Pancasila dan Nostalgia Generasi PMP
Oleh Etis Nehe*
Andai saja Pancasila itu manusia, dia pasti sedang sumringah dengan maraknya jargon dan ekspresi cinta Pancasila yang memuncak pada hari ini pada upacara perdana peringatan Hari Lahir Pancasila sejak didetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Jokowi melalui Keppres No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Sebagaimana harapan Pancasila sendiri (lagi-lagi membayangkannya sebagai manusia, personifikasi), kini harapan serupa membuncah pada banyak anak negeri yang frustrasi dengan keadaan yang terkesan tak terkendali dan sikap sesuka hati sejumlah orang yang ingin memaksakan kehendak pribadi dan kelompoknya sebagai nilai-nilai baru bagi negeri ini.
Ada gelombang kesadaran bahwa Pancasila adalah kebutuhan penting, mendesak dan kritis saat ini. Tetapi, pertanyaannya, bagaimana menjadikan harapan-harapan itu menjadi kenyataan? Saya mencoba membingkainya secara sederhana seperti berikut ini.
Pancasila, kelima silanya dan 45 butir implementasi praktisnya (yang beberapa hari ini ramai diposting di medsos lagi) berlaku untuk semua warga negeri ini, entah bagaimana pun prosesnya bergabung dengan bangsa ini.
Sebagai catatan, berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, butir-butir Pengamalan Pancasila yang dibagi bervariasi di setiap sila Pancasila berjumlah total 36 butir. Namun, berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, jumlahnya bertambah menjadi 45 butir. Lebih lengkap, bisa lihat di sini Pancasila.
Semua tuntutan dalam kelima sila dan 45 butir implementasi itu berlaku bagi setiap warga, tanpa kecuali. Tidak hanya bagi mereka, di sana. Tetapi, juga berlaku bagi kita, di sini. Tidak hanya bagi sekelompok orang, tetapi bagi semua orang di negeri ini. Apapun preferensi identitasnya: suku, bahasa, agama, afiliasi politik, dll.
Ketika menuntut perlakuan adil, maka Anda juga harus hidup dalam cara yang sama, melakukan dan memperlakukan orang lain dengan adil. Bila menentang diskriminasi dan intoleransi, maka kewajiban bagi Anda juga untuk menunjukkan cara dan sikap hidup yang tidak diskriminatif dan bersikap toleran pada orang lain.
Bila tidak demikian, maka Pancasila dan 45 butir penjabarannya itu kembali akan menjadi sekadar onggokan sejarah yang terkesan tak lagi relevan seperti selama ini terjadi. Hanya menambah koleksi kenangan bagi generasi kekinian dan tambahan koleksi nostalgia bagi generasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Generasi PMP adalah generasi yang setidaknya selama duduk di bangku SD sampai SMA dan sederajat dijejali dengan ritual menghafal nilai-nilai ke-Pancasila-an itu namun kadang tidak disertai dengan teladan yang memadai oleh para gurunya dan para pejabat negeri di masa itu bahkan hingga saat ini.
Bila karena Pancasila itu menjadi alasan negara ini eksis, maka perlakukanlah Pancasila dengan semestinya. Hidupi nilai-nilainya, jangan cuma dalam konsep dan nilai-nilai yang menjadi bahan perbincangan/diskusi, tetapi juga dalam kenyataan. Baik kehidupan pribadi sebagai warga negara maupun melalui tata kelola negara dan sikap pengelola negara ini yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila itu.
Ujian terbesar dari komitmen yang dicanangkan pada peringatan Hari Lahir Pancasila pada hari ini adalah sikap para pengelola di negeri ini di semua level. Mulai dari pemerintah pusat hingga di daerah. Bila Pancasila itu sungguh-sungguh dihormati, maka rakyat negeri ini akan menemukan bahwa mulai dari para pejabat dan aparatur negara tidak lagi doyan korupsi, sewenang-wenang, menyalahgunakaan jabatan dan kekuasaan, diskriminatif, intoleran dan hal-hal lain yang meruntuhkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Hormatilah Pancasila dengan keluhuran sikap pada tingkat yang sangat praktis. Misalnya, jangan lagi jadikan Pancasila sebagai ‘mainan’ dan bahan tertawaan dengan menjadikannya alat penghukuman atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya, untuk menghukum anak-anak sekolah yang bolos dan semacamnya. Hal serupa juga, jangan lagi terjadi pada bendera Merah Putih dan lagu-lagu nasional.
Ajarkan rakyat negeri ini menghormati Pancasila dan Merah Putih dan lagu-lagu nasional yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan komitmen pengikat yang menjadikan kita sebagai satu bangsa dengan keberagamannya.
Sekali lagi, jangan merendahkan simbol-simbol itu dengan menjadikannya sebagai sarana penghukuman karena kesalahan-kesalahan konyol bahkan meski dengan alasan menguji level kesetiaan pada negara atau mengajarkan nilai-nilai nasionalisme.
Sebagai generasi PMP yang dulu ‘hafal mati’ butir-butir Pancasila itu bahkan lebih baik dari guru yang mengajar PMP itu sendiri, saya memang was-was bahwa semua yang dilakukan hari ini akan berakhir sebagai seremoni belaka. Tak mengubah apapun. Tak memengaruhi apapun.
Saya sendiri, mungkin karena sudah kepalang jenuh dan bosan dengan jargon-jargon nasionalisme tanpa isi dan cuma marak pada masa kampanye atau momentum kepentingan, kuatir bahwa peringatan pada hari ini hanya akan jadi ritual tahunan belaka.
Tetapi, tadi, ketika menyaksikan Presiden Jokowi membacakan pidato yang bernas dan tegas pada upacara perdana peringatan Hari Pancasila pada hari ini di depan Gedung Pancasila, Kompleks Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, saya optimistis bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Ada harapan bahwa akan ada perubahan dalam menyikapi Pancasila.
Sebab, kita tidak punya pilihan lain selain ini:
Kita bisa tetap bersama, bila bersama Pancasila.
Kita tetap Indonesia, bila tetap Pancasila.
Kita Indonesia, maka kita Pancasila.
Di luar itu, kita bubar!
Selamat Hari Lahir Pancasila ke-72.
Merdeka!
*Penulis adalah Pemuda Nias, tinggal di Jakarta.