbitkan Presiden SBY hanyalah omong kosong belaka, tidak lebih dari sekedar pencitraan yang memang melekat pada dirinya selama 10 tahun pemerintahannya, ditambah lagi dengan tujuan-tujuan sempit dan jangka pendek politik SBY dan Partai Demokrat dalam menghadapi dinamika parlemen serta poros politik Indonesia kedepan dibawah pimpinan Presiden Terpilih Jokowi-JK.
“Perppu tersebut sulit sekali disetujui DPR periode 2014-2019, jika kita melihat komposisi parlemen yang ada hari ini. Apalagi kita lihat sendiri bahwa Demokrat telah dengan nyata berada diporos KMP dengan terpilihnya Agus Hermanto sebagai Wakil Ketua DPR periode ini, belum lagi dengan komposisi ketua Komisi-komisi di DPR RI. Sulit kami kira Perppu diloloskan,” tegas dia.
Dia juga mengingatkan, bila Perppu ditolak DPR, maka akan ada kekosongan hokum dalam mengatur teknis pemilukada, karena sejatinya sampai Perppu dibahas dalam Sidang Paripurna yang akan datang, maka yang berlaku adalah Perppu tersebut. Tetapi jika Perppu ditolak, tidak serta merta kembali kepada UU sebelumnya, yakni UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Mekanisme pascaditolaknya Perppu diatur dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (ns1)