Profil Pahlawan Nasional Letjen (Purn) Djamin Ginting

Letjen (Purn) Djamin Ginting dan Istri | http://karosiadi.blogspot.com/

Letjen (Purn) Djamin Ginting dan Istri | http://karosiadi.blogspot.com/

NIASSATU, JAKARTA – Peringatan Hari Pahlawan 2014 menjadi momen membanggakan bagi rakyat Sumatera Utara, khususnya warga Tanah Karo. Pasalnya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu putra daerah tersebut, Letjen (Purn) Djamin Ginting.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tersebut dilakukan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara. Pemberian gelar itu berdasarkan surat keputusan No.115 Tahun 2014, seperti dibacakan Sekretaris Militer Presiden di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11).

Nah, siapakah Letjen (Purn) Letjen Ginting yang namanya juga diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di ibukota Sumatera Utara, Medan tersebut?

Dihimpun dari berbagai sumber, Djamin Ginting lahir di Desa Suka, Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, pada 12 Januari 1921. Djamin dikenal sebagai salah satu pejuang kemerdekaan menentang Belanda di Tana Karo.

Djamin mengawali karir militernya dengan bergabung dengan satuan militer yang dibentuk oleh opsir-opsir Jepang, usai dia menamatkan pendidikan Sekolah Menengah. Kala itu, Jepang merekrut anak-anak muda guna menjadi kesatuan tentara yang akan memperkuat pasukan Jepang guna mempertahankan eksistensinya di Asia. Saat itu, Djamin menjadi komandan pasukan itu.

Namun, tak berlangsung lama, Jepang dikalahkan dan menyerah kepada tentara sekutu pada Perang Dunia II. Satuan tersebut tidak terurus karena tentara Jepang ‘pulang kampung’ karena kekalahan itu.

Nah, saat itu, Djamin mengkonsolidasikan pasukannya dan mengajak rekan-rekannya untuk bertahan untuk menjadi satuan pasukan yang melindungi rakyat Karo dari kekuatan-kekuatan yang ingin menguasai Sumatera Utara. Saat itu, Inggris dan Belanda berniat kembali menancapkan kekuasannya di sana.

Seperti dilansir situs Setkab.go.id, Djamin disebutkan berhasil dalam melancarkan perang gerilya dan memimpin penumpasan pemberontakan DI/TII di Aceh. Sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan yang menentang keputusan atasannya untuk menunjukan kesetiaannya pada pemerintah RI, dan menjadikan wilayah komandonya sebagai pangkalan operasi pasukan pemerintah menggempur pasukan PRRI di Sumatera.

Suami dari Rimenda br Ginting tersebut semasa hidupnya pernah menulis beberapa buku. Salah satunya,  berjudul Bukit Kadir yang berisi kisah hidupnya melawan Belanda dari Karo sampai perbatasan Aceh. Kala itu, seorang anggotanya bernama Kadir, gugur di perbukitan di Tanah Karo. Dan sampai kini, bukit tersebut dinamai Bukit Kadir.

Djamin meninggal pada 23 Oktober 1974 pada usia 53 tahun di Ottawa, Kanada ketika bertugas sebagai Duta Besar di sana.

Berikut riwayat singkat jabatan yang pernah diemban Djamin:

  • Kepala Staf Kodam II Bukit Barisan
  • Assisten Dua Bagian Perang di TNI
  • Panglima TT I Bukit Barisan
  • Panglima Sumatera Utara
  • Mayor Jenderal dengan jabatan Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional pada Kabinet Dwikora
  • Ikut membidani pembentukan Golkar dengan peran sebagai penggerak pembentukan GAKARI.

Bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional, pemerintah juga menetapkan tiga Pahlawan Nasional lainnya, yakni:

1. Sukarni Karto Kartodiwirjo, lahir di Blitar, Jatim.
Berperan dalam merumuskan naskah proklamasi serta mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memroklamasikan kemerdekaan. Berhasil menghimpun pemuda mendukung pemerintah RI, dan menyelenggarakan rapat raksasa di lapangan Ikada untuk menunjukkan kebulatannya tekad dalam mendukung proklamasi dan mendesak mengambil alih kekuasaan dari pemerintah jepang.

2. Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah, lahir di Jombang.
Berperan dalam merumuskan Resolusi Jihad sebagai dukungan terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berjasa dalam meningkatkan dukungan NU kepada Pemerintah Indonesia dalam memenangkan perang melawan Pemerintah Belanda.

3. HR Mohammad Mangoendprojo, lahir di Sragen, Jatim.
Berjasa pada peristiwa revolusi di Surabaya, ikut mendesak Panglima Pertahanan Jepang Jenderal Iwabe untul menyerahkan senjata dan menguasai objek vital tahun 1945, berperan besar dalam mengambil alih aset pribadi orang-orang Belanda untuk kepentingan perjuangan. (NS1/dari berbagai sumber)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »