Mengenang “Hikayat Manaö, Sang Kafalo Jaluaya” Dalam Album “9 Sanora”
Oleh Barugamuri Dachi, SE., Ak., CA., CPA*)
NIASSATU – Kepergiannya pulang ke Rumah Bapa di Sorga masih banyak yang tidak percaya. Sosoknya yang dikenal sebagai budayawan, tokoh adat dan pencipta lagu Nias, khususnya Nias Selatan, Alm. Hikayat Manaö atau sering dipanggil Ama Gibson (53 th), memberikan kesan “tidak rela” karena prosesnya begitu cepat. Belum lagi karena usianya yang masih dianggap produktif. Tetapi inilah rahasia Tuhan, hanya Tuhan yang tahu.
Tidak ada yang meragukan dedikasi dan totalitasnya dalam menggali dan memperkenalkan budaya Nias Selatan. Lahir, besar, dan tinggal Desa Bawömataluo, bukanlah suatu kebetulan karena desa tersebut merupakan desa tujuan wisata. Tetapi karena siapa pun yang bertemu dengannya akan mendapat kesan betapa Nias Selatannya dia. Karyanya dalam bidang musik daerah Nias, sering menjadi referensi dari dasar pengembangan kreatifitas para pengagum lagu Nias.
Mendengarkan lagu-lagu dalam album “9 Sanora” karya beliau, akan mengantar imajinasi Anda ke Nias Selatan. Karyanya dalam menciptakan lagu Nias, benar-benar bagian selatannya Nias. Kita langsung dapat membedakan mana lagu berbahasa Nias bagian Utara dan mana lagu berbahasa Nias bagian Selatan. Dari pengamatan saya, Alm. Hikayat, seperti satu-satunya pencipta lagu yang konsisten menciptakan lagu Nias berbahasa bagian Nias Selatan.
Dalam album tersebut, seperti dalam lagu “Mame Asu” terdapat lirik yang sangat imajinatif dan luar biasa. Pada penggalan dari akhir lagu tersebut, kita akan menemukan lirik cantik ini.
“He so’e jame asu e…; fatomö tomö ira he e…; agebu-gebu ira e…; öra sökha nihandro e….; me moi la’olombusi e….; tatuso vanigero e…; he ha sambua fogukhu e….; e…e va’ami ndrino jökha e….”
Lirik ini, menggambarkan secara informatif dari proses bagaimana tradisi jaman dulu (mungkin masih ada sekarang), ketika berburu babi hutan, pulang dan tidak lupa berbagi kepada tetangga sampai imajinasi lezatnya ketika dihidangkan. Pertama mendengar lagu ini, saya sangat terpukau.
Lagu “Böwö Manenu” juga tidak kalah kuat pesan moralnya. Dalam lagu tersebut, menggambarkan kondisi keprihatinan seorang Hikayat terhadap respek masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan, dalam mempertahankan budaya dan kearifan lokalnya. Begitu banyak yang diabaikan, dilanggar, dan sengaja dilupakan.
Dalam album tersebut terdapat 10 lagu, yang memberikan gambaran kehidupan sosial, ekonomi, pergaulan, dan kecintaan pada kampung halaman.
Rasanya ingin pulang kampung memberikan penghormatan terakhir kepada Sang Kafalo Jaluaya (Pemimpin Perang) ini. Tetapi kalau pun itu kulakukan, tidak mengurangi rasa kehilanganku seperti Anda semua. Di ruangan kantorku di Jakarta, terus kudengarkan lagu-lagu ini sebagai bentuk penghormatan kepadamu, Sang Kafalo Jaluaya-ku.
Lagu-lagu ini memberiku pesan bahwa, kepada kita semua yang merasa cinta Nias Selatan untuk mengambil bagian yang nyata untuk memaksimalkan kemampuan untuk keharuman dan kebanggaan Nias dan Nias Selatan.
Selamat Jalan Sang Kafalo Jaluaya, Tuhan Yesus mengasihimu dan Karyamu akan dikenang selamanya.
Jakarta, 13 Oktober 2014
*) Certified Public Accountant. CPA*). Penulis adalah Akuntan Publik pertama dari Nias Selatan, berpraktik di Jakarta.